print this page Klik Print

Maafkan Ayah, Nak!

“Dari mana kamu, Rafli?”
Suara itu memecahkan keheningan malam, menahan langkah kaki yang dari tadi melangkah perlahan-lahan memasuki rumahnya seperti seorang maling. Sepasang kaki itu adalah milik seorang remaja SMA, bernama Rafli.

“Astaghfirullah, ini sudah malam, kamu liat ga ini jam berapa? Jam 2 malam Nak!” Pria itu makin meninggikan suaranya.

“Biasa, tadi main bentar”, remaja itu berjalan cepat meninggalkan pria—yang tidak lain adalah ayahnya sendiri- menuju kamarnya.

***

Dua tahun sudah Ibunda Rafli meninggal dunia. Dokter mendiagnosisnya terkena kanker darah. Sejak dua tahun itu pula sikap Rafli berubah. Ibu yang senantiasa ada di sisinya, tempat Ia mengadu di kala sedih, tempat Ia bercerita tentang seluruh keadaan di sekolah, pahlawan yang serba bisa dan penuh rasa kasih sayang untuknya pergi begitu saja.

***

“Ayah sudah berkali-kali kan bilang ke kamu, fokus belajar! Jangan main melulu! Liat nilai mu ini! Ayah malu rasanya hampir setiap bulan Ayah dipanggil ke sekolah hanya untuk mengurusi hal yang sama”.
Pria itu melempar sebuah raport yang bersampul biru ke atas meja kaca.

“Ah sudah lah! Apa cuma marah-marah yang bisa Ayah lakukan? Kenapa Ayah tidak bisa bertanya baik-baik?! Setiap bulan Ayah selalu menyalahkan hal yang sama bukan? Mulai hari ini, aku memilih jalanku sendiri, aku ingin menjadi seorang seniman, bukan jadi Insinyur seperti yang Ayah paksakan”.

Braaaak!! Lagi-lagi Ia meninggalkan ayahnya yang belum selesai berbicara. Kali ini pintu ruang tamu yang Ia banting. Keras sekali. Seolah-olah itu adalah ekspresi marahnya yang sudah tak terbendung lagi kepada ayahnya.

***

Tetesan air mata dari pria beruban itu jatuh juga. Ia sadar, Ia begitu keras selama ini terhadap anaknya. Rasanya ingin memutar waktu ke belakang. Ingin mengulang lagi dari awal. Ia sadar Ia telah menyia-nyiakan waktu untuk Rafli, Ia hanya fokus bekerja dan bekerja. Ia harus pergi pagi, ketika anaknya masih tertidur lelap dan harus pulang malam ketika anaknya telah tertidur lelap. Bahkan tidak ada ciuman hangat sebelum tidur yang bisa Ia hadiahkan untuk anaknya. Bahkan tidak ada momen bermain bola kaki bersama saat weekend. Itu dulu. Telah berlalu. Percuma disesali.

Pria itu merasa sesak. Air matanya jatuh berlinangan. Kini di hari tuanya, Ia hanya ditemani kesendirian. Istri yang selama ini telah Ia sia-siakan, yang begitu mencintainya telah lebih dulu dijemput oleh Allah. Sedangkan anaknya, Rafli, tumbuh dengan kebencian terhadapnya.

“Apa yang salah dengan dirinya, sehingga Rafli begitu membencinya?” pikirannya berputar-putar mencari jawaban. Tak ada ruang baginya di hati anaknya. Ini semua tentang kuantitas dan kualitas waktu! Bagaimana tidak? Selama ini Rafli seolah-olah hidup seperti anak yatim. Ia berlayar ke mana-mana meninggalkan anak dan istrinya. Alasannya? Uang. Ke mana Ia saat anaknya demam tinggi? Ke mana Ia bahkan di saat malam takbiran Idul Fitri pun tak sempat mencicip ketupat buatan istrinya?  Ke mana Ia saat istrinya kesusahan dengan kemoterapi yang berkali-kali dan begitu menyakitkan? Dengan semua perlakuan tersebut, masihkah ia pantas disebut sebagai Ayah yang baik? Pantaskah Ia dicintai oleh seorang Rafli?
Air mata itu terus terjatuh.

Hanya ada penyesalan di benaknya, penyesalan yang percuma dan sia-sia.

***

“Raf, Minggu depan kita bakalan manggung, jaga stamina ya bro!”
Rafli tersenyum lebar melihat wajahnya terpampang di salah satu poster majalah dinding sekolahnya. Akan ada konser amal yang diadakan oleh OSIS sekolahnya. Tentu saja Rafli akan unjuk kebolehan di konser amal tersebut.

“Raf, lu engga ngundang bokap?” sebuah pertanyaan dari salah seorang temannya memudarkan senyuman Rafli.

“Buat apa? Paling dia juga kaga mau dateng, Ndre!”
“Yaaa, minimal buat nunjukkin ke bokap lu, lu udah mau berubah, udah rajin sekolah dan engga cuman bisa gebuk-gebukin drum doang!” balas Andre.
“Yaudah, lu atur aja deh, gue yakin dia engga bakal mau dateng”

Sebenarnya Ia sangat mengharapkan kehadiran ayahnya di konser tersebut. Entah kenapa, sejak Ia meninggalkan rumah, rasa bersalah terus menghantuinya. Tidak seharusnya Ia bersikap demikian terhadap ayahnya sendiri, seburuk apapun sosok ayahnya di matanya. Namun, seketika Ia hapuskan harapan-harapan itu. Ia takut kecewa.

“Jangan panggil gue sobat lu Raf, kalo gue engga bisa mendatangkan ayah lu ke konser itu”, Andre berusaha meyakinkan.

***

“Malam pak, saya Andre temannya Rafli. Kami ingin mengundang bapak untuk hadir di acara konser amal kami Selasa, 16 November besok. Rafli akan tampil pak, dan Insya Allah Ia akan menampilkan performa terbaiknya. Kiranya bapak bisa hadir, karena Rafli sangat mengharapkan kehadiran bapak. Terima kasih.” –Andre

Andre tidak main-main dengan kata-katanya. Hari itu juga Ia mengirimkan pesan singkat kepada Ayah Rafli. Harapannya satu, semoga Pria tersebut tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan hati anaknya. Semoga.

***

Sore ini cerah. Mobil Innova hitam melaju kencang melewati tol dalam kota, menuju SMA Harapan Bangsa. Tol cenderung sepi, seakan-akan si pengendara mobil bisa menguasai sepanjang jalan tol. Bahagia sekali rasanya.

Tiba-tiba sebuah mobil dari arah belakang meluncur begitu cepat. Tidak terkendali. Hingga menabrak punggung Innova hitam tersebut. Braaaak! Hancur. Innova hitam itu terguling, bersama dengan pengendara di dalamnya.

***

“Rafli, ayah lu kecelakaan!”
Suasana ruang gladi resik yang hiruk pikuk menjadi hening sekejap. Tubuh Rafli mendadak dingin. Ia terdiam sesaat. Dan berlari secepat kilat menuju mobil yang akan mengantarkannya ke rumah sakit. Bibirnya bergetar, memanggil seseorang yang Ia sebut sebagai Ayah.

***

Tubuh lemah itu terbaring penuh darah.

“Ayah”, panggil Rafli lemah. Berkali-kali Ia ucapkan. Ia genggam tangan ayahnya. Kuat sekali.
“Ayah, bangun ayah! Jangan tinggalkan Rafli lagi ayah!” Wajahnya memerah, air matanya semakin deras.
Dari balik mata yang tertutup itu, air mata mengalir perlahan. Hanya ada suara lemah terakhir yang terucap, “Maafkan Ayah, Nak!” Suara itu melemah, diikuti dengan denyut jantung yang semakin menghilang.

Menyikapi kritik dengan CINTA


Pada abad 18 H, bencana kelaparan hebat melanda wilayah Arabiah Utara, Khalifah Umar ra. melewati hari-harinya tanpa istirahat dan tidak bisa tidur memikirkan cara bagaimana menanggulangi bencana tersebut. Ia bersumpah tidak akan minum susu dan mentega sampai bencana kelaparan ini berakhir.

Bencana kelaparan yang di susul dengan wabah mematikan menyebar di syria. Umar mengambil untanya dan berangkat ke daerah itu untuk melihat langsung kondisi rakyatnya. Dalam perjalanan pulang, ada sebuah tenda kecil yang menarik perhatian sang Khalifah, umar melihat seorang wanita tua duduk di depan tendanya.  Khalifah Umar menyapa, 
" Apakah anda tahu tentang khalifah umar?"

" Ia sedang dalam perjalanan pulang dari Syria ke Madinah," jawab wanita tua itu

" Apalgi yang perlu engkau ketahui "? tanya Umar lagi dengan nada menyelidik.

" Apalagi yang perlu diketahui dari orang jahat itu ? biarkan dia pergi ke tempat anjing-anjingnya," jawab wanita yang tidak mengetahui bahwa yang berada di depannya adalah Khalifah yang sedang diperbincangkan. 

" Mengapa begitu, wahai Ibu ?"

" Mengapa tidak ! Dia tidak memberi kami apa-apa hingga sekarang," jawab si wanita ketus.

" Tetapi bagaimana ia bisa tahu segala sesuatu yang terjadi di wilayah yang jauh ini ?" 

" Jika dia tidak tahu kondisi rakyatnya, mengapa ia masih tetap menjabat sebagai Khalifah ?" kritiknya makin pedas.

Khalifah terbuka hatinya. Ia memberi hormat kepada wanita itu seraya berbisik lirih kedalam lubuk hatinya,    " Ibu, anda telah memberi umar pelajaran."

Itulah sepenggal dialog Umar sang Khalifah, sosok pemimpin tegas dan di segani namun ketika bencana besar melanda wilayah kekuasaannya, segala upaya telah di lakukannya sampai ia bertekad tidak akan minum susu dan mentega hingga bencana kelaparan berakhir. Siapa yang tidak mengenal Umar tentang kesungguhan, pengorbanan dan kesederhanaan yang telah banyak menoreh tinta emas dalam sejarah. Tapi bagaimana apresiasi sebagian rakyatnya ? ternyata wanita tadi justru mengkritik dan mengumpat didepannya sendiri !.

Bagaimana dengan Kita saat ini ?

Tanpa malu kita mencurahkan segala keluh kesah di dunia maya, bahkan sampai merasa terdzolimi padahal kita sedang di ingatkan untuk senantiasa intropeksi diri atas apa yang kita lakukan. Sang khalifah begitu cerdas menguasai emosinya dan ia memenangkan dirinya atas hawa nafsunya. Ia merasa sedang tidak di hakimi namun sebaliknya ia bebisik lirih dalam hatinya " Ibu, anda telah memberi umar pelajaran." Itulah Umar sang Khalifah mampu menyikapi kritik dengan CINTA, dan tetap menuntaskan KERJAnya karena ia yakin semua bisa ia bangun dengan adanya HARMONI dalam kepemimpinannya. Wallauhu Alam Bisshawaab.

* Yahya Ayyasy, Poso Kota Utara

Bukanlah seorang penulis apalagi seorang plagiator, tapi hanya coba berbagi atas apa yang di dengar, di lihat dan di baca....

Aku Rindu Zaman Itu


Aku rindu zaman ketika “halaqoh” adalah kebutuhan,
bukan sekedar sambilan apalagi hiburan

Aku rindu zaman ketika “membina” adalah kewajiban,
bukan pilihan apalagi beban dan paksaan

Aku rindu zaman ketika “dauroh” menjadi kebiasaan,
bukan sekedar pelengkap pengisi program yang dipaksakan

Aku rindu zaman ketika “tsiqoh” menjadi kekuatan,
bukan keraguan apalagi kecurigaan

Aku rindu zaman ketika “tarbiyah” adalah pengorbanan,
bukan tuntutan dan hujatan

Aku rindu zaman ketika “nasihat” menjadi kesenangan,
 bukan su'udzon atau menjatuhkan

Aku rindu zaman ketika kita semua memberikan segalanya untuk da'wah ini

Aku rindu zaman ketika “nasyid ghuroba” menjadi lagu kebangsaan

Aku rindu zaman ketika hadir di “liqo” adalah kerinduan, dan terlambat
adalah kelalaian

Aku rindu zaman ketika malam gerimis pergi ke puncak mengisi dauroh
dengan ongkos ngepas dan peta tak jelas

Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah benar-benar jalan kaki 2 jam di malam buta sepulang tabligh dawah di desa sebelah

Aku rindu zaman ketika akan pergi liqo selalu membawa uang infak, alat tulis, buku catatan dan Qur'an terjemahan ditambah sedikit hafalan

Aku rindu zaman ketika seorang binaan menangis karena tak bisa hadir di liqo

Aku rindu zaman ketika tengah malam pintu depan diketok untuk mendapat berita kumpul subuh harinya

Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah berangkat liqo dengan ongkos jatah belanja esok hari untuk keluarganya

Aku rindu zaman ketika seorang murobbi sakit dan harus dirawat, para binaan patungan mengumpulkan dana apa adanya

Aku rindu zaman itu,

Aku rindu...

Ya ALLAH,

Jangan Kau buang kenikmatan berda'wah dari hati-hati kami

Jangan Kau jadikan hidup ini hanya berjalan di tempat yang sama

[Rahmat Abdullah]

facebook. 


Hari ini Sangat Indah dan Saya Tidak Bisa Melihatnya


Disuatu pagi, ada seorang anak kecil tengah duduk di depan sebuah gedung perkantoran. Tangannya memegang sebuah topi dan di sebelahnya ada sebuah papan tulis yang bertulisan “Saya buta, dan tolong kasihani saya”. 
 
Ada seorang pria muda melintas di depan anak tersebut. Pria itu kemudian berhenti dan menatap si anak serta papan tulis yang berada di sebelahnya. Ia kemudian merogoh selembar uang dan meletakkannya ke dalam topi si anak. Sejenak ia terdiam memandang papan tulis yang ada di samping anak itu, kemudian ia menghapus dan mengganti tulisannya dengan sebuah kalimat lain.
 
Beberapa lama kemudian, tampak topi yang dipegang anak tersebut mulai banyak terisi. Hampir setiap orang yang lewat berhenti dan memberinya uang.
 
Sore telah tiba, dan pria yang telah merubah tulisan tadi kembali melintas di depan anak tersebut. Si anak yang mengenal langkah kaki pria itu berusaha menghentikannya, “Bukankan anda yang telah mengubah tulisan di papan ini tadi pagi, sebenarnya apa yang anda tulis?” tannya anak itu.
Pria itu menjawab, “Saya menulis sebuah kenyataan, saya menulis apa yang kamu tulis tapi dengan cara  sedikit berbeda. Aku menulis: Hari ini sangat indah dan saya tidak bisa melihatnya.
***
Dan Dia-lah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur (Al-Mu’minun: 78)

sumber

Dari Negara ke Negara Menuju Peradaban Islam yang Mulia

imageoleh: HD Gumilang 
Alhamdulillah referendum saudara-saudara kita di Mesir sana yang dimotori oleh Ikhwanul Muslimin, Salafy, dan komponen jumhur harakah Islam dimenangkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Konstitusi baru yang menyerap intisari nilai-nilai Islam yang mulia akan diberlakukan di sana. Semoga proses demokrasi Islam di Mesir diberkahi Allah dan menjadi contoh bagi negara-negara lainnya. 
Kami tidak menilai demokrasi sebagai sesuatu yang halal ataupun haram, bagi kami demokrasi hanyalah alat/alas/wasilah untuk memformulasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat yang madani sebagaimana Rasulullah kala itu memformulasikan nilai-nilai Islam dalam Piagam Madinah yang monumental mampu merekatkan hubungan sosial/aspek muamalah antara pemeluk Islam, dan kaum Yahudi serta Kristen yang condong pada perdamaian. 
Sungguh inilah kemuliaan Islam rahmatan lil alamiin dan inilah tanda kemuliaan umat Islam sebagai umatan washatan, umat pertengahan yang tidak ghuluw (berlebih-lebihan) dalam berbagai hal. 
Satu catatan yang menarik bagi para penentang Muhammad Mursy yaitu Kaum Muslim Ambigu yang sampai detik ini masih kuat pendiriannya bahwa apa yang dilakukan oleh Mursy adalah suatu kesia-siaan belaka karena menurut mereka bukan Syariat Islam yang dikonstitusikan di Mesir melainkan syariat demokrasi sekuler. 
Sungguh menurut saya, ini adalah keanehan Kaum Muslim Ambigu yang menyatakan berlepas diri dari referendum antara konstitusi baru yang memformulasikan nilai-nilai Islam dengan oposisi yang menolak referendum. Di manakah izzah kaum muslim ambigu ketika saudaranya sedang memperjuangkan satu tahapan dakwah? 
Tidakkah mereka bercermin bahwa Rasulullah kala itu pun
memformulasikan nilai-nilai Islam yang mulia dalam Piagam Madinah untuk upayanya menunjukkan Islam rahmatan lil alamiin kepada seluruh suku bangsa yang menghuni City State (Negara Kota) Madinah Munawarah. 
 
Lantas syariat Islam yang bagaimana yang dikehendaki oleh Kaum Muslim Ambigu ini? Apakah mereka merujuk pada Piagam Madinah buah pemikiran Rasulullah Muhammad Shallahu alaihi wasalaam atas petunjuk langsung dari Allah subhanahu wa ta'ala ataukah mereka merujuk pada Konstitusi Hukum Islam pasca Rasulullah saw? Tanyakanlah kepada manusia, manakah yang lebih baik antara Piagam Madinah dengan Konstitusi Hukum Islam pasca Rasulullah. 
Sungguh sebenarnya di sini tidak melihat kacamata kuda. Sejarah telah mencatat penghianatan kaum Yahudi dan Kristen pada masa Rasulullah dalam Perang Ahzab. Apakah ini berarti Piagam Madinah bukan konstitusi yang sempurna padahal yang menggagasnya adalah Rasulullah Muhammad saw? Tidak, bukan itu. Sudah jelas bahwa peristiwa dalam sejarah tidak bisa menjadi dasar hukum baik atau tidaknya sebuah produk pemikiran. 
Di sinilah Allah menganjurkan kita untuk berfikir, karena kita (Insya Allah) adalah ulil albab, makhluk yang berfikir. Kita berfikir bagaimana caranya mempersatukan umat Islam, bagaimana cara mendakwahkan Islam secara sejuk, damai, dan mententramkan.
Kita berfikir bagaimana caranya agar Islam itu menjadi rahmatan lil alamiin sebagaimana yang sudah pernah di contohkan oleh Rasulullah saw di City State Madinah Munawarah, atau Umar bin Abdul Aziz di Kingdom (Kerajaan/Kekhalifahan) Umayyah, atau ketika masa Sulayman al Qanuni di Kingdom (Kerajaan/Kekhalifahan) Turki Usmani membuat Qanun Hukum Islam, atau di masa penakhlukan Muhammad al Fatih (Sang Penakhluk), dan mungkin di masa kini ketika Presiden Muhammad Mursy diamanahkan memimpin Nation State (Negara) Mesir yang diantarkannya ke era baru yaitu era Konstitusi Mesir yang kental dengan nilai-nilai Islam. Kemudian semoga bisa menjadi contoh negeri-negeri muslim lainnya. Hingga pada akhirnya negeri-negeri muslim ini menjadi pionir tegaknya sebuah sokoguru peradaban Islam yang mulia atau al ustadziatul alaam.

Kisah Nyata Mengharukan: Mendengar Jeritan Anak Di Saat Sholat

TENGGELAM-REKUmur siapa yang tahu, demikian juga seorang pemuda, bagaimanapun kuatnya juga tak bisa mengelak dari hal tersebut. Kisah nyata ini diceritakan sendiri oleh pelakunya dan pernah disiarkan oleh Radio Al Qur’an di Makkah al Mukarramah.

Kisah ini terjadi pada musim haji dua tahun yang lalu di daerah Syu’aibah, yaitu daerah pesisir pantai laut merah, terletak 110 Km di Selatan Jeddah. Pemilik kisah ini berkata: Ayahku adalah seorang imam masjid, namun demikian aku tidak shalat. Beliau selalu memerintahkan aku untuk shalat setiap kali datang waktu shalat. Beliau membangunkan ku untuk shalat subuh. Akan tetapi aku berpura-pura seakan-akan pergi ke masjid padahal tidak. Bahkan aku hanya mencukupkan diri dengan berputar-putar naik mobil hingga jama’ah selesai menunaikan shalat. Keadaan yang demikian terus berlangsung hingga aku berumur 21 tahun.

Pada seluruh waktuku yang telah lewat tersebut aku jauh dari Allah dan banyak bermaksiat kepada-Nya. Tetapi meskipun aku meninggalkan shalat, aku tetap berbakti kepada kedua orang tuaku. Inilah sekelumit dari kisah hidupku di masa lalu.

Pada suatu hari, kami sekelompok pemuda bersepakat untuk pergi rekreasi ke laut. Kami berjumlah lima orang pemuda. Kami sampai di pagi hari, lalu membuat tenda di tepi pantai. Seperti biasanya kamipun menyembelih kambing dan makan siang. Setelah makan siang, kamipun mempersiapkan diri turun ke laut untuk menyelam dengan tabung oksigen. Sesuai aturan, wajib ada satu orang yang tetap tinggal di luar, di sisi kemah, hingga dia bisa bertindak pada saat para penyelam itu terlambat datang pada waktu yang telah ditentukan.

Akupun duduk, dikarenakan aku lemah dalam penyelaman. Aku duduk seorang diri di dalam kemah, sementara disamping kami juga terdapat sekelompok pemuda yang lain. Saat datang waktu shalat, salah seorang diantara mereka mengumandangkan adzan, kemudian mereka mulai menyiapkan shalat. Aku terpaksa masuk ke dalam laut untuk berenang agar terhindar dari kesulitan yang akan menimpaku jika aku tidak shalat bersama mereka. Karena kebiasaan kaum muslimin di sini adalah sangat menaruh perhatian terhadap shalat berjamaah dengan perhatian yang sangat besar, hingga menjadi aib bagi kami jika seseorang shalat fardhu sendirian.

Aku sangat mahir dalam berenang. Aku berenang hingga merasa kelelahan sementara aku berada di daerah yang dalam. Aku memutuskan untuk tidur di atas punggungku dan membiarkan tubuhku hingga bisa mengapung di atas air. Dan itulah yang terjadi. Secara tiba-tiba, seakan-akan ada orang yang menarikku ke bawah… aku berusaha untuk naik…..aku berusaha untuk melawan….aku berusaha dengan seluruh cara yang aku ketahui, akan tetapi aku merasa orang yang tadi menarikku dari bawah menuju ke kedalaman laut seakan-akan sekarang berada di atasku dan menenggelamkan kepalaku ke bawah. Aku berada dalam keadaan yang ditakuti oleh semua orang. Aku seorang diri, pada saat itu aku merasa lebih lemah daripada lalat. Nafaspun mulai tersendat, darah mulai tersumbat di kepala, aku mulai merasakan kematian! Tiba-tiba, aku tidak tahu mengapa…aku ingat kepada ayahku, saudara-saudaraku, kerabat-kerabat dan teman-temanku… hingga karyawan di toko pun aku mengingatnya.Setiap orang yang pernah lewat dalam kehidupanku terlintas dalam ingatanku…semuanya pada detik-detik yang terbatas…kemudian setelah itu, aku ingat diriku sendiri..!.!! Mulailah aku bertanya kepada diriku sendiri…apa engkau shalat? Tidak. Apa engkau puasa? Tidak. Apa engkau telah berhaji? Tidak. Apa engkau bershadaqah? Tidak. Engkau sekarang di jalan menuju Rabbmu, engkau akan terbebas dan berpisah dari kehidupan dunia, berpisah dari teman-temanmu, maka bagaimana kamu akan menghadap Rabb-mu?

Tiba-tiba aku mendengar suara ayahku memanggilku dengan namaku dan berkata: “Bangun dan shalatlah.” Suara itupun terdengar di telingaku tiga kali. Kemudian terdengarlah suara beliau adzan. Aku merasa dia dekat dan akan menyelamatkanku. Hal ini menjadikanku berteriak menyerunya dengan memanggil namanya, sementara air masuk ke dalam mulutku. Aku berteriak….berteriak…tapi tidak ada yang menjawab. Aku merasakan asinnya air di dalam tubuhku, mulailah nafas terputus-putus. Aku yakin akan mati, aku berusaha untuk mengucapkan syahadat….kuucapkan Asyhadu…Asyhadu…aku tidak mampu untuk menyempurnakannya, seakan-akan ada tangan yang memegang tenggorokanku dan menghalangiku dari mengucapkannya. Aku merasa bahwa nyawaku sudah dalam perjalanan keluar dari tubuhku. Akupun berhenti bergerak…inilah akhir dari ingatanku.

Aku terbangun sementara kau berada di dalam kemah…dan di sisiku ada seorang tentara dari Khafar al Sawakhil (penjaga garis batas laut), dan bersamanya para pemuda yang tadi mempersiapkan diri untuk shalat. Saat aku terbangun, tentara itu berkata:”Segala puji bagi Allah atas keselamatan ini.” Kemudian dia langsung beranjak pergi dari tempat kami.

Aku pun bertanya kepada para pemuda tentang tentara tersebut. Apakah kalian mengenalnya? Mereka tidak mengetahuinya, dia datang secara tiba-tiba ke tepi pantai dan mengeluarkanmu dari laut, kemudian segera pergi sebagaimana engkau lihat, kata mereka. Akupun bertanya kepada mereka: “Bagaimana kalian melihatku di air?” Mereka menjawab,”Sementara kami di tepi pantai, kami tidak melihatmu di laut, dan kami tidak merasakan kehadiranmu, kami tidak merasakannya hingga saat tentara tersebut hadir dan mengeluarkanmu dari laut.”

Perlu diketahui bahwa jarak terdekat denga Markas Penjaga Garis Laut adalah sekitar 20 Km dari kemah kami, sementara jalannya pun jalan darat, yaitu membutuhkan sekitar 20 menit hingga sampai di tempat kami sementara peristiwa tenggelam tadi berlangsung dalam beberapa menit. Para pemuda itu bersumpah bahwa mereka tidak melihatku. Maka bagaimana tentara tersebut melihatku?

Demi Rabb yang telah menciptakanku, hingga hari ini aku tidak tahu bagaimana dia bisa sampai kepadaku. seluruh peristiwa ini terjadi saat teman-temanku berada dalam penyelaman di laut. Ketika aku bersama para pemuda yang menengokku di dalam kemah, HP-ku berdering. segera HP kuangkat, ternyata ayah yang menelepon. Akupun merasa bingung, karena sesaat sebelumnya aku mendengar suaranya ketika aku di kedalaman, dan sekarang dia menelepon? Aku menjawab….beliau menanyai keadaanku, apakah aku dalam keadaan baik? Beliau mengulang-ulangnya, berkali-kali. Tentu saja aku tidak mengabarkan kepada beliau, supaya tidak cemas.

Setelah pembicaraan selesai aku merasa sangat ingin shalat. Maka aku berdiri dan shalat dua rakaat, yang selama hidupku belum pernah aku lakukan. Dua rakaat itu aku habiskan selama dua jam. Dua rakaat yang kulakukan dari hati yang jujur dan banyak menangis di dalamnya. Aku menunggu kawan-kawanku hingga mereka kembali dari petualangan. Aku meminta izin pulang duluan. Akupun sampai di rumah dan ayahku ada di sana. Pertama kali aku membuka pintu, beliau sudah ada di hadapanku dan berkata: “Kemari, aku merindukanmu!” Akupun mengikutinya, kemudian beliau bersumpah kepadaku dengan nama Allah agar aku mengatakan kepada beliau tentang apa yang telah terjadi padaku di waktu Ashar tadi.

Akupun terkejut, bingung, gemetar dan tidak mampu berkata-kata. Aku merasa beliau sudah tahu. Beliau mengulangi pertanyaannya dua kali. Akhirnya aku menceritakan apa yang terjadi padaku. Kemudian beliau berkata:”Demi Allah, sesungguhnya aku tadi mendengarmu memanggilku, sementara aku dalam keadaan sujud kedua pada akhir shalat Ashar, seakan-akan engkau berada dalam sebuah musibah. Engkau memanggil-manggilku dengan teriakan yang menyayat-nyayat hatiku. Aku mendengar suaramu dan aku tidak bisa menguasai diriku hingga aku berdo’a untukmu dengan sekeras-kerasnya sementara manusia mendengar do’aku. Tiba-tiba, aku merasa seakan-akan ada seseorang yang menuangkan air dingin di atasku. Setelah shalat, aku segera keluar dari masjid dan menghubungimu. Segala puji bagi Allah, aku merasa tenang bagitu mendengar suaramu. Akan tetapi wahai anakku, engkau teledor terhadap shalat. Engkau menyangka bahwa dunia akan kekal bagimu, dan engkau tidak mengetahui bahwa Rabbmu berkuasa merubah keadaanmu dalam beberapa detik. Ini adalah sebagian dari kekuasaan Allah yang Dia perbuat terhadapmu. Akan tetapi Rabb kita telah menetapkan umur baru bagimu.

Saat itulah aku tahu bahwa yang menyelamatkan aku dari peristiwa tersebut adalah karena Rahmat Allah Ta’ala kemudian karena do’a ayah untukku. Ini adalah sentuhan lembut dari sentuhan-sentuhan kematian. Allah Ta’ala ingin memperlihatkan kepada kita bahwa betapapun kuat dan perkasanya manusia akan menjadi makhluk yang paling lemah di hadapan keperkasaan dan keagungan Allah Ta’ala.

Maka semenjak hari itu, shalat tidak pernah luput dari pikiranku. Alhamdulillah. Wahai para pemuda, wajib atas kalian taat kepada Allah dan berbakti kepada kedua orang tua. Ya Allah, ampunilah kami dan kedua orang tua kami, terimalah taubat kami dan taubat mereka dan rahmatilah mereka dengan rahmat-Mu.Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua, jangan sekali-kali mengabaikan kewajiban ibadah kita walaupun kelihatannya sepele. [ ]

Istana Cinta, Surga Harapan

Masih ingatkah waktu itu tangisan pertama mu. Saat semua orang di sekeliling mu begitu bergembira bahagia menyambut kehadiran mu, sedang engkau terus menerus menangis di awal kehidupan mu. masih teringat saat itu engkau tak henti-hentinya menangis di atas semua doa-doa dan harapan mereka. Waktu itu terlampau kecil dirimu, engkau hanyalah seonggok bayi lemah tak berdaya yang belum pernah melihat kehidupan, apa yang engkau tahu tentang dunia ini. engkau bahkan  tak mengerti apa-apa. Tapi lihatlah mereka semua begitu bersimpatik kepadamu, mereka mulai menyapamu dengan sapaan yang lembut, mulai mengajak mu berbicara dengan bahasa-bahasa cinta, menghiburmu dengan ribuan aneka cara, mereka mulai menenangkanmu dengan penjagaannya dan dekapannya seakan-akan mereka berkata ‘ You never Alone’.

(Terima kasih untuk Ummi dan Abi…)

Kini mereka (Orang Tua) mulai mengasuhmu dengan pengasuhannya yang terbaik, melayanimu di dalam suatu tempat yang sangat baik untuk melindungimu. indahnya Rumah Pertama mu, sangat luas bukan? bukankah semua ini sangat indah? tempat istimewa yang baru sekali engkau lihat sebagai seorang bayi kecil dan mungil. tempat mu sering kali menangis dan tertawa, tempat mu sering kali merengek untuk meminta apa yang kau inginkan.

Kini lambat laun waktu pun berjalan dan kini semuanya berubah. Sekarang engkau telah tumbuh besar, sekarang engkau sudah mulai pandai sekali berbicara, bahkan sekarang sudah hampir sebagian waktu mu terus di habiskan di luar rumah ini.

‘ Nak, kamu dimana? cepat pulang ya Abi dan Ummi khawatir pada mu’ .  Sungguh begitu sayangnya mereka pada mu.

(Terima kasih untuk Ummi dan Abi…)

Tapi sekarang ada apa dengan mu, Nak…
menakjubkannya sekarang kenapa engkau sudah merasa besar, engkau merasa rumah ini begitu kecil, sesak, dan sempit tidak seperti rumah-rumah teman mu yang pernah kau kunjungi.

sekarang engkau sudah merasa lebih pandai, kini lebih pintar lisanmu dalam beralasan ‘ Tunggu’, ‘Entar’, ‘Tidak mau’ kepada mereka orang tua mu. atau dirimu hanya sekedar ingin menunjukan kepada saudara mu di rumah ini, bahwa ucapan mu lebih baik dan lebih benar dari ucapan saudaramu yang lain dengan mengargumenkan apa pun yang bisa kau ucapkan. tidak ada kelapangan hati rasa mau mengalah dalam hormat dan sayang.

kini engkau sudah merasa bebas, lebih senang memilih melakukan sesuatu di luar sana yang merasa lebih begitu mengasyikan dari pada mengerjakan tugas rumah mu meski mereka orang tua mu sering kali engkau tinggalkan, tapi mereka tak pernah meninggalkanmu dalam bait doanya.

Sungguh…
 
Masih ingat kah di rumah ini saat kita dahulu belajar mengeja dan berbicara bersama?
Masih ingat kah di rumah ini saat kita dahulu belajar merangkak dan berjalan bersama?
masih ingat kah di rumah ini saat kita dahulu mulai jatuh dan terus belajar berdiri kembali bersama ?

Rumah Pertama kita…

Duhai saudara ku…
 
kalo semua orang di dalam rumah ini ingin semuanya terus berbicara, lalu siapa yang akan belajar mendengarkan?

kalo semua orang di dalam rumah ini merasa besar dan semuanya ingin menjadi pemimpin, lalu siapa yang akan belajar menasehati dan mentaati?

kalo semua orang di dalam rumah ini berada di luar, lalu siapa yang akan belajar menjaganya?
 
Gubuk kecil mu…

ini memang tentang gubuk kecil mu, rumah idaman kita dahulu. bangunan Istana cinta pertama yang masih tegak berdiri. meskipun waktu mengusangkan rupa tapi tidak pernah menghilangkan rasa. mencintai mu sebagai mana mencintai diri ini sendiri itu yang membuat semua ini berarti. Rumah sederhana yang syarat penuh dengan makna. Rumah yang di dalamnya penuh dengan kedamaian, ketenangan, dan kebaikan.

Rumah impian kita, telaga surga harapan yang tak pernah berhenti mengalir. tempat kita merasakan sejuknya semilir, tempat dimana semua impian-impian mulia kita terukir.

aku hanya sekedar rindu, dan esok Pun akan ku bangun Rumah ku bersama keluarga kecil tercinta.

 Sesungguhnya Engkau tahu, bahwa hati ini telah berpadu berhimpun dalam naungan cinta-Mu’.

Semoga Allah.SWT memberikan sepetak rumah di Surga, yang akan mengumpulkan cinta dan harapan serta kita semua di dalam-nya. Sebuah Istana yang Indah di sana.
 
 
◄ Newer Post Older Post ►

Para Sahabat

Nasehat Sang Murabbi

Nasehat Sang Murabbi

Sekilas

Sekilas
Bukanlah seorang penulis apalagi seorang plagiator, tapi coba berbagi atas apa yang di dengar, di lihat dan di baca....

Nasyid

Jangan lupa di LIKE ya,,,

×
 

Copyright 2011 Blog Kita79 is proudly powered by blogger.com | Design by BLog BamZ