Da’wah
memerlukan sebuah pengaturan yang rapi dan terkoordinir satu sama lain.
Hal ini akan dapat dipahami ketika kita berhadapan dengan luasnya
cakupan da’wah serta banyak dan beragamnya faktor-faktor yang mendukung
maupun menghambatnya. Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan
kebaikan yang tidak terorganisir. inilah yang kemudian mengharuskan
adanya amal jama’i yang dalam lingkungan kampus terimplementasikan dalam
bentuk Lembaga Da’wah Kampus (LDK).
Dalam
perkembangannya, LDK menjadi perangkat sekaligus simbol gerakan da’wah
di lingkungannya. Meskipun tidak secara keseluruhan, namun salah satu
parameter yang penting di dalam menilai kondisi da’wah di kampus adalah
maju atau mundurnya LDK yang bergerak di dalamnya. Dia adalah pusat
syi’ar islam dan menjadi komponen yang tidak boleh lepas dalam keutuhan
pergerakan islam. Posisinya sangat strategis, karena mahasiswa adalah
tempat idealisme yang akan membawa arus perubahan dalam pembentukan
peradaban di masa depan.
Secara
umum, da’wah menyeru manusia kepada cahaya islam yang membawa kebaikan
pada dunia. Namun dalam prosesnya, da’wah tidak pernah mudah. LDK juga
tidak akan pernah lepas dari kesukaran dan hambatan-hambatan yang ada.
Berbagai manufer harus dilakukan dan profesionalisme terus ditingkatan
untuk mengatasinya. Dibalik semua hiruk-pikuk tersebut, tidak jarang
seorang pelaku da’wah seakan lalai pada apa yang sedang dia perjuangkan
dan terutama bagaimana seharusnya dia berjuang. Yang dimaksud adalah,
sering kita menemukan banyak pelaku da’wah yang secara tidak sadar
justru keluar dari nilai-nilai islam. Terlalu tajam bermanufer sehingga
keluar dari lintasan. Mengapa ? karena tidak jarang kita memang tidak
tahu dimana tepatnya batas lintasan yang benar.
Da’wah
berpijak atas kaidah dan aturan. Untuk mencapai tujuan, tidak dengan
menggunakan segala cara. Inilah salah satu yang akan menjadi pembeda
antara da’wah ilallah dengan kepada selain-Nya. Untuk tetap berada pada
lintasan yang benar, maka satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah
tentang kefahaman seorang pelaku da’wah tentang apa yang dida’wahkannya.
Kalau
kemudian kita mencoba mengoreksi diri kita sendiri dalam batasan sebagai
seorang aktivis da’wah kampus, kita akan mendapati banyak hal yang
kurang benar. Dalam sebuah kepanitiaan misalnya, untuk sebuah kata
”fleksibilitas” tidak jarang kita mengorbankan hal-hal yang sebenarnya
prinsip. Mungkin salah satu penyebabnya adalah ketika kita mencoba
menggunakan ”Fiqih Prioritas”, sebenarnya belum jelas bagi kita hal apa
saja yang seharusnya diprioritaskan. Dalam tataran personal,
masalah-masalah tentang Idhafiyah dan terutama ’amaliyah, tidak sedikit
pelaku da’wah yang belum begitu paham. Dan ketika berintegrasi dalam
sebuah struktur keorganisasian yaitu LDK, masalah ini tidak hilang,
namun sering tertutup oleh aktivitas da’wah sendiri yang notabene banyak
menyita waktu dan tenaga.
Kita
mungkin baru sadar adanya masalah ini ketika ada seorang mad’u bertanya
tentang masalah ini dan itu atau hukum ini dan itu. Diam menjadi pilihan
karena memang kita tidak paham. Paling tidak, tidak perlu berbicara
tanpa ilmu. Sudah muncul kata kuncinya sekaligus inti masalahnya, yaitu
ilmu. Kenyataannya adalah, banyak pelaku da’wah kampus yang bergerak
tidak berdasarkan ilmu dinniyah yang memadai.
Sebab-sebab yang Mendasari :
- Motivasi untuk berjuang yang terlalu dini
Yang
dimaksud adalah, misal : Dalam suatu forum, seorang dengan penuh
semangat menerangkan tentang ghozwul fikri, Palestina, Invasi ke Irak,
Afganistan, Penjara Abu Gharib, Kristenisasi, dan sebagainya. Kemudian
sampai pada kesimpulan bahwa umat islam harus bangkit untuk melawan
semua itu agar tiada lagi fitnah di muka bumi dan agama hanyalah milik
Allah semata. Seorang muslim tentu akan sangat termotivasi dengan ini,
ingin segera berjuang, berda’wah, menjadi aktivis, dan masuk ke
lembaga-lembaga da’wah islam. Hal ini bagus !
Masalahnya
adalah, forum ini baru berlangsung satu bulan. Padahal belum juga
diterangkan tentang tauhid, al wala’ wal bara’, fiqh sholat, thoharoh,
akhlaq islami, dan lain-lain.
Inilah
kesalahan, seorang pelaku da’wah terlanjur berlari padahal pijakannya
belum kuat. Banyak kita temui hal seperti ini. Sebuah sikap yang
terburu-buru. Memang secara kuantitas, hal seperti ini akan menghasilkan
akselerasi kader yang tinggi.Namun
adakah kita lupa saat sahabat bertanya : ” Apakah waktu itu jumlah kita
sedikit wahai Rasulullah ?”. Aduhai, bukan buih yang akan membawa umat
ini pada kejayaan.
2. Proses kaderisasi yang kurang tepat
Kaderisasi
akan menjadi wasilah untuk menjamin kesinambungan da’wah. Karena Da’wah
Islam adalah sebuah jalan yang panjang dan berproses dalam kurun waktu
yang lama. Namun sering menjadi bias ketika kaderisasi hanya dipahami
sebatas Open Rekruitmen dan pembagian amanah di tiap bidang, departemen,
divisi atau apapun namanya. Menjadi bias pula ketika ProKer kaderisasi
hanya dipenuhi oleh Training Kepemimpinan, Training Organisasi,
Sosialisasi Lembaga, Training Aktivis Da’wah, Outbond, Mabit, dsb.
Apalagi kalau kemudian kaderisasi hanya berkutat dan membatasi diri pada
hal-hal yang berkenaan dengan lembaga yang menaunginya saja. Ashobiyah
lembaga kalau saya bilang.
Kaderisasi
adalah bagian dari struktur LDK yang paling bertanggung jawab pada
kualitas kader. Kualitas yang dimaksud di sini adalah; yang pertama,
kualitas dalam artian profesionalisme organisasi. Dalam fungsi ini,
meskipun belum maksimal, namun lembaga kaderisasi Da’wah Kampus secara
umum telah menempatkan diri pada posisi yang tepat. Yang kedua adalah
kualitas dalam arti kafa’ah dinniyah, dan ini yang banyak terlalaikan.
Ketimpangan semacam inilah yang menjadi masalah.
Perlu
disadari, bahwa ikhwah yang menyatakan bergabung dalam wadah LDK adalah
tidak dalam satu tingkat kefahaman yang sama. Sangat variatif, sehingga
diperlukan adanya pembinaan untuk meng-upgrade yang masih di bawah dan
menjaga yang sudah di atas. Di sinilah kaderisasi berperan. Sehingga LDK
mempunyai fungsi da’wah ke luar maupun ke dalam. Para calon aktivis LDK
tidak harus yang telah sempurnya keilmuan, ibadah, maupun akhlaqnya,
namum minimal adalah orang-orang yang mempunyai keinginan dan
kesungguhan untuk memperbaiki diri pada masalah-masalah tersebut. Sekali
lagi, di sinilah kaderisasi harus dapat menjadi fasilitator. Namun
ketika berbicara tentang kafa’ah dinniyah, peran kaderisasi masih
terlalu minim. Hasilnya, kader kuat secara profesionalisme namun lemah
dalam masalah ilmu dan kefahaman.
3. Terlalu sibuk dalam tataran organisasi dan melalaikan kewajiban tholabul ’ilmi
Hal ini
merupakan akibat dari buruknya manajemen kader, sehingga seorang harus
menangani dua, tiga, bahkan empat amanah sekaligus. Aktivis menjadi
terlalu sibuk dengannya, dan tidak menyisakan waktu untuk sesuatu yang
lain. Sayangnya, sesuatu yang lain tersebut justru sangat penting.
Agenda kegiatan menjadi penuh dengan syuro, seminar, workshop, training,
pelatihan dan tidak menyisakan tempat untuk tholabul ’ilmi. Walaupun
dengan alibi berda’wah kepada manusia, hal ini tetap tidak bisa
dibenarkan. Aktivis yang mengambil sikap seperti ini ibarat seseorang
yang kemasukan kalajengking dalam bajunya, namun ia justru sibuk
menghalau lalat yang menempel pada orang lain.
Kebanyakan
dari kita terjebak dalam keadaan yang seperti ini. Sehingga justru
mengherankan ketika didapati seorang ikhwah yang tidak punya amanah di
tempat lain. Sistem seolah-olah mengharuskan hal ini. Walaupun akhirnya
kembali juga pada diri aktivis itu sendiri. Kalau secara ekstrim,
mengapa seorang aktivis LDK minta ijin tidak mengikuti syuro karena ada
kuliah, namun jarang kita dengar aktivis LDK minta ijin karena ada
kajian ? Keterbalikan prioritas yang semacam inilah yang sering
menimbulkan kesalahan.
Akibat yang Mungkin Muncul.
Ketika
seseorang bergerak atas nama da’wah islam, namun menyalahi kaidah-kaidah
dan syariat islam sendiri, maka efek yang pertama muncul adalah tentang
pandangan masyarakat. Lingkungan kampus sebagai mad’u secara umum
adalah masyarakat ammah dengan tingkat kefahaman tentang islam yang
masih belum mendalam. Dengan kedaan seperti ini, mereka tentu akan
mencoba melihat islam dengan mengambil sampel personal. Seperti telah
kita singgung sebelumnya, LDK adalah pusat syi’ar islam, sehingga
merupakan ”populasi sampel” yang mudah diambil. Dengan keadaan
sebagaimana dia atas, mad’u tentu tidak dapat bertindak selektif.
Maksudnya, karena belum begitu paham tentang islam, mereka akan
mengidentikkan seseorang (aktivis LDK) dengan islam. Baik aktivis yang
bermasalah maupun yang tidak.
Apakah
akan kita katakan : ”mad’u yang salah !” ? Tidak begitu, wajar kalau
mereka bersikap demikian, sebaliknya kita yang harus mengoreksi diri.
Karena ketika keadaan seperti ini tidak diluruskan, dan ketika
masyarakat mengambil sampel yang salah, berarti kita telah menjadi
fitnah atas mereka. Masyarakat akan semakin jauh dari islam, karena
dalam persepsi mereka ada ketidakberesan dalam islam.
Walaupun
sangat mungkin terjadi pula, dengan manufer yang kita lakukan, mad’u
menjadi tertarik kepada islam. Namun ketika manufer tadi ternyata
bertentangan dengan nilai-nilai islam, masalah menjadi semakin runyam.
Sekarang kita tidak lagi hanya menjadi fitnah atas mad’u namun juga
menjadi fitnah atas islam. Karena kita secara tidak langsung telah
mengaburkan ajaran islam. Yang seharusnya haram, seolah-olah halal. Yang
maksiat, seolah-olah mubah, bahkan kita menggunakannya sebagai
perangkat da’wah. Yang jelas-jelas bid’ah, seolah-olah sunnah, dan seterusnya. Dalam kondisi yang parah, jangan-jangan kita telah menyesatkan mad’u.
Ikhwah fillah….
Da’wah
kita adalah Rabbaniyah, Akhlaqiyah, Salafiyah dan kita menyerukan islam.
Kita menyandarkan diri kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, membawa nilai
kebenaran dalam sarana maupun tujuan, dan menjaga orisinalitas dalam
pemahaman dan aqidah. Bukankan ini karakter da’wah kita ? Kita
menyerukan suatu sistem yang utuh dan menyeluruh, yang dengannya jelas
antara yang haq dan yang bathil, yang halal atas yang haram, dan antara
tauhid dan kesyirikan.
Kita
akan menyampaikan ”yang seperti itu” kepada manusia. Dan hendaknya kita
selalu ingat, bahwa kita sedang membawa sesuatu yang besar. Bawaan yang
sama yang diperjuangkan para Rasul. Bukan sesuatu yang main-main, namun
harus diperjuangkan dengan penuh kesungguhan. Seseorang tidak dapat
memberi ketika dia tidak memiliki. Maka bagaimana kita akan menyampaikan
risalah agung ini, ketika kita tidak memahaminya ?
Wallahu ’alam