Belakangan ini banyak pertanyaan tentang suatu gerakan yang dianggap
radikal diantara gerakan-gerakan Islam lainnya. Gerakan ini dikenal dengan nama
ISIS. Walaupun sebagian mengatakan ISIS sebenarnya sudah bubar, menjelma menjadi
negara. Sejujurnya, jawaban paling tepat yang dapat saya berikan seputar ISIS
adalah: saya tidak tahu. Artinya, terlalu sulit bagi saya untuk memilah mana
informasi yang shahih dan tidak shahih dalam masalah ini. Ini memang fenomena
akhir zaman. Begitu bebasnya informasi sehingga membuat kita kebingungan
menilai keshahihan. Tapi tidak mengetahui bukan berarti tak bisa bersikap, sebab
ada para ahli yang bisa diikuti pendapatnya. Sama seperti kita tidak memahami
penyakit, namun sudah semestinya mengikuti saran dokter, meski tak paham
diagnosanya.
Dalam masalah ISIS, saya mengikuti pendapat Syaikh Yusuf al-Qaradhawi. Syaikh Qaradhawi: Khilafah Ala ISIS Tak Sah Secara Syariah.
Paragraf ke-4 dan ke-5 dari artikel di atas sangat perlu dibaca. Menurut
saya, inilah argumen yang paling jernih untuk menjelaskan fatwa tersebut. Dari link di atas, kita bisa membaca pendapat
beliau. Walaupun tsiqah kepada
beliau, tentu kita perlu membaca penjelasannya. Banyak yang terkejut ketika
ISIS mendeklarasikan pendirian khilafah. Keterkejutan ini tidak mesti dipandang
buruk.’
Dulu, Abu Bakar r.a diangkat sebagai Khalifah setelah Nabi s.a.w wafat.
Tak ada yang protes, sebab semua mengenal dengan baik siapa beliau. Demikian
juga ‘Umar r.a, ‘Utsman r.a, dan Ali r.a. Tak ada yang meragukan mereka. Malah
aneh kalau ada yang protes. Tentu akan sangat lain kiranya jika yang menjadi
khalifah adalah orang tak dikenal atau yang baru ‘kemarin sore’ masuk Islam.
Tapi sayangnya, ISIS menuntut pengakuan dari seluruh umat Muslim secara tiba-tiba.
Padahal orang-orang masih mempelajari situasi. Banyak yang tak kenal siapa
orang yang diangkat oleh ISIS sebagai khalifah. Salahkah jika mereka bertanya-tanya?
Kembali pada poin simpang siurnya informasi; justru pada saat inilah ke-tsiqah-an menjadi begitu bernilai! Oleh
karena itu, umat butuh penjelasan yang gamblang perihal ISIS dan tokoh-tokohnya.
Maka, semestinya ISIS mampu berlapang dada dan mudah memaafkan
saudara-saudaranya yang tak buru-buru membai’at.
Tapi jangankan di Irak dan Suriah, di Indonesia pun perdebatan soal ISIS
begitu panas. Mengapa harus dibikin panas? Tidaklah logis jika cita-cita
mempersatukan umat harus diemban oleh mereka yang ‘mudah panas’. Cita-cita
sebesar ini sesungguhnya hanya bisa dipikul oleh mereka yang mudah memaafkan
saudara-saudaranya. Bukan yang malah bersikap keras.
Di tengah-tengah simpang siurnya informasi seperti sekarang ini, memang tidak
mudah untuk menelan bulat-bulat informasi dari tanah seberang. Ada yang
mengatakan bahwa info-info miring soal ISIS itu fitnah. Bisa jadi. Tapi
bagaimana membuat orang lain percaya? Jika tak bisa memberi jaminan bahwa info
di tangannya 100% benar, bukankah lebih baik memaklumi keraguan orang lain?
Menurut Syaikh Abdullah Musthafa Rahhal, sebagian yang direkrut oleh ISIS
adalah anak-anak muda yang tak pandai berbahasa Arab. Karena tak pandai bahasa
setempat, maka mereka pun bisa dikelabui dengan info-info menyesatkan. Di
Indonesia mungkin kasusnya tidak persis sama, tapi ada benang merahnya, yaitu
soal minimnya ilmu. Sejak Ramadhan lalu, saya mengamati beberapa akun yang
sangat vokal membela ISIS. Diantaranya ada anak-anak remaja. Bicaranya keras
sekali mengkafirkan demokrasi, tapi sayang ia tak malu bicara di Twitter-nya
soal lawan jenis, bahkan (maaf) soal onani. Jauh sebelum ada ISIS, saya sudah
menemukan fenomena yang sama. Anak-anak muda bersemangat tinggi, sayang belajar
agamanya tidak ‘pas’. Di antara mereka ada yang suka bicara kasar. Ketika
ditegur, jawabannya “ini masalah aqidah,
lebih penting daripada akhlaq!”
Ini jawaban yang sangat absurd.
Sebab, akhlaq yang baik adalah bukti dari aqidah yang lurus. Ini adalah pengetahuan
umum. Jika beriman kepada Allah s.w.t, pastilah menyadari posisinya sebagai
khalifah Allah di muka bumi. Jika menyadari posisi sebagai khalifah (wakil)
Allah, apakah kita biarkan saja akhlaq kita berantakan? Jelaslah bahwa aqidah
dan akhlaq memiliki kaitan yang tidak mungkin diabaikan.
Yang tadi itu adalah contoh ekstrem. Tidak semua seperti itu, tentu saja.
Bagaimana pun, ini adalah catatan tersendiri yang harus diperhatikan bagi ISIS
dan para pendukungnya. Mudah-mudahan mereka cuma oknum. Sudah banyak video
kekejaman yang saya lihat, konon adalah dokumentasi perbuatan ISIS. Tapi siapa
yang bisa memastikan? ISIS atau bukan, yang jelas video-video tersebut
menunjukkan sikap keras yang tidak pada tempatnya, jauh dari syari’at. Ada,
misalnya, yang memenggal orang kemudian menenteng kepalanya kemana-mana, seolah-olah
bangga. Ada juga yang membariskan kepala-kepala orang yang dieksekusi dan
berfoto di belakangnya. Inikah orang yang paham syari’at? Ada juga video yang
memperlihatkan orang-orang yang ditembak di kepala dari jarak dekat kemudian
diceburkan ke laut.
Sekali lagi, pelakunya ISIS atau bukan, entahlah. Tapi yang jelas,
video-video tersebut menunjukkan ketidaktahuan akan syari’at. Islam memang
mengenal hukuman mati, namun tidak dilakukan dengan sembrono. Ketika hukuman
mati diberlakukan, tidaklah wajar jika kita bersenang-senang, apalagi berfoto-foto
bersama jenazah. Jika hal itu dilakukan, apa bedanya kita dengan kaum
zionis? Baca: Sharing pictures of corpses on social media isn’t the way to bring a ceasefire. Nabi Muhammad s.a.w pun berperang dan melawan musuh, namun tidak
‘menikmati pembunuhan’ seperti itu.
Kembali pada masalah ketidaktahuan saya, karena ketidaktahuan itulah maka
saya harus mengikuti pendapat ulama yang saya percayai. Saya, bersama-sama
mayoritas umat Muslim lainnya, masih bertanya-tanya tentang hakikat ISIS dan
profil para pendukungnya. Sat hal yang pasti, kita harus menghindari sikap
berlebihan dalam agama. Segala hal yang berlebihan tidaklah disukai, termasuk
dalam mempraktekkan ajaran-ajaran agama. Terlalu lembek itu tidak baik, namun
terlalu keras pun sama tidak baiknya. Terlalu bersemangat dalam melakukan
ibadah-ibadah pada akhirnya membuat semangat kendur. Karena itu, beribadahlah
secara bertahap. Sudah berulang kali saya melihat anak muda yang berdakwah
dengan ‘berapi-api’, namun tak lama kemudian jadi ‘mantan da’i’.
Semangat mempelajari Islam semestinya membuat perilaku kita menjadi lemah
lembut, makin mudah memaafkan. Jika sikap kita semakin keras, maka mulailah
bertanya-tanya: Apa yang salah? Jika proses belajarnya benar, tidak akan
demikian. Sikap keras justru menjadi fitnah yang membuat orang sulit menerima
seruan dakwah Islam. Selain itu, orang-orang yang bersikap keras juga paling
mudah dimanfaatkan dan diadu domba. Tantangan dakwah di zaman sekarang
sangatlah kompleks. Tak ada masalah yang bisa diselesaikan dengan sikap keras.
Nabi Muhammad s.a.w pun berjihad, dan jihad adalah bagian dari ajaran
agama. Namun tak semuanya diselesaikan dengan jihad. Menang di Perang Badar,
seri di Perang Uhud, sukses di Perang Ahzab, tapi toh Mekkah ditaklukkan dengan
hati, bukan dengan pedang. Bagaimana Rasulullah s.a.w memasuki Mekkah? Sebagai
pemenang, tapi pedangnya saat itu tak diayunkan. Beliau memasuki Mekkah dengan
kepala tertunduk, janggut beliau hampir menyentuh pelana. Bacalah kisahnya
dalam Sirah Nabawiyah. Pada titik itulah rakyat Mekkah, yang sudah lama
memerangi beliau, akhirnya menyadari hakikat dakwah Islam. Nabi s.a.w memerangi
kaum Quraisy karena dulu tak ada lagi jalan lain, bukan karena beliau gila
perang. Jika ada jalan lain, maka tak perlu lagi menumpahkan darah. Maka tak
ada pembantaian di hari Fathu Makkah. Setelah itu, berbondong-bondonglah warga
Mekkah memeluk Islam. Dan selanjutnya, berbondong-bondong pulalah warga Jazirah
Arab memeluk Islam. Rasulullah s.a.w adalah pemenang di medan jihad, namun yang
lebih penting lagi, beliau adalah pemenang di hati umat manusia.
Kita harus menempatkan segala sesuatunya secara adil; segalanya harus
seimbang. Mereka yang mengatakan jihad tak diperlukan lagi jelas keliru, tapi
yang berpikiran bahwa jihad adalah segala-galanya juga tidak teliti. Jihad
dibutuhkan untuk mengamankan dakwah. Jika dakwah tidak terancam, apa salahnya
kita bertukar pikiran dengan lisan?
Jika demikian halnya dengan orang-orang kafir, bukankah dengan sesama
Muslim kaidah ini lebih wajar lagi untuk diberlakukan? Mengapa kita harus
disibukkan dengan permusuhan sesama Muslim, padahal musuh-musuh Islam sudah
sangat jelas? Mengapa hati begitu sempit sehingga tak ada lagi tempat lapang
untuk memaafkan saudara-saudara kita yang seiman? Jika begitu sulit bagimu
untuk bersikap lembut kepada hamba-hamba Allah, apakah engkau berharap Allah
akan bersikap lembut kepadamu?
Di zaman yang penuh fitnah dan kebohongan ini, sepantasnyalah kita saling
membangun kepercayaan, bukan saling menuntut. Semoga kita dijadikan Muslim yang
membuat saudara-saudara kita merasa aman dengan kehadiran kita. Aamiin yaa
Rabbal ‘aalamiin...
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..