Nyata Sodom-Gomorah di
Banjarnegara
====================
Di ujung tahun 2014 bencana alam bertubi-tubi datangnya. Sinabung belum beres, Gamalama meledak. Ada juga bencana longsor di Karangkobar-Banjarnegara, Jawa Tengah, yang mengubur Desa Jemblung dan menewaskan ratusan warganya.
Bagi yang memiliki iman, bencana alam yang datang bertubi-tubi menimpa bangsa ini tentu merupakan satu isyarat dari Allah swt, agar kita kembali ke jalan tauhid dengan benar, tidak menuhankan sesama mahluk, tidak menuhankan benda mati, karena Tuhan itu hanya satu yakni Allah swt.
Ada sekelumit kisah nyata yang pernah terjadi pada sebagian bangsa ini yang mungkin kita telah lupa. Dan sayangnya, peristiwa yang penuh dengan pelajaran ini sama sekali tidak disinggung-singgung sedikit pun di dalam buku pelajaran di sekolah. Kita dan anak-anak kita tidak pernah tahu jika ada suatu desa yang penduduknya nyaris sama dengan kaum Sodom-Gomorah, senang bermaksiat, yang oleh Allah swt dikubur seluruhnya
dalam satu malam hingga tidak bersisa. Satu desa bersama seluruh penduduknya lenyap dalam satu
malam tertutup puncak sebuah gunung yang berada agak jauh dari lokasi desa itu. Siapa yang mampu memindahkan puncak gunung itu ke suatu tempat untuk mengubur satu desa kecuali Allah Yang Maha Kuasa?
Inilah kisah tentang Dukuh Legetang,
yang masuk dalam wilayah Banjarnegara, Jawa Tengah.
Kejadiannya di tahun 1955.
Dukuh Legetang adalah sebuah dukuh makmur yang lokasinya tidak jauh dari dataran tinggi Dieng-Banjarnegara, sekira 2 kilometer di sebelah utaranya.
Penduduknya cukup makmur dan kebanyakan para petani yang cukup
sukses. Mereka bertani sayuran,
kentang, wortel, kobis, dan sebagainya.
Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain tidak panen tetapi mereka panen berlimpah.
Kualitas buah dan sayur yang dihasilkan juga lebih baik dari yang lain. Namun bukannya mereka bersyukur, dengan segala kenikmatan ini mereka
malah banyak melakukan kemaksiatan.
Barangkali ini yang dinamakan “istidraj” atau disesatkan Allah dengan cara diberi rezeki yang banyak namun orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan.
Masyarakat Dukuh Legetang umumnya ahli maksiat. Perjudian di dukuh ini merajalela, begitu pula minum-minuman keras. Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger, sebuah kesenian tradisional yang dibawakan
oleh para penari perempuan, yang
sering berujung kepada perzinaan.
Ada juga anak yang malah melakukan kemaksiatan bersama ibunya sendiri.
Beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh ini.
Pada suatu malam, 17 April 1955, turun hujan yang amat lebat di dukuh itu. Tapi masyarakat Dukuh Legetang masih saja tenggelam dalam kemaksiatan. Barulah pada tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara keras seperti sebuah bom besar dijatuhkan di sana, atau seperti suara benda yang teramat berat jatuh.
Suara itu terdengar sampai ke desa-desa tetangganya. Namun malam itu tidak ada satu pun yang berani keluar karena selain suasana teramat gelap, jalanan pun sangat licin.
Pada pagi harinya, masyarakat yang
ada di sekitar Dukuh Legetang yang
penasaran dengan suara yang amat
keras itu barulah keluar rumah dan
ingin memeriksa bunyi apakah itu yang terdengar amat memekakkan telingan tadi malam. Mereka sangat kaget ketika di kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah terbelah, rompal. Dan mereka lebih kaget bukan kepalang ketika melihat Dukuh Legetang sudah tertimbun tanah dari irisan puncak gunung tersebut. Bukan saja tertimbun tapi sudah berubah menjadi sebuah bukit, dengan mengubur seluruh dukuh beserta warganya.
Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah, kini sudah menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit.
Seluruh penduduknya mati. Gegerlah kawasan Dieng…
Masyarakat sekitar terheran-heran.
Seandainya Gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka longsoran itu pasti hanya akan menimpa lokasi di bawahnya. Akan tetapi kejadian ini jelas bukan longsornya gunung. Antara
Dukuh Legetang dan Gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Namun sungai dan jurang itu sama sekali tidak terkena longsoran.
Jadi kesimpulannya, potongan gunung itu malam tadi terangkat dan jatuh menimpa dukuh Legetang.
Siapa yang mampu mengangkat separo gunung itu kalau bukan Allah
Yang Maha Kuasa?
“ Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang dilangit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi
itu bergoncang?” (QS Al Mulk 67: 16).
Untuk memperingati kejadian itu,
pemerintah setempat mendirikan sebuah tugu yang hari ini masih bisa dilihat siapa pun. Ditugu tersebut
ditulis dengan plat logam:
“TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG
SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955″
Sungguh kisah tenggelamnya dukuh
Legetang ini menjadi peringatan bagi
kita semua bahwa azab Allah swt yang seketika itu tak hanya terjadi di masa lampau, di masa para nabi, tetapi azab itu pun bisa menimpa kita di zaman ini.
Bahwa sangat mudah bagi Allah swt untuk mengazab manusia-manusia lalim dan durjana dalam hitungan detik.
Andaikan di muka bumi ini tak ada lagi hamba-hamba-NYa yang bermunajat di tengah malam menghiba ampunan-Nya, mungkin dunia ini sudah kiamat.
Kita berhutang budi kepada para
ibadurrahman, para hamba Allah swt
yang berjalan dengan rendah hati, tak menyombongkan dirinya. Mereka
senantiasa bersujud memohon
ampunan-Nya. Meski keberadaan mereka terkadang tak dianggap,
hanya dipandang sebelah mata oleh
manusia, tetapi sesungguhnya mereka begitu akrab dengan penghuni langit.
Mereka begitu tulus menghamba pada-Nya, berusaha menegakkan
kalimat-Nya di muka bumi ini.
Mereka tak pernah mengharapkan imbalan dari manusia, karena imbalan dari Allah swt lebih dari segalanya.
(Rizki Ridyasmara)
sumber
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..