print this page Klik Print

Persiapan Menuju Shiffin (3)

Oleh: Hepi Andi Bastoni
            Sebelum mengetahui bagaimana sikap Khalifah Ali bin Abi Thalib saat menerima surat penolakan dari Muawiyah bin Abu Sufyan untuk berbaiat kepadanya, kita lihat dulu bagaimana peta kekuatan di  pihak Sang Khalifah. 
Kalau Muawiyah bin Abi Sufyan mendapatkan dukungan penuh dari mantan Gubernur Mesir Amr bin Ash, bagaimana dengan pihak Ali bin Abi Thalib? Ada dua tokoh yang akan saya jelaskan mengenai sikap keduanya terhadap Ali bin Abi Thalib dalam masalah ini. Keduanya adalah: mantan panglima wilayah Khurasan Ahnaf bin Qais at-Tamimi, dan mantan Gubernur Irak Abu Musa al-Asy’ari.
Dalam rangka mempersiapkan pasukan menghadapi tantangan dari Syam (Muawiyah), Ahnaf bin Qais at-Tamimi, berangkat dari Basrah menjumpai Khalifah Ali di Kufah. “Ya Amirul Mukminin, Bani Said tak berpihak kepada Anda pada Perang Jamal. Mereka amat menaruh hormat kepada Aisyah, Zubair dan Thalhah. Tapi terhadap pihak yang Anda hadapi ini, mereka tidak menaruh hormat.”
Khalifah Ali menjawab, “Tulislah surat kapada para pengikut Anda itu.”
Panglima Ahnaf lantas menghubungi kabilahnya, Bani Said, yang merupakan bagian dari suku besar Tamimi. Dalam waktu singkat, ia pun kembali ke Kufah dengan 10.000 tenaga tempur, siap mendukung pasukan Ali bin Abi Thalib.
            Berbeda dengan sikap Ahnaf bin Qais at-Tamimi, Abu Musa al-Asyari tetap mempertahankan sikap non aktifnya. Ia tak mau melibatkan diri dalam sengketa di kalangan para sahabat Nabi saw itu. Sekalipun menaruh simpati terhadap Khalifah Ali, ia tetap lebih menginginkan perdamaian. Dia seorang tokoh yang lebih mengutamakan agamawi daripada duniawi, terkenal wara’ dan zuhud. Bagi kepentingan agama, dia bersedia menyabung nyawa. Ia terkenal sebagai panglima yang berani, memimpin berbagai penaklukan di wilayah Imperium Persia. Tapi dalam kancah politik, ia tak mau terlibat.
            Di akhir pemerintahan Utsman, Abu Musa menjabat gubernur Irak, Azarbaijan dan Armenia yang berkedudukan di Kufah. Ketika Ali bin Abi Thalib terpilih menjabat khalifah, ia mengambil baiat dalam wilayah kekuasaannya terhadap Ali.
            Ketika Ali memberhentikan sebagian pejabat daerah yang diwariskan Utsman, ia memerintahkan Imarah bin Syihab untuk berangkat ke Kufah, membawa surat pemberhentian Abu Musa sekaligus surat pengangkatan Imarah bin Syihab untuk menggantikannya. Dalam perjalanan, ia memperoleh berita dari kafilah dari Kufah bahwa penduduk Irak tidak sudi gubernur mereka diganti. Imarah bin Syihab pulang ke Madinah dan menyampaikan hal itu. Khalifah Ali terpaksa mengukuhkan jabatan Abu Musa Al-Asyari kembali.[1]
            Saat Muawiyah dari Syria menampakkan tantangan terhadap Khalifah Ali, dan Ali menyusun pasukan di bawah pimpinan putranya Muhammad bin Hanifah lalu memerintahkannya berangkat ke Kufah untuk menyusun kekuatan yang lebih besar dari situ, Abu Musa menunjukkan sikapnya yang “membebaskan diri dari setiap sengketa”, yakni “qu’ud ‘anil-fitnati”. Ketika orang  banyak di Kufah menanyakan pendiriannya, demikian menurut Tarikh-al-Thabari[2], ia menjawab, “Duduk itu jalan ke akhirat, dan keluar itu jalan ke dunia. Maka, silakan pilih!”
            Khalifah Ali mendapat laporan tentang sikap dan pendirian Abu Musa itu. Ia pun mengirimkan putranya Hasan ke Kufah, disertai Ammar bin Yasir, untuk mengetahui sikap sebenarnya dari gubernur Irak tersebut.
Abu Musa memeluk Hasan dan barulah berpaling dan mengulurkan tangannya kepada Ammar bin Yasir. Jawaban tegas terhadap kedua utusan itu, keluar dari mulutnya, “Aku pernah mendengar sabda Rasulullah saw, ‘Bakal datang suatu masa, yang saat itu seorang yang duduk labih baik daripada yang berdiri. Seorang yang berdiri lebih baik daripada berjalan. Seorang yang berjalan lebih baik daripada yang berkendaraan. Allah Maha Mulia menciptakan kita bersaudara. Dia mengharamkan harta dan darah sesama kita.”
            Khalifah Ali terpaksa berangkat ke Kufah dan menyusun sendiri kekuatan di situ. Ia pun memberhentikan Abu Musa dari jabatannya. Abu Musa menerima pemberhentiannya dengan rela hati. Ketika pecah sengketa antara Khalifah Ali dengan Aisyah, Zubair dan Thalhah, Abu Musa lebih mempertahankan sikapnya itu, sekalipun tetap menaruh hormat dalam hatinya terhadap Khalifah Ali.
            Bagaimana sikap Khalifah Ali bin Abi Thalib ketika mengetahui utusannya Panglima Jubair bin Abdillah al-Baiji gagal mengambil baiat atas Muwaiyah di Damaskus? Nantikan tulian berikutnya, insya Allah.

[1] Untuk lebih detil tentang sosok Abu Musa al-Asy’ari, silakan rujuk buku 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni, Pustaka al-Kautsar, Cetakan Pertama September 2002 halaman 137-146.
[2] Jilid 3 halaman 496

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..

◄ Newer Post Older Post ►

Para Sahabat

Nasehat Sang Murabbi

Nasehat Sang Murabbi

Sekilas

Sekilas
Bukanlah seorang penulis apalagi seorang plagiator, tapi coba berbagi atas apa yang di dengar, di lihat dan di baca....

Nasyid

Jangan lupa di LIKE ya,,,

×
 

Copyright 2011 Blog Kita79 is proudly powered by blogger.com | Design by BLog BamZ