Suara itu memecahkan keheningan malam, menahan langkah kaki
yang dari tadi melangkah perlahan-lahan memasuki rumahnya seperti
seorang maling. Sepasang kaki itu adalah milik seorang remaja SMA,
bernama Rafli.
“Astaghfirullah, ini sudah malam, kamu liat ga ini jam berapa? Jam 2 malam Nak!” Pria itu makin meninggikan suaranya.
“Biasa, tadi main bentar”, remaja itu berjalan cepat meninggalkan pria—yang tidak lain adalah ayahnya sendiri- menuju kamarnya.
***
Dua tahun sudah Ibunda Rafli meninggal dunia. Dokter mendiagnosisnya terkena kanker darah. Sejak dua tahun itu pula sikap Rafli berubah. Ibu yang senantiasa ada
di sisinya, tempat Ia mengadu di kala sedih, tempat Ia bercerita
tentang seluruh keadaan di sekolah, pahlawan yang serba bisa dan penuh
rasa kasih sayang untuknya pergi begitu saja.
***
“Ayah sudah berkali-kali kan
bilang ke kamu, fokus belajar! Jangan main melulu! Liat nilai mu ini!
Ayah malu rasanya hampir setiap bulan Ayah dipanggil ke sekolah hanya
untuk mengurusi hal yang sama”.
Pria itu melempar sebuah raport yang bersampul biru ke atas meja kaca.
“Ah sudah lah! Apa cuma marah-marah yang bisa Ayah lakukan? Kenapa
Ayah tidak bisa bertanya baik-baik?! Setiap bulan Ayah selalu
menyalahkan hal yang sama bukan? Mulai hari ini, aku memilih jalanku
sendiri, aku ingin menjadi seorang seniman, bukan jadi Insinyur seperti
yang Ayah paksakan”.
Braaaak!! Lagi-lagi Ia meninggalkan ayahnya yang belum selesai
berbicara. Kali ini pintu ruang tamu yang Ia banting. Keras sekali.
Seolah-olah itu adalah ekspresi marahnya yang sudah tak terbendung lagi
kepada ayahnya.
***
Tetesan air mata dari pria beruban itu jatuh juga. Ia sadar, Ia
begitu keras selama ini terhadap anaknya. Rasanya ingin memutar waktu ke
belakang. Ingin mengulang lagi dari awal. Ia sadar Ia telah
menyia-nyiakan waktu untuk Rafli, Ia hanya fokus bekerja dan bekerja. Ia
harus pergi pagi, ketika anaknya masih tertidur lelap dan harus pulang
malam ketika anaknya telah tertidur lelap. Bahkan tidak ada ciuman
hangat sebelum tidur yang bisa Ia hadiahkan untuk anaknya. Bahkan tidak
ada momen bermain bola kaki bersama saat weekend. Itu dulu. Telah berlalu. Percuma disesali.
Pria itu merasa sesak. Air matanya jatuh berlinangan. Kini di hari
tuanya, Ia hanya ditemani kesendirian. Istri yang selama ini telah Ia
sia-siakan, yang begitu mencintainya telah lebih dulu dijemput oleh
Allah. Sedangkan anaknya, Rafli, tumbuh dengan kebencian terhadapnya.
“Apa yang salah dengan dirinya, sehingga Rafli begitu membencinya?”
pikirannya berputar-putar mencari jawaban. Tak ada ruang baginya di hati
anaknya. Ini semua tentang kuantitas dan kualitas waktu!
Bagaimana tidak? Selama ini Rafli seolah-olah hidup seperti anak yatim.
Ia berlayar ke mana-mana meninggalkan anak dan istrinya. Alasannya?
Uang. Ke mana Ia saat anaknya demam tinggi? Ke mana Ia bahkan di saat
malam takbiran Idul Fitri pun
tak sempat mencicip ketupat buatan istrinya? Ke mana Ia saat istrinya
kesusahan dengan kemoterapi yang berkali-kali dan begitu menyakitkan?
Dengan semua perlakuan tersebut, masihkah ia pantas disebut sebagai Ayah
yang baik? Pantaskah Ia dicintai oleh seorang Rafli?
Air mata itu terus terjatuh.
Hanya ada penyesalan di benaknya, penyesalan yang percuma dan sia-sia.
***
“Raf, Minggu depan kita bakalan manggung, jaga stamina ya bro!”
Rafli tersenyum lebar melihat wajahnya terpampang di salah satu
poster majalah dinding sekolahnya. Akan ada konser amal yang diadakan
oleh OSIS sekolahnya. Tentu saja Rafli akan unjuk kebolehan di konser
amal tersebut.
“Raf, lu engga ngundang bokap?” sebuah pertanyaan dari salah seorang temannya memudarkan senyuman Rafli.
“Buat apa? Paling dia juga kaga mau dateng, Ndre!”
“Yaaa, minimal buat nunjukkin ke bokap lu, lu udah mau berubah, udah
rajin sekolah dan engga cuman bisa gebuk-gebukin drum doang!” balas
Andre.
“Yaudah, lu atur aja deh, gue yakin dia engga bakal mau dateng”
Sebenarnya Ia sangat mengharapkan kehadiran ayahnya di konser
tersebut. Entah kenapa, sejak Ia meninggalkan rumah, rasa bersalah terus
menghantuinya. Tidak seharusnya Ia bersikap demikian terhadap ayahnya
sendiri, seburuk apapun sosok ayahnya di matanya. Namun, seketika Ia
hapuskan harapan-harapan itu. Ia takut kecewa.
“Jangan panggil gue sobat lu Raf, kalo gue engga bisa mendatangkan ayah lu ke konser itu”, Andre berusaha meyakinkan.
***
“Malam pak, saya Andre temannya Rafli. Kami ingin mengundang bapak
untuk hadir di acara konser amal kami Selasa, 16 November besok. Rafli
akan tampil pak, dan Insya Allah Ia akan menampilkan performa
terbaiknya. Kiranya bapak bisa hadir, karena Rafli sangat mengharapkan
kehadiran bapak. Terima kasih.” –Andre
Andre tidak main-main dengan kata-katanya. Hari itu juga Ia
mengirimkan pesan singkat kepada Ayah Rafli. Harapannya satu, semoga
Pria tersebut tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan
hati anaknya. Semoga.
***
Sore ini cerah. Mobil Innova hitam melaju kencang melewati tol dalam
kota, menuju SMA Harapan Bangsa. Tol cenderung sepi, seakan-akan si
pengendara mobil bisa menguasai sepanjang jalan tol. Bahagia sekali
rasanya.
Tiba-tiba sebuah mobil dari arah belakang meluncur begitu cepat.
Tidak terkendali. Hingga menabrak punggung Innova hitam tersebut.
Braaaak! Hancur. Innova hitam itu terguling, bersama dengan pengendara
di dalamnya.
***
“Rafli, ayah lu kecelakaan!”
Suasana ruang gladi resik yang hiruk pikuk menjadi hening sekejap.
Tubuh Rafli mendadak dingin. Ia terdiam sesaat. Dan berlari secepat
kilat menuju mobil yang akan mengantarkannya ke rumah sakit. Bibirnya
bergetar, memanggil seseorang yang Ia sebut sebagai Ayah.
***
Tubuh lemah itu terbaring penuh darah.
“Ayah”, panggil Rafli lemah. Berkali-kali Ia ucapkan. Ia genggam tangan ayahnya. Kuat sekali.
“Ayah, bangun ayah! Jangan tinggalkan Rafli lagi ayah!” Wajahnya memerah, air matanya semakin deras.
Dari balik mata yang tertutup itu, air mata mengalir perlahan. Hanya ada suara lemah terakhir yang terucap, “Maafkan Ayah, Nak!” Suara itu melemah, diikuti dengan denyut jantung yang semakin menghilang.
Detail: Maafkan Ayah, Nak!