CEMBURU dalam ruang-ruang keluarga kadang mirip seperti mecin dalam
masakan. Tanpa mecin, masakan jadi hambar. Begitu pun sebaliknya.
Kebanyakan mecin, masakan jadi sangat tidak sehat.
Cemburu merupakan hal lumrah dalam hubungan cinta. Bahkan, sangat
bagus. Dalam Islam, seorang bisa dipertanyakan keislamannya jika tak
lagi cemburu jika Islam dicela, dipermainkan, dan dikucilkan. Semakin
tinggi kecintaan seorang muslim dengan agamanya, kian tinggi tingkat
kecemburuannya. Bahkan Allah swt. Yang Maha Sayang, cemburu jika ada
hambaNya melakukan dosa. Bedanya, cemburu Allah tidak karena emosi.
Begitu pun soal interaksi suami isteri. Islam mencela seorang suami
atau isteri yang cuek dengan pasangannya. Tak peduli mau gonta-ganti
pasangan, yang penting bisa menjaga keutuhan rumah tangga. Sikap ini
disebut sebagai dayus, orang yang cemburunya telah mati.
Masalahnya, seperti apa takaran cemburu yang wajar. Karena dalam
rumus keseimbangan hidup: yang kurangnya bisa buruk, kalau kebanyakan
juga dapat merusak. Paling tidak, bisa merusak keseimbangan emosi diri
sendiri. Setidaknya, dilema itulah yang kini dirasakan Pak Endi.
Bapak dua anak ini sebenarnya cukup bahagia. Bukan sekadar anugerah
dua balita yang lucu dan sehat, tapi juga isteri yang salehah, cantik,
dan punya penghasilan tetap. Walau tak terlalu besar, gaji isterinya
bisa menutup kebutuhan rutin keluarga: kontrak rumah, tambahan belanja
dapur, bahkan modal usaha. Kadang, bisa menabung buat masa depan sekolah
si sulung yang kini duduk di TK.
Dari sudut pandang itu, Pak Endi memang tak ada masalah. Ia patut
bersyukur. Tapi, ada kegelisahan lain dari Pak Endi. Pasalnya, tetangga
sebelahnya berkantor dekat dengan tempat kerja isteri Pak Endi. Bukankah
itu bagus, bisa jalan bareng? Memang. Tapi, tetangganya itu pria,
lumayan ganteng, masih lajang lagi. Kalau dibanding dirinya, penampilan
tetangganya itu satu banding lima. Artinya, nilai satu buat Pak Endi,
dan lima buat si tetangga. Selain itu, sang tetangga begitu ramah, murah
senyum, dan supel.
Pak Endi memang yakin, isterinya tidak akan macam-macam. Gimana
mungkin mantan aktivis rohis sewaktu di kampus dulu bisa main serong. Naudzubillah min dzalik. Pak Endi yakin itu tak mungkin. Tapi masalahnya, apa tetangganya juga seperti itu.
Tiap kali isterinya berangkat kantor, Pak Endi selalu was-was. Karena
jam berangkat isterinya bersamaan dengan si tetangga. Bayang-bayang
buruk berkecamuk di kepala Pak Endi tiap melepas kepergian isteri
tercintanya. Jalan kaki hampir bersamaan, naik mikrolet dengan nomor
yang sama, turun juga di halte yang sama. Begitu pun ketika pulang.
Iramanya hampir sama dengan ketika pergi. Gimana kalau mikrolet yang
mereka naiki cuma lowong buat dua penumpang. Kalau yang lowong
berseberangan, bukankah mereka akan duduk berhadap-hadapan. Saling
pandang, senyum, dan sapa. Lebih parah lagi yang lowong sejajar.
Bukankah mereka akan duduk bersebelahan. Dan itu pasti akan bersentuhan
badan. Setidaknya, tangan mereka.
Pak Endi galau. Ia pandangi isterinya yang berlalu sambil melambaikan
tangan. “Assalamu’alaikum, Kak!” suara sang isteri diiringi senyumnya
yang manis.
Saat penantian di toko, Pak Endi nyaris tak bisa memikirkan yang lain
kecuali isterinya. “Ini nggak bisa dibiarkan terus,” gumam batinnya
seketika. Tapi gimana? Terus terang, ia agak sungkan bicara terus terang
soal ini. Pak Endi khawatir, isterinya bisa salah paham. Dan kalau
sudah begitu, masalah bisa tambah runyam.
Mau nyuruh naik taksi, terlalu boros. Bisa-bisa, separuh gaji isteri
cuma habis buat taksi. Mau diantar, dengan kendaraan apa? Pasalnya, Pak
Endi belum bisa naik sepeda motor. Kenapa nggak belajar?
Itulah repotnya. Pak Endi punya trauma sama motor. Ketika SMA dulu,
ia pernah kecebur selokan gara-gara motor yang ia boncengi menabrak
tiang listrik. Wajahnya babak belur. Tangan kirinya nyaris patah. Sejak
itu, ia jadi kurang akrab dengan sepeda motor.
Kenapa nggak pindah kerja? Sepertinya, Pak Endi mesti mikir ulang
kalau meminta isterinya pindah kerja. Soalnya, posisi kerja isterinya
lumayan pas dengan kemampuannya di bidang keuangan. Selain itu, suasana
ruang kerja pun lumayan baik. Tidak campur antar pegawai. Masing-masing
punya pemisah ruang.
Kalau pindah rumah? Pak Endi seperti bertemu titik terang. “Yah, ini
mungkin yang paling pas. Toh, si sulung sudah hampir lulus TK,” ujar Pak
Endi membatin. Ia yakin, isterinya akan terima. Alasan yang paling
kuat, demi mendekati sekolah dasar buat anaknya.
Benar saja. Isteri Pak Endi akhirnya setuju. Dengan gerak cepat, ia
mencari rumah baru di sekitar lokasi calon sekolah anaknya. Biar mahal
sedikit, yang penting bisa menenangkan hati. Soal toko buku? “Insya
Allah, bisa diurus belakangan!” tekad Pak Endi mantap.
Di rumah yang ukuran dan bentuknya yang tak jauh beda dengan yang
lama, Pak Endi bisa lebih tenang. Walau mesti jalan kaki sepuluh menit,
isteri Pak Endi menerima dengan lapang dada. Dan yang paling penting,
Pak Endi tak lagi galau ketika isterinya berangkat kerja. Sejak pindahan
itu, ia bahkan lebih sering berangkat lebih dulu dari isterinya karena
mengantar anak yang beberapa hari lagi lulus di TK.
Beberapa hari berlalu. Di hari Minggu ketika isterinya sedang ke
pasar, seorang pemuda memberi salam. “Siapa ya?” tanya Pak Endi ramah.
“Saya teman kantor Bu Leni, isteri Bapak. Ini berkas kerjanya. Kemarin,
tertinggal di mobil saya. Karena hujan deras, Bu Leni numpang ke mobil
saya. Kebetulan rumah saya cuma beda satu gang dari sini. Mari.
Assalamu’alaikum!” ucap si pemuda sambil senyum ramah dan berlalu.
Pak Endi tetap mematung, memandangi kepergian si pembawa berkas.
[mnuh/islampos]
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..