siluet pemuda © therestlesswondererdotcom |
Mush’ab
bin Umair adalah pemuda yang mempesona. Ia adalah salah seorang pemuda
paling tampan di Makkah. Lahir dari keluarga yang kaya raya membuat
penampilannya selalu terlihat paling parlente diantara seluruh pemuda
Makkah lainnya. Bahkan, baju dan wewangiannya tidak ada yang menyamai.
Dari jarak beberapa meter, sudah dapat diketahui dari wanginya yang
khas, bahwa Mush’ab bin Umair baru saja melewati tempat itu.
Kelebihan Mush’ab yang lebih mempesona
di balik wajahnya yang tampan dan orangtuanya yang hartawan adalah
otaknya yang cemerlang. Perpaduan ketiga hal ini; ketampanan, kekayaan,
dan kecerdasan, membuat Mush’ab bin Umair menjadi bintang pembicaraan
dalam rapat dan pertemuan. Ia menjadi sosok pemuda ideal yang diimpikan
pembesar Quraisy sebagai ‘pewaris tahta masa depan.’ Ia menjadi sosok
pemuda idaman yang didambakan seluruh gadis Makkah untuk menjadi
suaminya.
Di tengah harapan keluarga dan pembesar
Quraisy bahwa Mush’ab akan menjadi penerus mereka, terdengar sebuah
berita yang menarik perhatian setiap orang yang berakal. Bahwa Muhammad
Al Amin menyatakan dirinya sebagai utusan Allah. Ia membawa agama baru
bernama Islam, yang hanya menyembah satu Tuhan; Allah.
Ketika mengetahui kabar itu, Mush’ab bin
Umair tertarik dan sangat penasaran. Ia tahu, Muhammad adalah orang
yang paling terpercaya. Ia terkenal tidak pernah berdusta sehingga
orang-orang Makkah sepakat memberinya gelar Al Amin. Akal Mush’ab yang
cemerlang pun bekerja; bahwa tidak mungkin orang yang selama ini selalu
jujur, akan berdusta dalam urusan besar yang membawa nama Tuhan. Mush’ab
pun kemudian mencari tahu, di mana ia bisa berjumpa dengan Muhammad.
Hari itu pun tiba. Mush’ab dengan
hati-hati melangkah ke rumah Arqam bin Abi Arqam. Ia mendapat informasi,
di rumah inilah Muhammad bermajelis bersama para sahabatnya.
Mentarbiyah mereka, membacakan wahyu-wahyu Ilahi yang diturunkan
kepadanya.
Tak salah, Mush’ab akhirnya bertemu
dengan Muhammad Rasulullah. Memandang beliau memberikan keteduhan
sendiri bagi jiwanya yang selama ini dimanja orangtua dengan kekayaan
dan kemewahan. Melihat majelisnya yang dipenuhi dengan wajah-wajah
ikhlas dan penuh kejujuran membuat Mushab merasa laksana menemukan oase
di gersangnya padang keangkuhan dan kesombongan orang-orang kaya dan
para penguasa. Mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan, Mush’ab bagai
menemukan kembali fitrahnya, mempertemukan jiwanya dengan sesuatu yang
amat dirindukannya. Mushab melayang dalam kalam-kalam Ilahi yang begitu
mempesona. Tidak pernah ia mendengar kalimat-kalimat seindah dan sedalam
ini. Menyirami jiwa, menyentuh hatinya.
Rasulullah kemudian mendatangi Mush’ab
dan mengusap dadanya dengan penuh kasih sayang. Gemuruh dalam hatinya
menjadi damai dan tenang. Dan tak butuh waktu lama, Mush’ab bin Umair
pun mengucapkan syahadat. Memproklamirkan bahwa dirinya adalah seorang
Muslim, pengikut Muhammad.
Mush’ab pulang dengan jiwa yang penuh
ketenangan. Meski saat itu banyak orang yang masuk Islam disiksa setelah
diketahui keislamannya, Mush’ab bin Umair yang semula terbiasa hidup
mewah dan manja kini tiba-tiba menjadi pemuda pemberani. Ia tak takut
dengan resiko yang akan terjadi, seandainya orang-orang kafir Quraisy
bersatu menjadi kekuatan yang mengancam keislamannya. Satu-satunya yang
masih dikhawatirkannya adalah ibuna sendiri; Khunas binti Malik. Ia
tahu, sebagaimana orang-orang Makkah juga tahu, Khunas adalah orang yang
berkepribadian kuat. Orang kaya raya yang tidak suka perintahnya
ditolak dan keputusannya dilawan. Memikirkan menghadapi ibunya sendiri,
Mush’ab pun memilih merahasiakan keislamannya.
Tetapi ini adalah Makkah. Terlalu banyak
mata-mata yang memperhatikan orang per orang, siapa saja yang telah
dekat dan menjadi pengikut Muhammad. Keislaman Mush’ab pun akhirnya
diketahui setelah seorang laki-laki bernama Usman bin Thalhah melihatnya
mengendap-endap memasuki rumah Arqam bin Abi Arqam dan di waktu yang
lain ia melihat Mush’ab melakukan shalat seperti yang dilakukan oleh
Muhammad.
Sang ibu tak bisa memaafkan Mush’ab. Ia
ingin Mush’ab kembali ke agama nenek moyangnya. Namun, Mush’ab dengan
teguh mempertahankan keimanannya. Bahkan, ia membacakan ayat-ayat Al
Qur’an di hadapan ibu dan keluarga besarnya. Sang ibu marah. Ia hendak
menghentikan bacaan Qur’an itu dengan menampar Mush’ab. Tetapi tiba-tiba
tangannya terkulai. Ia tak mampu memukul Mush’ab. Tetapi, ia punya
rencana berikutnya. Mush’ab dihukum dengan cara lain. Mush’ab disekap di
sebuah kamar.
Mushab terisolasi di ruangan itu seorang
diri, untuk beberapa hari. Hingga kemudian, ia mendengar bahwa sejumlah
sahabat berhijrah ke Habasyah. Mush’ab pun memanfaatkan momen ini.
Dengan strateginya, ia bisa mengecoh ibunya dan penjaga. Mush’ab lolos
dari kurungan itu dan bergabung hijrah ke Habasyah.
Mush’ab semakin tertempa menjadi sahabat
Rasulullah. Ia yang dulunya selalu dimanja dengan kemewahan, kini
menapaki hidup yang penuh kesederhanaan. Ia yang dulunya makan serba
enak, kini lebih sering puasa dan menahan lapar. Ia yang dulunya selalu
memakai pakaian indah, kini hanya memiliki pakaian seadanya, mulai penuh
dengan tambalan. Ia yang dulunya selalu memakai minyak wangi terbaik,
kini tak pernah lagi memakainya.
Sepulang dari Habasyah, menjadi
pertemuan terakhir Mush’ab dengan ibunya. Sang ibu berniat kembali
mengurungnya, tetapi Mush’ab bertekad untuk membunuh orang-orang utusan
ibunya itu jika mereka mau menangkap dan menyekapnya. Mengetahui bahwa
ia tak bisa menghalangi lagi putra kesayangannya, Khunas membatalkan
perintah penangkapan itu. Dan mereka pun berpisah dengan bercucuran air
mata. Pemandangan yang mengiris hati saat ibu dan anak harus terpisah,
sebab Mushab memilih Islam dan Iman, sementara ibunya memusuhi agama itu
seraya menegaskan fanatismenya pada penyembahan berhala.
“Pergilah ke mana pun kau suka, aku bukan ibumu lagi,” kata Khunas.
Mendengar itu, Mush’ab menghampiri ibunya dengan derai air mata. “Wahai ibu, aku sangat menyayangi ibu. Karena itu bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad asalah utusan Allah.”
Mendengar itu, Mush’ab menghampiri ibunya dengan derai air mata. “Wahai ibu, aku sangat menyayangi ibu. Karena itu bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad asalah utusan Allah.”
“Tidak! Demi bintang-bintang, aku tidak akan masuk agamamu itu. Otakku bisa rusak dan kata-kataku tidak akan didengar orang lain jika aku menjadi pengikut Muhammad,” jawab Khunas dengan ketus.
Berakhirlah sudah satu episode kehidupan
Mush’ab. Ia kini semakin hidup sederhana, meninggalkan seluruh
kekayaannya, bahkan terpisah dari keluarga besarnya. Ia kini hidup
bersama Rasulullah, dalam kemiskinan harta, tetapi dimuliakan Allah
dengan kekayaan jiwa. Tak punya uang dan harta benda, tetapi Allah
mencurahkan kedamaian dan kebahagiaan dalam naungan iman.
Saat melihat Mush’ab, sebagian sahabat
merasa iba. Mereka yang mendapatkan caci maki dan mengalami cobaan
karena masuk Islam, merasa tidak ada apa-apanya dengan cobaan yang
dialami Mush’ab.
“Dulu, tidak ada orang yang dapat
menandingi Mush’ab dalam mendapatkan kesenangan dari orangtuanya. Lalu
semua itu dia tinggalkan demi cintanya kepada Allah dan RasulNya,” sabda
Rasulullah dengan penuh haru dan cinta.
[Muchlisin BK/kisahikmah.com]
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..