Seratusan tahun lalu, hiduplah seorang fisikawan berkebangsaan
Inggris, William Thomson Kelvin namanya. Dunia lebih mengenalnya dengan
panggilan Lord Kelvin. Beliau menggunakan nama belakangnya sebagai
satuan temperatur yang ia temukan. Satuan yang pada akhirnya ditetapkan
sebagai standar satuan internasional (SI) untuk mengukur suhu, pada
tahun 1950. Kita ingat setidaknya ada 4 macam jenis termometer dengan
satuannya masing-masing. Ada Celcius, Reamur, Fahrenheit, dan yang
terakhir Kelvin.
Kenapa termometer harus bermacam-macam? Kenapa tidak satu jenis saja?
Ternyata perbedaannya terletak pada masalah ketelitian. Termometer
kelvin diakui memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi. Selain itu,
ada penemuan berharga kelvin yang diabadikan dalam termometernya. Kelvin
menemukan bahwa titik -273,15 derajat celcius adalah suhu terendah yang
mungkin terjadi. Pada suhu normal mereka dinamis, jika dipertemukan
molekul satu dengan yang lain, dapat dengan mudah terjadi reaksi. Namun
pada suhu nol mutlak tersebut mereka diam saja. Pada suhu tersebut
seluruh molekul atom tidak dapat bergerak. Titik ini kemudian diberi
nama nol mutlak atau nol absolut (absolute zero).
Kelvin meletakkan -273,15 derajat celcius pada titik 0 skala
termometernya. Otomatis titik 0 derajat celcius berada pada titik 273,15
derajat kelvin, dan titik 100 derajat celcius ada di titik 373,15
derajat kelvin.
Nah,
apa yang dikatakan Kelvin? Kelvin pernah mengucapkan kalimat monumental
yang tercetak di banyak handbook fisika, di sekolah-sekolah kita:
“Anda dikatakan telah memahami sesuatu, hanya bila anda dapat
mengukurnya, dan mengekspresikannya dalam angka. Bila tidak berarti
pengetahuan anda belum lengkap.”
Kelvin mengatakan kita dikatakan belum memiliki ilmu tentang sesuatu,
sampai kita sudah bisa mengukurnya. Lebih jauh lagi ucapan Kelvin juga
bisa ditafsirkan, kalau kita, dan bangsa kita ingin unggul dalam satu
bidang, maka kita harus pintar melakukan pengukuran dalam bidang
tersebut. Apa yang diukur? Ya, apa saja.
Segala benda dan materi yang kita lihat di alam semesta ini tak lepas
dari ukuran-ukuran. Celcius adalah ukuran untuk mengukur temperatur
ruangan. Meter, digunakan untuk mengukur lebar rumah dan luas halaman.
Liter (dm3) untuk mengukur volume cairan. Kilogram untuk mengukur berat.
Dan jika kita perhatikan, semua memiliki alat ukurnya masing-masing.
Untuk mengukur tinggi lemari, digunakan meteran kayu yang bisa
diselipkan di pinggang. Namun bagaimana jika yang ingin diukur adalah
tinggi gunung? Perlukah kita mengukur tinggi gunung, dengan cara apa
mengukurnya? Apa bisa dengan meteran kayu?
Ketinggian gunung perlu diukur. Kita bisa bayangkan, bagaimana jika
pesawat yang sedang melintasi wilyah sekitar Gunung Merapi namun si
pilot tidak mengetahui tinggi gunung Merapi secara pasti? Pastinya
sangat beresiko. Pesawat bisa menabrak gunung seperti yang terjadi di
Gunung Salak beberapa tahun lalu. Sementara ketika berada diatas, sudah
tidak mungkin lagi melihat ke bawah. Gunung memiliki ukuran ketinggian,
dan konsep cara mengukurnya berbeda dengan cara mengukur tinggi lemari.
Tanpa satuan desibel kita tidak bisa mendengarkan suara dari speaker
seperti sekarang. Tanpa satuan volt, ampere, watt, ohm, dan tesla, kita
mungkin masih terselimut gelap karena tiadanya listrik yang menyalakan
lampu-lampu. Tanpa satuan Hertz, kita tidak bisa menikmati siaran TV dan
Radio. Tanpa satuan informasi : byte, kilobyte, megabyte, gigabyte,
terrabyte, jelas kita tak akan berada pada era komputer dan internet
seperti hari ini.
Pertanyaannya, siapakah yang mengukur dan membuat istilah-istilah
ukuran tadi? Apakah orang Jawa? Apakah orang Sunda? Apa ia Indonesia?
Jelas bukan. Mereka orang-orang yang jauh tinggal di Jepang, Eropa,
Amerika, dan negara-negara yang sekarang kita gelari “maju”. Benarlah
yang dikatakan Kelvin. Ia yang maju dalam satu bidang, adalah ia yang
pandai membuat pengukuran pada bidang itu.
ISLAM SEBAGAI ALAT UKUR
Sahabat sekalian, semua yang penulis utarakan diatas terkait dengan
sains dan iptek. Dan jika kita bicara tentang Islam, maka Islam juga
punya ukuran-ukuran. Ukuran yang menjamin bahwa Islam adalah agama yang
dibutuhkan manusia akhir zaman. Ukuran yang menjamin ketentraman dan
kebahagiaan manusia. Ukuran tersebut adalah ukuran tentang amal
perbuatan kita.
Seluruh perbuatan manusia termasuk status benda, bisa ditimbang dengan timbangan Islam. Kita mengenal hukum yang lima (ahkamul khomsah),
“wajib, sunah, mubah, makruh, haram”. Islam bisa mengukur, apa hukumnya
makan? Apa hukumnya tidak makan? Apa hukumnya makan nasi? Apa hukumnya
makan nasi milik tetangga? Apa hukumnya makan nasi milik sendiri jam 12
siang di bulan Ramadhan? Pasti bisa diukur.
Ternyata segala perbuatan secara mendetil dapat diukur dengan Islam.
Begitu juga dengan benda. Bedanya, jika hukum perbuatan ada lima, maka
hukum benda hanya ada dua, yakni halal, dan haram.
Ukuran-ukuran inilah yang disebut hukum syara’. Inilah
ukuran yang menjadi keunggulan umat Islam yang tidak dimiliki bangsa,
dan umat lain di seluruh dunia. Bangsa-bangsa lain di dunia, paling
banter hanya memiliki ukuran baik dan buruk untuk perbuatan.
Masing-masing dari bangsa tadi juga memiliki padanan kata yang berbeda
dalam bahasanya. “Baik” dalam Bahasa Indonesia, adalah good, fine, well, nice, dalam Bahasa Inggris. Apik, sae, becik, dalam Bahasa Jawa. Khoir, atau hasan, dalam Bahasa Arabnya. Sedangkan buruk dalam bahasa Indonesia, sepadan dengan bad (Inggris), elek/olo (Jawa), syarr/qobih (Arab). Ukuran dan istilah baik-buruk, dimiliki banyak bangsa, dengan definisinya masing-masing.
Berbeda dengan istilah Islam untuk kata “haram”. Apa bahasa Jawanya
“haram”? Haram. Bahasa Inggrisnya, China-nya, Koreanya? Haram juga. Sama
dengan kata halal. Tidak kita temukan, kecuali pasti kembali ke istilah
asalnya dalam Bahasa Arab, halal.
Selain itu, ukuran hukum syara’ (lima hukum perbuatan + dua hukum
benda) juga terbukti unggul dibanding standar baik buruknya buatan
bangsa-bangsa. Jika syara’ mengatakan satu hal itu buruk, maka pasti ia
akan buruk selamanya. Jika syara’ mengatakan sesuatu itu baik, niscaya
ia baik selamanya. Tidak seperti ukuran-ukuran nisbi yang dibuat
manusia. “Esuk dele, sore tempe”, adagium bagi orang karena
sering berpindah pendirian, karena sadar, apa yang ia anggap baik pada
suatu saat, ternyata buruk pada waktu berikutnya. Hukum syara’ menjamin
ketentraman seorang mukmin bahwa, pilihan ia dalam berbuat adalah
pilihan yang baik bagi dunianya sekaligus akhiratnya.
Keunggulan inilah yang tidak banyak disadari dan dipahami kaum
muslimin. Alih-alih dipandang sebagai keunggulan, hukum syara’ justru
dipandang sebagai sesuatu yang mengekang dan memasung kebebasan. Sering
kita dengar celetukan,
“kalau lagi bisnis ngga usah bicara halal dan haram deh. Cari
yang haram aja susah, apalagi yang haram. Tau gak? Sekarang itu udah ga
ada lagi halal-haram, yang ada ‘HALAM’.” (:
“Kalau lagi ngomongin politik, ga usah bawa-bawa agama bro,
emangnya Indonesia negara Islam? Ngomong Islam itu di masjid aja kali.”
Orang-orang risih kalau kita bicara dikaitkan dengan Islam. Tidak masalah jika mereka bukan muslim. Nyesek itu kalau kita tahu ia muslim, bahkan pernah nyantri atau kuliah di kampus Islam. Gelarnya LC, ustadz, atau kiai haji, tapi bicaranya sekulerisasi. Na’udzubillah min dzalik.
***
Umat Islam jauh dari standar dan ukuran yang harusnya mereka pegang
dan emban. Padahal inilah yang membuat mereka mundur dan jatuh di neraka
krisis ekonomi, tidak berwibawa, terbelakang di segala bidang, dan
berpuas dengan title ‘negara berkembang’. Kaum muslimin juga tertindas
dan terjajah dimana-mana, di Pattani dan Rohingya, Damaskus hingga Jalur
Gaza. Disadari atau tidak, semua ini adalah akibat ulah mereka sendiri
yang mengabaikan ukuran-ukuran dalam akidahnya.
Dengan ukuran apa para penguasa kita menentukan, gunung emas di Papua
harus dikelola mandiri atau diserahkan hak kelolanya pada Freeport
McMoran? Apakah ukuran halal dan haram? Mereka mengatakan keran
investasi harus dibuka selebarnya. Swasta dan asing diperkenankan
bermain sebebasnya. Hingga yang pribumi tetap sengsara, mengais residu
berton-ton bijih emas yang mereka produksi tiap harinya.
Dengan ukuran apa, sistem ekonomi ribawi hingga hari ini terus kita
pertahankan? Apakah halal dan haram? Hingga kita harus menanggung krisis
finansial yang datang secara berkala, dan kesenjangan kaya dan miskin
yang makin menganga, akibat diterapkannya sistem riba?
Dengan ukuran apa, sistem politik demokrasi ujug-ujug dikatakan wajib
untuk diterapkan di negeri mayoritas muslim ini? Halal dan haramkah?
Alih-alih mencari kebenaran, sejak lama kita telah dididik mencari
pembenaran dan pembenaran atas kesalahan memilih sistem yang kita
lakukan sejak awal.
Saat ini pemilu tengah berlangsung, dan pakar ekonomi telah sejak
lama membuat hitung-hitungan. Jika Indonesia ingin ekonominya maju dan
berkembang, kata mereka, siapapun pemimpin ke depan, subsidi harus terus
dikurangi sampai benar-benar tercabut. Naiknya harga dasar listrik,
BBM, dan harga-harga barang adalah konsekuensi dari pencabutan subsidi
ini. Rakyat bukan lagi dipandang sebagai gembalaan yang dipelihara
urusan-urusannya, sebagaimana Islam memandang mereka. Mereka justru
dipandang sebagai konsumen dari perusahaan besar bernama negara.
Sahabat yang mulia, Umar Ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu, pernah berpesan kepada kita:
Sesungguhnya, dulu kita adalah kaum yang terhina. Lalu Allah
meninggikan kemuliaan kita dengan Islam. Demi Allah, andai saja kita
mencari kemuliaan selain darinya (Islam), pastilah Allah akan kembali
menghinakan kita.
Masihkah kita mencari kemuliaan dengan ukuran yang kita buat-buat
dengan hawa nafsu sendiri? Atau bahkan ukuran yang ditentukan kaum
kuffar di barat yang terbukti gagal mengatur dunia ini? Sesungguhnya
kemuliaan dan ketinggian hanya ada pada Islam, maka tidak pantas seorang
muslim merasa rendah diri dengan ukuran yang datang dari Rabbnya,
seraya berbangga diri dan mengambil ukuran-ukuran selain darinya.
Allah SWT berfirman:
وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الأعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih
hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika
kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran : 139)
Wallahu a’lam bishowab
Ridwan Taufik Kurniawan
Penulis adalah Mahasiswa & Aktivis Islam | Pengasuh ceramahideologis.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..