Banyak orang yang meletakkan predikat
kaya kepada sosok-sosok yang paling banyak harta, asetnya melimpah,
saldo tabungannya membengkak, dan kriteria-kriteria duniawi lainnya.
Sebaliknya, bagi mereka yang rumahnya masing mengontrak, saldo
tabungannya tak lebih dari enam dijit angka nolnya, dan tak memiliki
kendaraan pribadi, masyarakat pun langsung menisbatkan kata miskin
kepadanya.
Padahal, sebagai orang Islam, kita
dituntut untuk menilai segala sesuatu berdasarkan sudut pandang yang
disampaikan oleh Allah Ta’ala di dalam al-Qur’an, sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sahabat-sahabat dan seluruh penerusnya
dari kalangan ulama Rabbani
Salah satu sudut pandang itu, sebagaimana
disebutkan oleh Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. Beliau
menyebutkan tentang kiat agar seorang hamba dikarunia kekayaan sejati.
Agar menjadi orang terkaya.
“Abdullah bin Mas’ud berkata,” tulis Imam al-Harits al-Muhassibi dalam Risalah al-Mustarsyidin,
“Bersikap relalah dalam menerima pembagian Allah Ta’ala, niscaya Anda
menjadi orang yang paling kaya. Jauhilah apa yang Allah Ta’ala haramkan
bagimu, niscaya Anda menjadi manusia yang paling wara’.”
Orang kaya dalam sudut pandang Islam
bukanlah mereka yang memiliki harta paling banyak, lalu menumpuk dan
menolak mengeluarkan hak-hak harta di jalan Allah Ta’ala serta kepada
mereka yang berhak menerimanya.
Dalam sudut pandang Islam, orang-orang
seperti ini dikategorikan sebagai manusia yang miskin karena hatinya
tersandra dengan dunia. Tiada kesibukannya kecuali memburu harta,
jabatan, dan wanita. Tiada yang dipikirkannya kecuali cara-cara licik
untuk menggapai sekian target duniawi.
Dalam Islam, seseorang disebut kaya
ketika dirinya tidak tergantung dengan dunia. Mereka mencari dunia, tapi
untuk bekal akhirat. Lantaran sikap ini pula, ada begitu banyak kaum
Muslimin yang dikejar-kejar oleh dunia, justru ketika mereka
meninggalkan dan tidak sedikit pun berhasrat dengan dunianya.
Mereka rela dengan apa dan berapa pun
yang diberikan oleh Allah Ta’ala. Mereka ikhlas. Mereka ridha. Mereka
tidak pernah melihat jumlah, tapi senantiasa memperhatikan Zat yang
telah memberinya rezeki. Mereka senantiasa menganggap pemberian Allah
Ta’ala sebagai sesuatu yang agung, pun jika jumlahnya sedikit dalam
pandangan manusia pada umumnya.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..