Oleh: KH. Hilmi Aminuddin
Dalam sebuah perjuangan pertempuran yang secara terus-menerus kita
hadapi, yang paling pertama yang harus betul-betul mendapat perhatian
adalah:
Khiththah Takhthithiyah (Strategi perencanaan)
Strategi perencanaan Insya Allah selalu mendahului setiap ma’rakah yang dilalui dakwah kita ini. Dari awal ta’sis seluruhnya dengan perencanaan. Secara amaliyan dan tanzhimiyan seluruhnya terencana secara baik. Sudah tentu pelibatan-pelibatan terhadap perencanaan semakin luas dan akhirnya Alhamdulillah,
lembaga perencanaan semakin kokoh, semakin kuat, dan pelibatannya
semakin luas. Insya Allah ini akan menimbulkan efek positif di dalam
jama’ah dakwah kita.
Di era saat ini, kita harus mempertimbangkan untuk melakukan
langkah-langkah bagaimana kita pun menerima asupan-asupan dan
masukan-masukan dari public. Dan itu juga sudah antum harus lakukan agar
betul-betul apa yang kita rencanakan itu bernilai aspiratif tinggi.
Umat pun dilibatkan dalam perencanaan. Bahkan komponen bangsa dari aneka
ragam kelompok atau komunitas di bangsa ini pun ikut terlibat dalam
memberikan kontribusi dalam perencanaan kita. Itu seharusnya selalu kita
lakukan.
Kalau tidak kita lakukan pelibatan-pelibatan yang luas itu, maka
langkah kita akan terhenti. Tidak mungkin—na’udzubillah—maju dari mihwar muassasi menuju mihwar daulah
kalau pelibatan-pelibatan itu hanya berputar-putar secara internal.
Pelibatan-pelibatan harus menjadi luas, termasuk dalam bahan-bahan
perencanaan sekalipun.
Khiththah Tajmi’iyah (Langkah Menghimpun)
Khiththah tajmi’iyyah yaitu jam’ut thaaqah (menghimpun potensi) yang meliputi hal-hal berikut: Pertama, Al-Muhafazhah ‘ala muktasabat, memelihara
apa yang sudah kita hasilkan, yaitu potensi jama’ah dakwah ini, potensi
kebersamaan dalam jama’ah ini, potensi ukhuwah, potensi ta’awun, potensi tadhamun. Inilah
modal awal kita. Semangat kebersamaan bukan saja harus utuh, tapi harus
semakin berkembang, harus semakin produktif. Tidak boleh ada yang
merasa terlepas dari hadlanatul jama’ah (pelukan asuhan jama’ah). Tetap semuanya ada dalam kehidupan amal jama’iy, yang disana merasakan ada kehangatan, al-hanun. Hananatul Umm, bagaikan hangatnya pelukan ibu yang dilakukan oleh jama’ah.
Kedua, isyrakul ghair. Sudah barang tentu kita juga harus dapat menghimpun potensi luar. Salah satu indicator keberhasilan musyarakah adalah isyrakul ghair (pelibatan orang lain). Ia adalah suatu kerja yang produktif. Jika musyarakah tidak berhasil melakukan khutuwat tajmi’iyah potensi-potensi
di luar jama’ah kita, berarti musyarakah kita gagal. Kita cuma numpang
hidup tapi tidak memberikan harapan hidup bagi orang lain.
Kekokohan potensi internal, semangat kebersamaan harus tetap
dibangun, dibina, dikokohkan. Begitu juga kebersamaan dalam ruang
lingkup keumatan, kehidupan berbangsa dan bernegara harus kita
kembangluaskan.
Khuthuwat tauzhifiyah (Langkah Pemungsian)
Setelah dihimpun, semua orang harus difungsikan. Tidak boleh ada yang
marginal, yang merasa disisihkan, yang merasa disepelekan. Seluruhnya
harus berfungsi, harus berperan. Sebab kalau orang berposisi mauqif janibi (potensi yang marginal) nantinya menjadi beban, bahkan menjadi ancaman, menimbulkan ma’rakah janibiyah (pertempuran sampingan). Kalau dibiarkan akan timbul ma’rakah dakhiliyah (pertempuran di dalam). Ini akibat tidak terfungsikannya potensi. Disinilah pentingnya kemampuan kita dalam tauzhif, melakukan tanassuq kulli (sinkronisasi secara integral) ataupun tanassuq dzati (sinkronisasi secara sektoral).
Lihatlah air ketika terhimpun di dalam kolam lalu tidak ada output.
Dia sudah masuk dalam wadah yang benar, sudah masuk ke dalam mudkhala shidqin, tapi kalau tidak diberi mukhraja shidqin, air
itu akan menjadi kotor. Tumbuh lumut dan seterusnya. Tapi kalau air itu
masuk melalui prosedur yang benar, dan ditata secara benar potensinya,
mengalir secara benar, insya Allah air itu akan tetap bersih dan tetap
mengalir, tetap menggerakkan dan bahkan menggerakkan yang lain.
Manusia juga sama. Dihimpun dalam jama’ah, lalu dihimpun dalam suatu
wadah besar perjuangan dakwah.Tapi bila tidak difungsikan secara benar
dan digerakkan secara baik, maka dia akan menjadi kotor. Bisanya polusi
yang mudah terasa itu muncul di mulut. Mulutnya mulai kotor. Itu
bisaanya karena kurang kerjaan. Kalau orang itu sibuk kerja, punya wazhifah yang
benar-benar sibuk, tidak sempat berkata usil segala macam. Mulai kotor
dari mulut, nanti kepada ruhnya. Apalagi sekarang bisa diwakilkan lewat
sms, bisa didelegasikan ke sms, ke internet dan sebagainya. Itu adalah
efek dari masalah tauzhif yang kurang maksimal.
Khuthuwat Tahfizhiyah (Langkah Pemeliharaan)
Khuthuwat Tahffizhiyah itu ada lima. Yaitu: musyarakah ‘indal qarar (musyarakah dalam menentukan ketetapan), tasyji’ ‘indal ijtihad (dorongan berijtihad), da’m indal tanfidz (dukungan dalam pelaksanaan), I’tiraf ‘indal injaz (pengakuan ketika berhasil), inshaf ‘indal khatha (bersikap adil ketika menghadapi kesalahan).
Musyarakah ‘indal qarar
Semakin besar jama’ah dakwah kita, maka kreasi kita dalam memberikan
tauzhif (pemungsian) dan tahfizh (pemeliharaan) kepada seluruh komponen
jama’ah harus kreatif kita ciptakan. Coba diadakan tampungan-tampungan.
Bisa jadi dapat dihadirkan orang luar untuk merangsang tumbuhnya ide-ide
atau aspirasi tersebut. Pelibatan semakin luas, sense of belonging dari berbagai komponen semakin kuat terhadap jama’ah dan dakwah ini.
Tasyji’ ‘indal ijtihad
Aspirasi-aspirasi jangan disumbat. Ijtihadat mulai dikembangkan terus
menerus. Jangan berhenti. Kita selalu inovatif dalam langkah-langkah
dakwah. Jangan sampai menjadi jenuh dan bosan karena ijtihad dan
aspirasi inspirasi terhenti.
Da’m indal tanfidz
Dukungan diberikan ketika melaksanakan tugas. Minimal dengan do’a.
Syukur-syukur dengan dana. Jadi semua ikhwah merasa didukung dalam
melaksanakan tugasnya. Jangan sampai terjadi betapa pun kita sudah
melakukan pembagian tugas, melakukan kompartemensasi. Kehidupan jama’ah
ta’awun ini harus hidup. Jangan sampai nafsi-nafsi. Kita harus jama’iy ta’awuniy. Da’m itu bisa bersifat da’m ikhawi (dukungan persaudaraan) dan da’m tanzhimi (dukungan structural). Kalau da’m tanzhimi sifatnya structural, sedangkan da’m ikhawi sifatnya
personal tanpa melihat jabatan dan bidangnya. Ini penting dilakukan
supaya kokoh amal jama’i kita. Jadi jangan sampai melihat sesuatu tidak
berjalan dibiarkan saja karena bukan tugas kita. Paling tidak kita
memberikan saran, mendo’akan, syukur juga bila memikirkan pendanaannya,
pembiayaannya antar bidang atau antar personal.
I’tiraf ‘indal injaz
Pengakuan-pengakuan akan keberhasilan harus ada. Pengakuan itu
penting karena seseorang merasa diakui eksistensinya. Bukan hanya secara
fisik, secara structural, tapi secara amaliyah. Apalagi kita juga
pengalaman menyediakan hadiah-hadiah bagi wilayah tertentu atau bagi
komunitas tertentu. Dimana kita menghadiahkan umroh, bahkan hadiah haji
dan seterusnya. Itu adalah bagian dari I’tiraf ‘indal injaz.
Al-Inshaf ‘indal khatha
Adil menyikapi kesalahan. Ingat, dalam ma’rakah ini pelakunya
adalah manusia. Kemungkinan ada salah, kemungkinan kepeleset adalah
sebuah kewajaran. Itu adalah unsur dari sifat kemanusiaan. Mahallul khatha’ wa nisyaan adalah manusia. Manusia disebut insan itu karena suka lupa. Oleh karena itu inshaf, jangan sampai mengukur ikhwah, teman berjuang dan orang dari luar dengan ukuran yang tidak mungkin salah.
Kita harus memberikan jatah salah, tapi jangan meminta jatah salah.
Kepada setiap orang diberikan space kemungkinan bersalah. Sehingga kalau
salah jangan kaget. Kemudian kalau terjadi salah, jangan serta merta
lalu memuhasabah dia, tapi muhasabah diri kita dulu. Apa kontribusi kita
sehingga dia tidak bersalah. Atau bahkan apa kontribusi kita sampai dia
salah. Siapa tahu kita ikut andil dalam membuat dia salah. Jadi ittihamu dzat (menuduh
diri sendiri) adalah menjadi akhlak da’i. Dengan pendekatan ma’nawiyah
seperti itu, ketika kita memuhasabahi dia menjadi lembut, santun,
menjadi nyaman bahasanya. Tapi kalau belum apa-apa sudah cenderung
menyalahkan dulu, akan membuatnya lari dan jauh. Akan lebih buruk
akibatnya.
Khuthuwat Riqabiyah (Langkah Pengawasan)
Jangan lupa dengan khuthuwat riqabiyah, sebab langkah kita itu harus teratur dan terukur. Keteraturan dan keterukuran itu awalnya dari takhtith (perencanaan), ujungnya itu riqabah (pengawasan).
Antara perencanaan dan pengawasan adalah dua sejoli yang tidak boleh
dipisahkan. Sudah barang tentu sebagai pimpinan dalam pengawasan harus
bijak, harus tetap melihat dari sudut pandang kemanusiaan. Riqabah itu bukan yufattisy, tapi memantau. Sebab yufattisy itu ngorek-ngorek. Dan pemantauan yang paling mudah itu adalah dari efek-efek kerja, efek bergerak dan hasil pekerjaan.
Riqabah itu bukan hanya kepada perencanaan-perencanaan kita.
Karena di lapangan itu yang bergulir adalah aneka program. Di lapangan
itu bias jadi terjadi tadharrub (saling bertabrakan) antara program kita dengan program orang lain. Tapi bias jadi juga ada tawafuq (saling kesesuaian) dalam titik tertentu. Nah dalam tawafuq itulah kita bias mengambil keuntungan-keuntungan dari program-program orang lain.
Apalagi di Indonesia ini seluruh rival kita, yang sekuler sekali pun
konstituennya, pimpinannya adalah umat Islam juga. Sehingga mungkin saja
muncul langkah-langkah mereka yang ada tawafuq. Dan kita tidak bisa melihat itu kalau kita tidak mempunyai ijabiyatur ruýah (pandangan positif). Pandangan positif itu dasarnya adalah begini: Al-Islam kullul haq (Islam itu seluruh kebenaran), Al-Haqqu kulluh (seluruhnya benar) adalah Islam. Tapi di luar Islam bisa jadi ada juzún minal haq (sebagian
dari kebenaran). Karena kebenaran itu selain bersumber dari wahyu, juga
bersumber dari fitrah. Walaupun ia di luar lembaga Islam, fitrahnya kan
ada. Akhirnya muncul juga kebenaran dari fitrah itu pada berbagai macam
orang. Makanya kita tidak boleh menggeneralisir kepada orang lain
dengan mufaraqah, dengan landasan furqan: kita benar semuanya, mereka salah semuanya. Kita harus melihat dengan ijabiyatu ruýah kemungkinan adanya unsur-unsur tawafuq dari segi program atau tawafuq dari segi personal.
Khuthuwat Tarbawiyah (Langkah pembinaan)
Artinya segala potensi yang dihimpun, terutama dari luar ke dalam, harus ada langkah-langkah muhafazhah (penjagaan) kepada mereka. Muhafazhah thaaqah (potensi)
harus dipelihara. Jangan sampai potensi yang sudah kita gunakan lalu
terbengkalai. Tidak dipelihara, tidak dijaga hubungan, tidak ada
komunikasi, tidak ada pelibatan-pelibatan lanjutan, tidak ada
pengembangan-pengembangan lanjutan. Harakah ini harus menjaga potensi
yang disertakan dalam setiap marhalah untuk ikut ke dalam marhalah
berikutnya. [ ]
Detail: Khiththah Idaratul Ma’rakah