Oleh: M. Indra Kurniawan, S.Ag.
Diantara misi gerakan dakwah Islam adalah mewujudkan kehidupan dan masyarakat islam yang rahmatan lil ‘alamin. Kehidupan islami yang dicita-citakan oleh dakwah adalah kehidupan
yang merujuk kepada nilai-nilai alqur’an dan sunnah; sedangakan
masyarakat islami yang hendak diwujudkannya adalah masyarakat yang
berafiliasi secara ideologi kepada Islam; melaksanakan semua fardhu ‘ain di dalam keseharian mereka; dan menjaga diri dari dosa-dosa besar.
Untuk menggapai cita-cita dakwah ini, langkah pertama yang tidak bisa ditawar-tawar lagi yang harus dilakukan para da’i adalah hudzur wa dzuhur—hadir dan eksis—di tengah-tengah masyarakat.
Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah” (Q.S. Al-Muddatstsir: 1 – 4).
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang
musyrik.” (Q.S. Al-Hijr: 94).
Interaksi Sosial, Keniscayaan bagi Para Da’i
Para da’i harus melakukan interaksi sosial. Mereka tidak boleh
terputus dari masyarakat, berdiam diri, atau mengisolasi dakwah hanya di
kalangan terbatas karena takut munculnya resiko atau ujian.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي لاَيُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَيَصْبِرُ عَلَى
أَذَاهُمْ
“Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi
gangguan mereka itu lebih besar ganjarannya dari orang mukmin yang tidak
bergaul dengan manusia dan tidak sabar menghadapi gangguan mereka,” (
Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Al-Bukhari, Ahmad, dan Abu Nuaim).
Dalam kajian sosiologi disebutkan, interaksi sosial tidak mungkin
terjadi tanpa adanya dua syarat, yaitu kontak sosial dan komunikasi.
Kontak sosial artinya, ada hubungan yang terjalin di antara individu
atau komunitas, sedangkan komunikasi artinya, ada kegiatan saling menafsirkan perilaku (pembicaraan, gerakan-gerakan fisik, atau sikap) dan perasaan-perasaan yang disampaikan.
Oleh karena itu, para da’i tidak boleh hanya berkutat di meja-meja
rapat; tidak boleh merasa puas hanya dengan beramal sosial tanpa
ditindaklanjuti dengan menjalin hubungan dan komunikasi yang intensif;
tidak boleh bersikap eksklusif dan elitis.
Dakwah harus mampu memasuki setiap celah kehidupan sosial masyarakat.
Para da’i harus hidup menyatu dengan masyarakat, bukan hidup terisolir.
Mereka mau mendengarkan keluhan dan berusaha berkontribusi memecahkan
problem mereka. Para da’i hendaknya gembira dan bersedih, tertawa dan
menangis bersama masyarakat. Sehingga sikap masyarakat menjadi
implementasi dari sikapnya. Kemarahan masyarakat adalah kemarahan para
da’i. Masyarakat senang dengan senangnya para da’i. Mereka menghargai
jerih payah para da’i dan turut melindungi dakwah.
Hubungan Sosial
Para da’i harus mampu menjalin hubungan sosial dengan lingkungan
sekitarnya secara luas dan terbuka; mampu menunaikan hak-hak sosial
secara baik dan proporsional tanpa tersekat oleh perbedaan ras, etnis,
kultur, ideologi, mazhab, dan agama sekalipun.
Hubungan sosialnya dengan sesama muslim secara praktis tergambar dalam hadits-hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
“Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam; (1) bila kamu bertemu dengannya maka ucapkan salam kepadanya, (2) bila kamu diundang maka penuhilah undangannya, (3) bila ia minta nasehat kepadamu maka nasihatilah dia, (4) bila ia bersin dan membaca alhamdulillah maka doakanlah dia dengan mengucap yarhamukallah, (5) bila ia sakit maka jenguklah dan (6) bila ia meninggal maka antarkanlah jenazahnya sampai kepekuburan “. (H.R. Muslim).
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Belalah saudaramu
yang zhalim atau yang dizhalimi,” Lalu berkata seorang laki-laki, “Ya
Rasulullah, saya membelanya jika ia dizhalimi, tapi bagaimana saya
membelanya jika ia yang menzhalimi?”Rasul menjawab, “Kamu cegah dia dari
berbuat zhalim, dengan demikian kamu telah membelanya“. (H.R.Bukhori)
“Seorang mu’min dengan mu’min yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lain saling memperkuat“. (H.R.Bukhori dan Muslim).
“Seorang muslim adalah orang yang tidak mengganggu kaum muslimin dengan lidah (kata-kata) dan tangan (perbuatan) nya, dan seorang mu’min adalah orang yang memberikan jaminan keamanan terhadap nyawa dan harta orang lain“. (H.R.Tirmidzi dan Nasa-i.)
“Seorang muslim bersaudara dengan muslim yang
lain, maka ia tidak boleh mengkhianati, mendustai dan menjadikannya
hina, setiap muslim atas muslim yang lain baginya haram kehormatan, harta dan darah (nyawa) nya, taqwa ada di sini—Rasulullah mengisyaratkan tangan ke dadanya/hati—sudah cukup keburukan bagi seseorang dengan menghina saudaranya yang muslim“. (H.R.Tirmidzi).
Sedangkan hubungan sosialnya dengan non muslim dijiwai oleh firman Allah Ta’ala berikut ini,
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.”
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka Itulah orang-orang yang
zalim.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 8 – 9).
Ayat di atas telah merangkum dua perkara: berbuat baik dan adil.
Kedua hal tersebut di tuntut dari setiap muslim—terlebih lagi seorang
da’i—dalam bersikap kepada semua manusia meskipun mereka kafir, selama
mereka tidak menantang dan memerangi kaum muslimin karena urusan agama,
tidak mengusir mereka dari kampung halaman, dan tidak terlihat hendak
mengusir mereka. Maka Allah tidak melarang untuk berbuat baik dan adil
kepada mereka.
Adil adalah hendaknya kita memberi hak kepada pemilik sesuatu tanpa
mengurangi. Sementara berbuat baik adalah memberi lebih dari apa yang
menjadi hak sebagai bentuk kebaikan dari kita.
Tentang berbuat baik dan berlaku adil yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala di
atas, Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar menjelaskan, “Kalian
(kaum muslimin, red.) tidak dilarang untuk melakukan yang demikian itu,
yakni an tabarruhum, berbuat kepada mereka dengan kebaikan, seperti: menjalin kasih sayang, baik dalam bertetangga, dan keramah-tamahan, wa tuqshithu ilaihim, dan
berbuat adil dalam urusan antara kalian dengan mereka, dengan
memberikan bagi mereka yang haq, seperti: kesetiaan terhadap janji,
menunaikan amanah, membayar dengan harga sesuai terhadap apa yang mereka
jual tanpa mengurangi…” (lihat: Zubdatu At-Tafsir, hal. 549).
Dengan hubungan sosial yang rahmatan lil ‘alamin seperti
ini, para da’i diharapkan dapat diterima dan dihargai oleh lingkungan
sekitarnya. Mereka akan disikapi dengan sikap damai oleh siapa
saja—kecuali oleh orang-orang ingkar dan dengki kepadanya.
Komunikasi Dakwah
Dalam interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat, para da’i jangan
sampai terjebak mengikuti trend di masyarakat kemudian lupa hal yang
substantif. Para da’i tidak boleh lupa pada misinya untuk melakukan nasyrul fikrah (menyebarkan gagasan) dan nasyrul hidayah (menyebarkan petunjuk Allah dan rasul-Nya).
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan harus ada di antara kamu ummat (golongan) yang menyeru kepada kebajikan, memerintahkan yang ma’ruf [baik] dan mencegah dari yang munkar [buruk] dan mereka adalah orang-orang yang beruntung “. (Q.S. Ali ‘Imran:104)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Allah, dengan usahamu Allah
memberikan hidayah kepada seseorang itu lebih baik bagi kamu dari onta
merah [harta yang paling berharga]“. (H.R.Bukhori dan Muslim).
“Barang siapa yang menunjukkan orang lain kepada kebaikan maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya“. (H.R.Muslim).
Para da’i harus menyampaikan risalah dakwahnya secara terbuka kepada
seluruh masyarakat, apa pun resikonya. Tentu saja dengan memperhatiakan
metode yang diajarkan Allah Ta’ala,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl: 125)
Beberapa kisah para nabi yang dilukiskan Al-Quran memberikan pelajaran bahwa mereka alaihimussalam, bergaul dengan umatnya dan menyampaikan dakwahnya secara terbuka.
Pertama, firman Allah tentang Nabi Nuh ‘alaihissalam. Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah
tak kenal frustasi. Siang dan malam, beliau selalu berupaya memperbaiki
kaumnya dengan berbagai macam cara dan bersabar dengan resiko yang
dihadapinya.
Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku
malam dan siang, namun seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari
kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada
iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka
ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap
(mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian
sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara
terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi)
dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, aku katakan kepada mereka:
‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya dia adalah Maha
Pengampun-, niscaya dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,
dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu
kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.
Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?’” (Q.S. Nuh: 5 – 13).
Dalam kondisi masyarakat yang sangat apriori terhadap dakwah, Nabi
Nuh berdakwah secara rahasia. Kemudian berdakwah secara terang-terangan.
Dilanjutkan pula dengan memadukan cara berdakwah secara terang-terangan
dan rahasia. Namun, kerahasiaan dakwah yang dilakukan Nabi Nuh tidak
berarti hubungan dakwah dengan masyarakat umum terabaikan. Beliau tetap
serius mengajak mereka untuk memohon ampun kepada Allah dan mengingatkan
mereka terhadap berbagai nikmat yang Allah berikan.
Kedua, Al-Qur’an juga memaparkan kisah dakwah Nabi Ibrahim.
Ia sampaikan seruan tauhid kepada masyarakatnya dengan argumentasi yang
kuat dan logika yang jelas.
“Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur
berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang
lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (Q.S. Al-Anbiya: 58)
“Mereka bertanya: ‘Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini
terhadap tuhan-tuhan kami, Hai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab: ‘Sebenarnya
patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada
berhala itu, jika mereka dapat berbicara’. Maka mereka telah kembali
kepada kesadaran dan lalu berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekalian adalah
orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)’, kemudian kepala mereka jadi
tertunduk (lalu berkata): ‘Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah
mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.’ Ibrahim
berkata: ‘Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak
dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat
kepada kamu?’” (Q.S. Al-Anbiya: 62 – 66).
Ketiga, dakwah Nabi Musa dan Harun ‘alaihimassalam.
Meskipun saat itu tantangan dakwah demikian berat, namun Allah tetap
memerintahkan mereka untuk menyuarakan tauhid kepada Fir’aun la’natullah ‘alaih.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan Aku telah memilihmu untuk
diri-Ku (sebagai rasul). Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa
ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku;
pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui
batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Q.S. Thaha: 41 – 44)
Kondisi berat yang melingkupi dakwah tauhid saat itu tercermin pada ungkapan Musa dan Harun ‘alaihimassalam pada ayat selanjutnya, “Berkatalah
mereka berdua:’Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia
segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.” (Q.S. Thaha: 45).
Jadi, hubungan sosial dengan lingkungan sekitar, jangan sampai
membuat para da’i mencair. Lupa pada visi dan misi dakwah; lupa pada
cita-cita dakwah; lupa pada idealisme dakwah. Pelajaran berharga tentang
hal ini akan kita dapatkan lebih jelas dari kisah dakwah Yusuf alaihissalam.
Saat Yusuf dipenjara di Mesir, bersamanya masuk pula ke dalam penjara
dua orang pemuda. Keduanya meminta kepada Yusuf untuk mentakwilkan
mimpi mereka, “Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur.” dan yang lainnya berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya dimakan burung.”
Dua orang pemuda itu adalah pelayan-pelayan raja; seorang pelayan yang
mengurusi minuman raja dan yang seorang lagi tukang membuat roti.
Perhatikanlah bagaimana Yusuf memanfaatkan kesempatan itu untuk menyampaikan dakwahnya,
“Yusuf berkata: ‘Tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan
yang akan diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat menerangkan jenis
makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. yang demikian itu
adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku.
Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian.
Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan
Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu
apapun dengan Allah. yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada
kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak
mensyukurinya.
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa
Apa yang kamu sembah selain Dia hanyalah nama-nama yang kamu dan
nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu
keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan
Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 37- 40).
Ayat ini menggambarkan kepiawaian Yusuf dalam berkomunikasi. Sayyid Qutb berkata, “Tampak
sekali metode pembicaraan Yusuf yang halus dalam memasuki jiwa orang
tersebut. Tampak pula kecerdasan dan kecerdikannya di dalam
mengungkapkan kalimat yang halus dan lembut.”
Mula-mula Yusuf menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa dia akan
mentakwilkan mimpi mereka karena Tuhannya telah mengajarinya ilmu. Namun
dengan kepiawaiannya Yusuf mulai menggiring pembicaraan untuk
mengenalkan ajaran tauhid yang diyakininya. Setelah seruannya selesai,
barulah ia menjelaskan takwil mimpi yang diminta kedua temannya itu.
Sayyid Qutb kembali berkomentar, “Ini merupakan cara masuk yang
halus…selangkah demi selangkah…penuh kehati-hatian dan lemah
lembut…Kemudian ditanamkan ke dalam hati mereka lebih banyak dan lebih
banyak lagi. Dan dijelaskanlah kepada mereka akidahnya dengan
sejelas-jelasnya, disingkapkannya kerusakan akidah mereka dan kaum
mereka, serta keburukan realitas kehidupan yang mereka jalani…”
Kisah Yusuf di atas mengajarkan kepada para da’i, bahwa dalam kondisi
apa pun dakwah harus tetap dijalankan. Ayat-ayat di atas juga
mengisyaratkan, bahwa para da’i harus memiliki visi yang jelas dalam
dakwahnya; memiliki target dan memahami prioritas dengan tetap
mempertimbangkan kebutuhan para mad’u (objek dakwah).
Kisah Yusuf ini mengajarkan kepada para da’i untuk tidak terjebak
atau membatasi diri pada tema-tema populis—yang disenangi
masyarakat—dalam seruan dakwahnya, sementara lupa pada misi utama yang
diembannya.
Kepeloporan dan Kontribusi Sosial
Interaksi sosial berupa kontak sosial dan komunikasi dakwah yang
intensif, idealnya mampu mengarahkan para da’i pada penguasaan
masyarakat. Oleh sebab itu, kepeloporan para da’i dalam kebaikan di
tengah masyarakat menjadi tuntutan dakwah.
KH. Hilmi Aminuddin, dalam salah satu taujihnya menegaskan bahwa
penguasaan masyarakat akan sangat tergantung pada tumbuhnya lima jenis
kader dakwah di masyarakat: (1) al-khatib al-jamahiriy (khatib yang populis), (2) al-faqih al-sya’biy (seorang faqih yang memasyarakat), (3) al-amal at-ta’awuni al-khairiy (adanya aktivitas/amal sosial), (4) masyru’ al-iqtishadi as-sya’biy (upaya menumbuhkan ekonomi masyarakat kecil), (5) al-i’lam as-sya’biy (media dakwah yang memasyarakat).
Ini artinya, para kader dakwah harus membentuk diri dan mengambil
peran lebih di tengah-tengah masyarakat. Para da’i hendaknya selalu
berupaya melakukan kontak sosial yang positif, yang mengarah pada ri’ayah jamahiriyah (pemeliharaan masyarakat), yaitu: (1) ri’ayah mashalih ijtimaiyyah (memelihara kepentingan publik), (2) siyaghatu al-bina al-ijtima’i (membentuk bangunan sosial), dan (3) hallul qadhaya al-ijtima’i (memberi solusi atas problematika masyarakat).
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat buat masyarakatnya“ (H.R.Al-Qodho’i).
Khatimah
Begitulah seharusnya para da’i. Begitulah idealnya seorang aktivis
dakwah. Mereka harus menyadari bahwa siap berdakwah itu artinya siap
berinteraksi sosial di tengah-tengah masyarakat; berdakwah itu artinya
siap melakukan kontak sosial dan komunikasi dakwah kepada lingkungan
sekitar. Para da’i harus menjalin hubungan sosial; menebarkan dakwah;
dan menjadi pelopor kebaikan serta berkontribusi sosial secara
berkelanjutan.
Dengan kata lain: Para da’i harus membumi!
Wallahu a’lam…
Maraji:
Antara Dakwah Massal dan Kaderisasi, Majalah Waqfah Tarbawiyah No. 3 Vol. 1, 1996.
Al-Mitsaq Al-Islamiy, Persatuan Ulama Islam Sedunia, Judul Terjemahan: 25 Prinsip Islam Moderat, Pusat Konsultasi Syariah, Jakarta Timur.
Zubdatu At-Tafsir, Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Darun Nafais, Yordania.
Aspek-Aspek Pertumbuhan Harakah Islamiyah, Hilmi Aminuddin, Pustaka Tarbiatuna, Jakarta, 2001.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..