Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal
Saya pernah menjadi narasumber di
Radio Dakta. Temanya tentang sikap aktivis dakwah terhadap Ghazwul Fikriy. Sebagian
dari yang saya sampaikan di situ sudah tercantum dalam buku Islam Liberal 101. Arti dari Ghazwul Fikriy kurang lebih adalah
Perang Pemikiran. Keterlaluan kalau ada aktivis dakwah yang tidak tahu Ghazwul
Fikriy. Sebagian harakah menjadikannya bahasan khusus dalam kaderisasi. Tapi
kalau soal menerjunkan diri ke dalam kancah Ghazwul Fikriy, jawabannya bisa
macam-macam. Dari pengalaman, banyak yang enggan terjun dalam Ghazwul Fikriy.
Misalnya dalam masalah Islam
liberal. Banyak yang tahu kesesatan Islam liberal, tapi banyak juga aktivis
dakwah yang tidak mau ikut melawannya. Bukan karena mereka tidak peduli, tapi
karena tidak tahan ‘sakitnya’. Memang, urusan Ghazwul Fikriy sering menyakitkan
hati. Di Twitter, aktivis Islam liberal juga sering menyakiti hati kita, kan?
Kita berhadapan dengan orang-orang yang tidak takut mengatakan Qur’an itu fiktif,
Rasulullah s.a.w salah, dan tidak mempedulikan Allah s.w.t. Kalau tak
pandai-pandai mengatur emosi, barangkali kita akan langsung naik darah, atau
air mata mendahului kata-kata.
Di salah satu televisi swasta dulu
pernah ada ‘debat’ antara Ulil Abshar-Abdalla (tokoh Islam Liberal) dan Ustad
Athian Ali. Seperti biasa, diskusi berat sebelah. Kita tahu media akan memihak yang
mana. Ulil bisa ketawa-ketawa saja sambil bilang syariat Islam itu tak ada,
sdgkan Ustad Athian yang istighfar dengan dada sesak.
Bagi orang beriman, urusan agama itu
memang menyentuh hati. Bahkan disimpan di hati yang terdalam. Tapi menurut
aktivis Islam liberal, yang marah karena agamanya dihina adalah yang tidak
dewasa dalam beragama. Pemuka Islam liberal lainnya bilang bahwa kita tak usah
terlalu serius dalam ber-Islam (apapun artinya itu). Yang lain lagi bilang bahwa
Allah, Rasul s.a.w dan Islam takkan hina meski dihina. Makanya mereka cuek saja
ketika agamanya diinjak-injak.
Gejala lain yang sering kelihatan
adalah para aktivis dakwah menganggap Ghazwul Fikriy itu adalah bab yang ‘advanced.’ Akhirnya, kebanyakan merasa
takut kalau harus ikut berjuang dalam Ghazwul Fikriy. Mereka merasa ilmunya
nggak cukup terus. Rendah hati itu mutlak perlu. Kita bergerak dengan
kerendahan hati, mereka bergerak atas dasar arogansi. Justru karena kita tahu mereka
arogan itulah harusnya kita pun sadar bahwa ilmu mereka (orang-orang Islam
liberal) sebenarnya tidak mendalam.
Kepada para aktivis dakwah, saya
mengajukan tiga poin untuk dijadikan pertimbangan. Pertama, Ghazwul Fikriy bukan
barang baru, dan bukan bab yang susah dipelajari dalam dakwah. Silakan cek Qs.
15:39-40. Di situ Iblis bersumpah akan menyesatkan seluruh manusia, kecuali hamba-hamba
Allah yang mukhlish. Iblis menyesatkan manusia bukan dengan mengajak manusia untuk
melawan Allah S.W.T secara langsung. Metode yang dipakai Iblis (menurut ayat
tadi) adalah: MEMBUAT MANUSIA MEMANDANG BAIK PERBUATAN MAKSIAT. Banyak orang
tak mau diajak kafir, tapi bisa saja cara berpikirnya dirusak sehingga maksiat
kelihatan seperti kebaikan.
Artinya, sejak awal Iblis memang
punya agenda merusak pemikiran kita. Inilah Ghazwul Fikriy. Tugas para da’i
adalah menjaga umat agar pemikirannya tidak menyimpang sebagaimana misi Iblis
tadi. Pertanyaan saya: kalau para da’i tidak terjun dalam Ghazwul Fikriy,
lantas apa lagi tugas mereka?
Kedua, saya ingin katakan bahwa memang kebanyakan Ghazwul Fikriy tidak
menyerang para da’i. Yang dibidik adalah org-orang awam. Pemikiran sesat masuk dari
segala pintu dan sudah tiba di pekarangan kita.
Islam liberal sudah muncul di TV, radio, koran dan majalah. Akankah kita
mengasingkan diri saja? Ingatlah bahwa yang menonton TV, mendengarkan radio dan
membaca koran dan majalah itu adalah termasuk kerabat kita juga. Jika kita
berdiam diri, bisa jadi anak atau saudara kita sendiri terjerumus ke dalamnya. Apakah
orang tua para aktivis Islam liberal itu juga berideologi Islam liberal? Belum
tentu! Diamnya para da’i adalah terbukanya pintu bagi berbagai kemaksiatan.
Terimalah tanggung jawab itu.
Ketiga, masalah Ghazwul Fikriy sebenarnya
bisa kita jadikan entry point yang
sangat strategis bagi gerakan-gerakan dakwah. Dalam wacana Ghazwul Fikriy, biasanya
umat Islam bersatu padu. Melawan orientalis, misionaris, zionis, dan liberalis,
semuanya bersatu, tidak ada perbedaan mazhab, apalagi partai. Jika kita mengaku
aktivis dakwah yang ikhlas berjuang karena Allah, maka persatukanlah umat dengan
wacana ini. Saya tidak mengalami kesulitan merangkul berbagai pihak dalam melawan Islam liberal. NU, Muhammadiyah,
Persis, DDII, tarbiyah, hizbut tahriir, salafi, semuanya kompak dalam urusan
ini. Tidakkah lebih baik jika kita mengutamakan hal-hal yang bisa kita sepakati
bersama seperti ini?
Para da’i wajib mentransfer ilmunya
kepada umat agar masing-masing bisa terjun dalam Ghazwul Fikriy. Agama itu
bukan hanya soal cara shalat, shaum, zakat dst., tapi harus sampai pada cara
berpikir. Mengapa kita terus-menerus dalam posisi terdesak dalam Ghazwul Fikriy,
padahal Islam seharusnya mengubah cara berpikir kita? Jika kita memiliki
kerangka berpikir yang kokoh, maka musuh-musuh Islam-lah yang harusnya
terdesak.
Sudah saatnya kita menekan balik
pemikiran para liberal. Ghazwul Fikriy bukan barang baru. Kita punya modal
lebih dari cukup. Jadilah mujahid yang tidak gamang dalam Ghazwul Fikriy.
Bersama Allah, kemenangan adalah sebuah keniscayaan.
Sumber: cooltwit.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..