print this page Klik Print

Menjaga Nafas Panjang Dakwah


Ada banyak peristiwa yang sebenarnya bisa dilewati hanya dengan memejamkan mata…bahkan bisa dilewati dengan senyum bila dibarengi dengan sedikit berpikir lapang dada
[Muhammad Nursani] 

“Ga usah datang syuro… ga usah ketemu dulu hari ini dhek…kalau memang begitu…” ujar kakak di penghujung cerita.

“Hmmm…begitu yaa…?” sahut adhek dengan nada mempertimbangkan.

“Sebenarnya ndak pingin seperti ini kak… tapi… hati ini rasanya masih nyeri… belum benar-benar sembuh… kak… ”guyonan beliau” menyakitkan… saya belum bisa terima… padahal selama ini beliau orang yang saya sayangi dan saya hormati…” lanjut adhek menjelaskan alasan.

“Jangan lama-lama… rugi sendiri kan kalau “seret “ ritme dakwahnya hanya karena “banyolan” yang begituan… dhek… ingat… Rasulullah cuma kasih injury time maksimal 3 hari… kakak rasa ade sudah paham itu…” dengan bijak kakak memberi saran.

“Ya…kakak benar…” Adhek sepakat

“Ok deh adhek ku ini emang pinter…tapi lebih sip lagi kalau buku tazkiyatun nafs yang lebih sering dibaca…biar ndak mudah keruh kalbunya… jangan baca novel mulu biar ndak gampang galau…hehehe…” nasehat si kakak berbalut canda.

“He…he…he…Ok boss…” sahut adhek sambil tertawa.

Benarlah yang disampaikan Syaikh Musthafa Masyhur jika dalam dakwah, seorang pejuang Islam wajib mempunyai salah satu sifat “nafasun thawiil” yakni nafas yang panjang. Sebab jalan dakwah yang panjang dan terjal tak mungkin dilalui oleh orang- orang yang ber”nafas pendek”. Yang mudah goyah dan kurang sabar. Orang yang sedikit terkena hempasan “angin ujian” sudah membuatnya menghentikan langkah dan menjadikan hempasan itu sebagai alasan untuk menghentikan langkah. Padahal kita sangat mengerti bahwa di jalan aqobah ini ada bekal yang mesti kita siapkan jika benar-benar ingin selamat sampai tujuan, yakni sikap lapang dada, nafas panjang dan mudah memaafkan.

Angin ujian dan badai konflik adalah sebuah keniscayaan di jalan ini. Dan datangnya tak hanya dari orang-orang di luar wajihah dakwah kita. Yang biasanya begitu peduli dan perhatian pada kita, dengan cara begitu rutin mengkritisi setiap tutur kata, prilaku dan pilihan keputusan yang kita ambil. Baik secara pribadi maupun secara haraki. Kritikan pedas, celaan dan makian kasar serta penolakan mereka biasa kita terima. Resiko sebuah perjuangan, demikian kita sering menamainya untuk membesarkan hati, memadamkan dendam.

Namun, tak jarang sumber konflik itu justru adalah kawan seiring, sahabat dekat, leader yang kita hormati yang di jalan ini kita sebut sebagai saudara, saudara seiman lebih tepatnya. Sebab di jalan ini kita disadarkan jika ikatan aqidah bisa jadi lebih kental dari ikatan darah. Demikian Rasulullah dan para sahabatnya memberi teladan. Bentuknya bisa berupa banyolan-banyolan yang tak bisa dibilang lucu dan bikin geli, perbedaan pandangan dan argumentasi, kata-kata nasehat yang tak sengaja menyakiti, kritik saran yang sejatinya bentuk kasih sayang atau bahkan keputusan rapat yang sudah sesuai kaidah syar’i tapi kadang kurang kita sukai. Semua itu bisa menjadi benih luka yang menjadikan cerahnya wajah kita berubah, indahnya senyuman jadi musnah dan bukan tidak mungkin menghadirkan amarah.

Banyak kisah para shalafus shalih yang mengajarkan kita untuk lebih mudah berlapang dada. Ketenangan hati mereka tak mudah terusik oleh persoalan hidup yang tengah mereka hadapi apalagi terusik dan tergadai oleh hal-hal remeh. Bisa jadi memang mereka berduka, kecewa atau bahkan tersulut api kemarahannya akibat suatu perkara. Tapi mereka berhasil menguasai kembali hatinya dan kembali menatap ke depan dan melangkah dengan mantap.

Salah satu kisah tentang lapang dada yaitu Ibrahim An Nakhi’i, suatu ketika melakukan perjalanan dengan salah seorang temannya yang buta. Di sepanjang perjalanan tak sekali dua kali orang-orang menghina dan meremehkan keduanya. Hingga si teman perjalanannya yang buta itu mengeluhkan hal tersebut, “wahai Ibrahim… coba tengok mereka… orang-orang itu mengatakan… itu orang buta dan itu orang pincang… itu orang buta dan itu orang pincang…” Dan Ibrahim berkata dengan tenang lalu mengatakan, “Kenapa kita harus terbebani memikirkan hal tersebut… jika mereka berdosa karena menghina kita sedangkan kita mendapat pahala karena bersabar atasnya… lalu kenapa…?”

Ada pula kisah lain tentang mudahnya memaafkan dari Rabi’ bin Khaitsam, saat kudanya dicuri dan Fudhail bin Iyadh malah memberinya uang 20 ribu dinar. Sekaligus memberi nasehat, “doakan orang yang telah mencuri kudamu itu ”. lalu Rabi’ mendoakan pencuri itu “ Ya Allah jika ia orang kaya maka ampunilah dosanya, dan jika ia orang miskin maka jadikanlah ia orang kaya…”

Betapa mulianya ia yang punya kesempatan meratapi duka dan mengutuk si pembuat luka namun ia ganti dengan doa yang menyejukkan jiwa.

Jika kita teliti, kedua kisah di atas memberi teladan bagi kita bahwa kita akan terkesan menjadi orang yang paling menderita di dunia jika kita tidak mudah bersabar, sulit memaafkan dan sukar berlapang dada. Mengutip tulisan ust. Muhammad Nursani bahwa sebab penderitaan terbesar adalah jiwa yang cepat goyah dan bimbang saat menghadapi sesuatu yang remeh. Penderitaan yang paling berbahaya adalah tujuan hidup kita yang demikian agung, Dakwah ilallah terbentur dengan kondisi hidup yang sebenarnya sepele. Masalah sederhana jika kita melihatnya secara keliru kemudian memicu sempitnya dada, nafas tersengal, wajah tertekuk, amarah menggemuruh, air mata yang menitik dan yang lebih berbahaya melahirkan dendam.

Maka alangkah ruginya, sebab bisa jadi jiwa kita lebih disibukkan oleh perkara-perkara sederhana. Perkara yang remeh temeh. Dan selanjutnya, tentu saja akan makin sedikit amal-amal besar yang bisa kita lakukan. Sebab amalan-amalan besar hanya muncul dari jiwa yang tenang , hati yang lapang penuh keridhoan. Semua aral yang melintang, tak ubahnya kerikil jika kita paham ke mana arah kita melangkah. Sebab kita sedang berjalan menuju Allah.

Semua itu tak akan sia-sia. Sebab balasan Allah lebih indah, Sebagaimana dalam Firman Nya.

“…..dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.An Nuur 24:22)

Benar pula kutipan bijak dari saudara seiman berikut ini.

jika sesuatu ditujukan hanya kepada Allah…artinya selesai..
dan jika harapan diserahkan hanya pada Allah… kau boleh tersenyum sekarang…
[Sarwo Widodo Arachnida] 

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..

◄ Newer Post Older Post ►

Para Sahabat

Nasehat Sang Murabbi

Nasehat Sang Murabbi

Sekilas

Sekilas
Bukanlah seorang penulis apalagi seorang plagiator, tapi coba berbagi atas apa yang di dengar, di lihat dan di baca....

Nasyid

Jangan lupa di LIKE ya,,,

×
 

Copyright 2011 Blog Kita79 is proudly powered by blogger.com | Design by BLog BamZ