Sebelum datangnya masa kenabian Muhammad saw, bangsa Arab hidup dalam
keadaan yang boleh dikatakan statis. Secara umum, tidak ada yang
menarik dari negeri yang bagaikan lautan pasir itu. Tidak ada sumber
daya alam yang menjadi rebutan bangsa-bangsa lainnya di dunia saat itu.
Oleh karena itu, tidak ada yang tertarik untuk menjajahnya.
Ketika
Abrahah menyerbu dengan Pasukan Gajahnya, tidak ada motif ekonomi,
melainkan sekedar iri karena bangsa Arab dari seluruh penjuru begitu
khidmat berkumpul di Masjidil Haram.
Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa Masjidil Haram itulah
harta kebanggaan Mekkah satu-satunya. Karena Masjidil Haram-lah –
didukung oleh Mata Air Zamzam – masyarakat Arab berkumpul di Mekkah.
Selebihnya, tidak ada yang istimewa dari kehidupan di sekitar Mekkah,
bahkan sebenarnya cukup memprihatinkan. Masyarakatnya menyembah
berhala, suka mengundi nasib, suka mengorbankan anak perempuan, hidupnya
disibukkan dengan tradisi-tradisi tak bermanfaat, gemar berkonsultasi
dengan peramal dan tukang sihir, dan setiap masalah kecil bisa berubah
menjadi perang antarkabilah. Masjidil Haram adalah satu-satunya hal yang
mereka hormati bersama.
Dengan pola hidup seperti itu, tradisi keilmuan tidak berkembang.
Masyarakat Arab tidak pandai membaca dan menulis, karena memang tak
banyak yang bisa dan perlu ditulis dan dibaca. Tradisi intelektual
mereka yang paling tinggi adalah tradisi oral, mulai dari pembacaan
sajak hingga deklamasi kisah-kisah kepahlawanan. Itulah sebabnya kita
mengenal peradaban pada masa itu dengan nama: jahiliyyah. Arab Pra-Islam adalah peradaban yang didominasi oleh kebodohan.
Rasulullah saw datang dengan seruan-seruan sederhana namun menyentak
pikiran. Orang disuruh berhenti menyembah berhala dan kembali pada Allah
Yang Maha Esa. Masyarakat Mekkah diajak kembali pada ajaran Nabi
Ibrahim as yang lurus. Mengundi nasib diganti dengan ikhtiar dan kerja keras.
Pembunuhan terhadap anak perempuan diharamkan, demikian juga khamr
yang merusak otak manusia pun dinyatakan terlarang secara bertahap.
Para pemuda diajak untuk berhenti melakukan perbuatan yang sia-sia atau
yang tidak memberi manfaat, termasuk duduk-duduk di pinggir jalan atau
di pasar-pasar. Beliau mengingatkan manusia bahwa Allah SWT mencintai
manusia yang pulang dalam keadaan lelah mencari nafkah, sedangkan
sebagian rizki yang diperolehnya adalah hak orang lain. Berhenti
berzina, kembali kepada keluarga. Tidak ada lagi pertumpahan darah
antarkabilah, berganti dengan persaudaraan antara Kaum Anshar dan
Muhajirin.
Islam adalah agama yang dengan sederhana dapat langsung menyentuh
alam pikiran manusia. Islam ‘memaksa’ semua orang, baik yang memikirkan
hikmahnya maupun yang berusaha keras untuk mengingkarinya. Banyak orang
yang tadinya berusaha melawan Islam pada akhirnya malah berbalik
mengimaninya. Inilah tanda-tanda ‘kekalahan’ akal manusia di hadapan
Islam.
Jauh sebelum masa Nabi Muhammad saw, kakek moyangnya, Nabi Ibrahim
as, juga diutus dengan kekuatan argumentasi. Umat yang tidak mau
berhenti menyembah berhala dipaksa untuk melihat kenyataan bahwa
ternyata berhala-berhala itu tak mampu mencegah kehancuran dirinya
sendiri. Bahkan berhala paling besar yang tersisa pun tidak mampu
memberikan jawaban perihal ‘pembantaian’ rekan-rekannya.
Di hadapan seorang penguasa yang zalim, Nabi Ibrahim as diolok-olok
karena mengatakan bahwa Tuhannya adalah Yang Maha Menghidupkan dan Yang
Maha Mematikan. Sang Raja memanggil dua orang, kemudian membiarkan yang
satu hidup dan membunuh yang satunya lagi. Pikirnya, itulah kekuasaan
yang setara dengan Yang Maha Menghidupkan dan Yang Maha Mematikan.
Dengan cerdik, Nabi Ibrahim as memberikan sebuah perbandingan: Tuhan
telah menerbitkan matahari dari Timur dan menenggelamkannya di Barat.
Tentu Sang Raja tak mampu menerbitkannya di Barat dan menenggelamkannya
di Timur. Demikianlah Nabi Ibrahim as berargumen.
Pemikiran memang tidak menghasilkan kekuatan yang masif dalam waktu
singkat. Sebab, pikiran itu perlu diasah secara teratur agar memiliki
ketajaman yang hebat. Demikian pula Rasulullah saw menempuh masa-masa
yang panjang dan berat dalam melakukan tarbiyah kepada sahabat-sahabatnya. Dalam prosesnya, tidak ada yang mudah.
Tarbiyah Rasulullah saw mampu mengubah Bilal bin Rabah ra
dari seorang budak berkulit hitam legam yang tak punya harga diri
menjadi seorang pemimpin yang disegani dan pahlawan Perang Badar yang
menakutkan musuh-musuhnya. Bukanlah perkara mudah mengubah kondisi jiwa
seorang budak menjadi manusia merdeka, meskipun statusnya telah
benar-benar merdeka.
Tarbiyah Rasulullah saw mengubah dua orang sahabat utamanya
sedemikian rupa, sehingga Abu Bakar ra yang mudah menangis dalam shalat
berubah menjadi Khalifah yang tegas pada kaum yang menolak membayar
zakat, sedangkan ‘Umar ibn al-Khaththab ra yang dikenal garang justru
berubah menjadi Amirul Mu’minin yang begitu lembut pada rakyatnya dan
takut sekali akan melanggar amanah. Bukanlah perkara ringan
membangkitkan setiap potensi dari kedalaman jiwa manusia yang penuh
misteri.
Nabi Muhammad saw memang ummiy (tidak dapat membaca dan menulis), namun ke-ummiy-an
itu tidak diwariskan kepada umatnya. Sebaliknya, tradisi baca-tulis
berkembang pesat pada masa kepemimpinan beliau. Rasulullah saw adalah
seorang buta huruf yang paling banyak sekretarisnya; konon, tidak kurang
dari 50 orang. Administrasi dan dokumentasi menjadi kebiasaan, sehingga
mereka yang berangkat perang dan menerima zakat semuanya tercatat rapi,
demikian juga ayat-ayat al-Qur’an yang telah diturunkan dicatat dengan
rapi oleh para sekretaris yang punya memiliki tugas khususnya
masing-masing. Para pemuda diperintahkan belajar di ruang-ruang shuffah dengan ongkos dari umat. Sebagian sahabat diperintahkan untuk mempelajari berbagai bahasa asing.
Pada jaman pemerintahan Khalifah ‘Utsman ibn al-‘Affan ra, kertas
dibagi-bagikan kepada kantor-kantor pemerintahan di seluruh propinsi.
Perpustakaan-perpustakaan pribadi bermunculan, memuat hingga jumlah
ribuan kitab. Dengan Islam, bangsa Arab meninggalkan kehidupan yang
serba jahil.
Peradaban Ilmu
Antum tahu apa artinya “Qumrah”? Tidak perlu khawatir, sebab orang Arab pun sudah nyaris tak ada yang mengetahuinya. “Qumrah” adalah asal kata dari “camera”, yaitu alat untuk membuat foto yang hampir dimiliki oleh semua orang pada jaman sekarang. Ironisnya, “camera” dalam bahasa Inggris terambil dari kata “qumrah”
dalam bahasa Arab, namun kata yang kedua ini seolah telah hilang dari
kosa kata bangsa Arab. Padahal, kamera foto yang dulu disebut qumrah
ini berasal dari temuan Ibn al-Haytsam, seorang ilmuwan Muslim. Ibn
al-Haytsam berhasil menemukan sebuah kamera sederhana berupa ruang gelap
yang digunakannya untuk menangkap bayangan terbalik dari sebuah obyek.
Setelah melalui perkembangan panjang, terciptalah kamera jaman sekarang.
Sayangnya, dunia – dan umat Muslim juga – telah melupakan Ibn
al-Haytsam. Orang Arab pun lebih suka dengan kata “camera” ketimbang “qumrah”.
Seberapa jauh jarak terbentang di antara masa kehidupan Nabi Muhammad
saw dengan al-Biruni? Yang terakhir ini adalah seorang ilmuwan besar
yang hidup pada jaman keemasan sains dalam peradaban Islam, yaitu
sekitar abad ke-10 Masehi, atau abad ke-4 Hijriyyah. Al-Biruni adalah
ahli di bidang matematika (terutama trigonometri), mineralogi (ia sudah
mencatat berat jenis dari berbagai macam logam), astronomi (ia mahir
menggunakan astrolab untuk mencatat pergerakan bintang), geodesi
(perpetaan), dan beberapa pihak pun sepakat menjulukinya sebagai Bapak
Sosiologi Dunia sebab al-Biruni adalah orang pertama yang melakukan
observasi menyeluruh kepada suatu masyarakat (dalam hal ini masyarakat
India) dan mencatat segala temuannya dalam sebuah karya ensiklopedik.
Ketika Inggris menemukan India, para pembesar Inggris masih menggunakan
karya al-Biruni sebagai referensinya.
Sebesar apa nama al-Biruni dalam sejarah sains dunia? Tanyakanlah
pada mereka yang memberinya penghargaan setinggi langit dengan
memberikan namanya untuk sebuah kawah di Bulan, yaitu The Aliboron Crater.
Sayang, dunia – dengan pengecualian sekelompok ilmuwan yang jujur pada
sejarah – dan juga umat Muslim sudah tidak banyak yang mengenang nama
al-Biruni.
Begitu jauh waktu terbentang antara masa-masa diutusnya Nabi Muhammad
saw hingga puncak kejayaan peradaban Islam di abad ke-4 Hijriyyah.
Betapa jauh jarak antara kemenangan Islam di negeri Romawi dan Persia
dengan ramalan Nabi Muhammad saw tentang kemenangan itu. Kemenangan
memang tidak selalu bisa diraih dalam waktu singkat. Akan tetapi, dengan
kekuatan pemikiran dan waktu, segalanya menjadi mungkin.
Jika kita mengukur kerja dan prestasi manusia dengan umur hidupnya
sendiri, maka alangkah singkatnya. Tapi Rasulullah saw sejak dulu telah
mengajarkan manusia untuk berpikir lebih besar daripada dirinya sendiri,
lebih jauh daripada masa hidupnya sendiri. Kita diperintahkan tidak
hanya untuk mewariskan nama kepada generasi selanjutnya, melainkan juga
cita-cita besar. Muslim yang pertama hingga Muslim yang terakhir
semuanya berada dalam barisan yang sama. Generasi mana pun yang akhirnya
mendapatkan kemenangan, tidak masalah.
Menang dengan Pemikiran
Dalam sebuah kajian di Bandung, ust Rahmat Abdullah rahimahullaah
pernah menerima pertanyaan dari seorang peserta kajian: “Bukankah
dakwah Hasan al-Banna telah gagal, bahkan ia sendiri terbunuh dalam
perjuangannya?” Dengan gagah ust Rahmat menjawab, “Kalaulah memang benar
dakwah beliau gagal, tentu kita tidak berkumpul di majelis ini!”
Hasan al-Banna rahimahullaah menghadap Allah di usia yang
sangat muda. Dengan penuh penyesalan, banyak yang mengatakan bahwa
beliau terlalu cepat dipanggil pulang. Akan tetapi, dalam masa dakwahnya
yang teramat singkat itu, beliau berhasil mewariskan sebuah pemikiran
besar, meski sederhana. Tidak banyak karya yang ia tulis, namun ia telah
mengkader begitu banyak penulis besar. Ia dikenal sebagai tokoh
pergerakan, bukan ulama, namun telah berhasil mengkader begitu banyak
ulama besar. Karya-karyanya hingga detik ini masih dibaca orang di
seluruh dunia dan terus menginspirasi umat Muslim untuk kembali
menggapai kejayaannya.
Kalau ingin melihat contoh karya besar beliau, tak perlu jauh-jauh
mencari. Kedaulatan Republik Indonesia adalah salah satu dari banyak hal
yang beliau perjuangkan dahulu. Diplomat RI selevel KH. Agus Salim
pernah duduk dan menyampaikan secara langsung ucapan terima kasih atas
dukungannya terhadap kemerdekaan RI. Demikian pula Prof. M. Rasjidi,
mantan Menteri Agama RI yang pertama, pernah beraudiensi dengan beliau.
Moh. Natsir menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Al-Ikhwan
Al-Muslimun, dan Buya Hamka memuji beliau tidak kurang sebagai pahlawan
besar dunia Islam.
Pada jamannya, Al-Ikhwan mampu mengirim pasukan yang sangat ditakuti
oleh pasukan Zionis. Kata mereka, sukarelawan Al-Ikhwan begitu
menakutkan, karena mereka (kaum Zionis) datang ke tanah Palestina untuk
hidup, sedangkan para sukarelawan itu datang hendak mati. Hingga kini,
perjuangan masih dilanjutkan oleh Hamas. Dengan segala keterbatasan, api
perlawanan tak pernah padam.
Puluhan tahun lamanya, para aktivis Al-Ikhwan ditangkap dan disiksa
dengan kejam. Apakah gagasan mati di dalam kurungan? Apakah cita-cita
padam di balik jeruji?
Dulu, banyak yang menyangsikan perjuangan dakwah Hasan al-Banna. Di
kalangan kader-kader yang dididik langsung oleh al-Banna pun banyak yang
menghendaki ‘jalan pintas’, yaitu agar Al-Ikhwan menempuh jalur
kekerasan. Akan tetapi para pemimpin Al-Ikhwan tahu bahwa keterpurukan
Islam di masa kini adalah akibat kelemahan pemikirannya. Melawan saudara
sendiri dengan kekerasan bukanlah opsi yang bijak. Tentu saja, mereka
pun menyadari bahwa opsi reformasi pemikiran akan meminta waktu yang
jauh lebih lama. Kenyataannya kini, kepingan-kepingan puzzle
yang tadinya berserakan sudah mulai tersusun. Dari Palestina, Turki,
hingga Mesir. Sekarang, Dr. Muhammad Mursi yang sudah resmi menjabat
sebagai Presiden Mesir bisa menyalami para perwira yang dulu
menjebloskannya ke penjara dengan senyum lepas.
Dalam ranah ghazwul fikri, bukan pedang yang terhunus,
melainkan pemikiranlah yang menjadi senjata. Dengan mewariskan
pemikiran, umat Muslim bisa mencapai apa yang tidak bisa dicapainya
sendiri-sendiri. Hasan al-Banna pun bukan titik nol dari kebangkitan
Islam. Menurut sebagian pengamat, konsep-konsep kebangkitan yang sudah
digariskan oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha,
pada akhirnya berhasil dikoreksi dan diaktualisasikan oleh Hasan
al-Banna. Apa yang sudah dilakukan oleh Hasan al-Banna pun masih terus
digali dan diaktualisasikan kembali oleh generasi sesudahnya. Ada
hal-hal yang berubah, namun semangat kebangkitan Islam yang dikobarkan
tetap sama.
Meski butuh waktu yang tidak sedikit, tapi janji Allah niscaya akan
terpenuhi. Peradaban Islam pernah mencapai kejayaannya, sebelum akhirnya
runtuh. Ia tidak runtuh kecuali jika syarat-syarat keruntuhannya telah
dipenuhi, dan niscaya kelak akan bangkit kembali jika syarat-syarat
kebangkitannya telah dipenuhi lagi. Untuk tugas yang sebesar itu,
dibutuhkan kekuatan yang bertahan selama beberapa generasi. Itulah
kemenangan yang hanya bisa dicapai dengan kekuatan pemikiran. sumber
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..