“Dia dulu berjilbab,” kata laki-laki berkacamata itu pagi ini.
Ia melanjutkan, bahwa teman kantornya kini tidak saudara lagi. Tidak saudara lagi? Maksudnya?
“Ia kini tidak seagama lagi dengan kita,” ucapnya dengan nada lemah.
Sang kawan perempuan yang dimaksudnya itu menanggalkan jilbabnya dan meninggalkan agama islam hanya gara-gara urusan ‘cinta’.
Para misionaris sepertinya paham benar
bahwa ‘cinta’ bisa melunturkan iman. Nampaknya mereka juga tahu bahwa
iman bangsa kita masih terlalu mudah untuk lucut.
Bayangkan, dalam kurun waktu 1980 s/d
2006 tahun jumlah aliran sesat di negeri yang serba ‘halal’ ini mencapai
250 buah. Tak habis pikir, sudah ketahuan sesat, kok masih ada saja
yang ikut. Pengikutnya banyak militan dan mulutan pula.
Bukan hanya ulama thok yang menyebutnya
sesat, bahkan tukang batu akik yang lagi mangkal di perempatan jalan
sekalipun tahu bahwa kelompok itu memang keluar atau menyempal dari
akidah Islam.
Penyebabnya? Mungkin karena bangsa kita
ini sangat dangkal akidah, lemahnya proses pembinaan. Harus disadari
pula bahwa pendidikan Agama Islam baik di sekolah maupun bangku kuliah
kerapkali hanya hanya formalitas, tak pernah digarap dengan baik dan
serius, semua dikerjakan dengan ‘asal memenuhi’.
Iman takwa yang selalu disebut-sebut
sebagai syarat seorang pejabat, lebih sering berupa rapi di bagian
kostum dan hadir dalam peringatan hari besar agama–mungkin juga peci dan
foto selfie ketika haji–namun compang-camping dalam hal ibadah
yaumiyah. Sementara buang sampah sembarangan, praktik sogok dan praktik
nyolong uang negara tetap jalan terus dan mulus.
Para misionaris dunia serius ingin
mengkristenkan Indonesia adalah karena negeri ini punya jumlah bahan
baku dalam jumlah yang cukup besar. Bayangkan, ada 200 juta manusia
beragama Islam tinggal di satu negara, dengan iman rapuh, jumlah ulama
seuprit, pemerintah yang seringkali “bukan urusan saya”, dan sebagian
besar hidup didera kemiskinan yang mengakar hingga mati.
Itulah lahan paling subur yang selalu
dicari-cari para misionaris. Harga iman di dada setara dengan ‘cinta’
yang berkarat. Murahan sekali.
Cukup meletakkan orang-orang kristen di
berbagai lini, dari mulai menaruhnya di sektor bisnis, industri,
pendidikan hingga menaruhnya di posisi strategis seperti menjadi
gubernur. Maka, dengan begitu praktik kristenisasi mudah dilakukan,
tampak tidak ada apa-apa karena dianggap ‘kebebasan memeluk agama’ atau
melegalkan prostitusi dengan sertifikasi pelacur dianggap cara manjur
agar penduduk bernasib mujur. Tinggal menunggu hancur.
“Setelah menikah dengan teman saya, ia ikut agama suaminya. Kristen,” terangnya.
Miris.
Wallahua’lam. [Paramuda/Bersama Dakwah]