“Andaikan
kalian sanggup berkomitmen untuk begini dan begitu, tentu akan saya dukung.
Tapi sejauh ini, saya masih melihat banyak kekurangan dari diri kalian.
Sesungguhnya kita tidak mungkin membersihkan lantai yang kotor dengan kain pel
yang kotor!”
Kalimat semacam di atas, dalam berbagai varian
bentuknya, seringkali terdengar. Hemat saya, terutama ungkapan yang terakhir,
memang dapat ditemukan konteksnya dalam banyak kasus, namun tidak untuk semua
kasus. Memang benar, kain pel yang akan digunakan untuk membersihkan lantai
tidak boleh kotor. Tapi sebersih apakah ‘tidak kotor’ itu sebenarnya?
Khalid ibn Walid r.a bisa dibilang “bukan
siapa-siapa” ketika situasi memaksanya untuk menjadi pemimpin pasukan Muslim di
Perang Mu’tah. Rasulullah s.a.w telah menyerahkan bendera pasukan kepada Zaid
ibn Haritsah r.a, dan berwasiat agar memberikannya kepada Ja’far ibn Abu Thalib
r.a jika Zaid r.a gugur, kemudian berwasiat lagi agar memberikannya kepada
‘Abdullah ibn Rawahah r.a jika Ja’far r.a gugur. Allah s.w.t berkehendak ketiga
panglima nan gagah ini menjadi syuhada. Saat itulah kaum Muslimin berembuk dan
mengangkat Khalid ibn Walid r.a – yang belum lama masuk Islam – untuk menjadi
pemimpin mereka. Khalid r.a, yang di Perang Uhud mengayunkan pedangnya untuk
menghabisi kaum Muslimin, kini menjadi Syaifullaah (Pedang Allah) yang akhirnya
mampu membawa pasukan Muslim meraih kemenangan.
Dalam pasukan yang dikirim ke Perang Mu’tah itu,
tidak tertutup kemungkinan ada yang jauh lebih senior, jauh lebih bagus
ibadahnya, dan jauh lebih baik akhlaq-nya daripada Khalid r.a. Apalagi, sebelum
memeluk Islam, Khalid r.a bertahun-tahun mendapat pendidikan dari sang ayah,
Walid bin al-Mughirah, yang sangat memusuhi Islam. Akan tetapi, Khalid r.a
adalah orang yang sangat pas untuk memimpin pasukan Muslim, baik di Perang
Mu’tah ataupun di perang-perang sesudahnya.
Jika kita ingin mencari ‘kain pel’ yang putih bersih
tanpa noda sama sekali, tentu kita akan berpaling kepada orang-orang yang sudah
lama memeluk Islam, atau yang telah bersama Rasulullah s.a.w sejak dahulu,
misalnya Abu Bakar r.a. Akan tetapi, jika yang dibutuhkan adalah seorang
panglima, maka Khalid r.a nyaris tak punya pesaing.
Tentu saja kita tidak hendak mengatakan bahwa ‘kain
pel’ yang bersih itu tidak penting. Hanya saja, dalam banyak kasus, kita tidak
perlu menunggu kedatangan kain pel yang bersih mengkilat sebersih kain pel di
toko sebelum akhirnya benar-benar membersihkan lantai. Tidak semua kondisi
ideal dapat tercapai. Bahkan seringnya, jika kita menunggu-nunggu kondisi ideal
terjadi, maka kita tidak akan beranjak dari tempat kita berada sekarang.
Orang-orang tua zaman dahulu sudah mengajarkan sebuah kebijaksanaan: “tak ada
rotan, akar pun jadi.”
Di tengah-tengah generasi Muslim akhir zaman ini, ke
manakah akan kita cari seorang Abu Bakar r.a atau seorang ‘Umar ibn
al-Khaththab r.a? Dimanakah akan kita temukan sang pemimpin yang bersih tiada
cela, yang kuat ibadahnya, terpuji akhlaqnya dan cemerlang akalnya, sehingga
kita tak bisa menyebutkan barang satu saja keburukannya?
Betapa banyak orang yang merasa dirinya terlalu suci
untuk bergabung dengan yang lain. Ia dapat menghitung secara terperinci sekian
ratus kesalahan mereka. Shalatnya salah disini dan disitu, caranya mendidik
anak kurang begini dan begitu, kesehariannya masih kurang yang ini dan itu. Ia
merasa tak punya harapan jika harus bergabung dengan orang-orang yang
dianggapnya tak membuatnya lebih baik. Ia lupa bahwa – andaikan benar – tak ada
orang yang bisa membawa kebaikan pada dirinya, maka ia sendirilah yang
berkewajiban membawa kebaikan itu pada orang-orang di sekitarnya.
Betapa banyak orang yang bagus ibadahnya namun
menyimpan semua kebaikan untuk dirinya sendiri. Ia membenci si pelaku dosa
sebagaimana ia membenci dosa itu. Ia selalu sendiri, karena di sekelilingnya
hanya ada para pembuat dosa, dan ia khawatir ia pun akan melakukan dosa yang
sama jika bergaul bersama mereka. Ia hibur dirinya sendiri dengan kata-kata
Rasulullah s.a.w yang mengisyaratkan bahwa kelak orang-orang yang memegang
teguh agama ini akan menjadi ‘asing’. Ia lupa sama sekali bahwa setiap kamus
bahasa Indonesia selalu membedakan makna “orang asing” dengan “orang yang
mengasingkan diri”.
Pada akhirnya, ia menghibur dirinya sendiri dengan
menolak semua tuduhan bahwa ia telah memelihara penyakit ukhuwwah dalam dirinya
sendiri. Muncullah kalimat seperti di atas tadi, yang menegaskan bahwa ia siap
bergabung kapan saja dan berkomitmen penuh, asalkan yang hadir di hadapannya
adalah kelompok yang serba sempurna dan tak pernah salah.
Janganlah heran sekiranya orang semacam ini pada
akhirnya selalu berjalan sendiri. Kalaupun ia menemukan teman-teman yang
segagasan dengannya, mereka hanya akan berkumpul (atau lebih tepatnya bergerombol)
dan tidak jalan kemana-mana. Mereka hanyalah sekumpulan orang malang yang diam
sambil menunggu kendaraan yang tak kunjung lewat, sambil mengutuki zaman yang
terus berganti.
Manusia, sebagaimana yang telah kita maklumi
bersama, bukan hanya tak ada yang sempurna, namun juga tak bisa menyempurnakan
dirinya sendiri. Setiap anak dibesarkan bukan atas usaha dirinya sendiri, bukan
pula hanya oleh kerja keras kedua orang tuanya, melainkan juga oleh lingkungan
di sekitarnya. Oleh karena itu duhai tuan-tuan, pahamilah bahwa masyarakat yang
sakit parah selamanya takkan melahirkan pemimpin yang baik. Bolehlah berikan
pengecualian kepada para Nabi, karena mereka dibimbing langsung oleh Allah.
Tapi di luar itu, berlaku hukum yang sama.
Maka, duhai tuan-tuan yang suci, janganlah bermimpi
akan berjumpa dengan pemimpin besar nan adil jika masyarakatnya masih jauh dari
nilai-nilai kebaikan. Jika para guru dan orang tua masih ridha siswa-siswi
menyontek asalkan lulus UN (Ujian Nasional), maka janganlah menolak takdir jika
kelak mereka makan uang haram hasil korupsi. Jika orang tua masih susah
mematuhi rambu lalu lintas atau menerobos lampu merah, janganlah terlalu kecewa
sekiranya sang anak cepat belajar dan melanggar segala aturan dengan mudah di
usia remaja. Dan tentu saja, jika engkau, tuan-tuan yang suci ini, tidak pernah
membimbing umat untuk menyucikan diri dan perbuatannya, maka jangan memasang
impian terlalu tinggi agar kelak suatu hari negeri ini makmur sejahtera dan
dilimpahi rahmat Allah s.w.t dari segala penjurunya.
Orang-orang beriman tidak mengenal putus asa selama
mereka masih merasakan kebersamaan dengan Allah s.w.t. Kita tidak berputus asa
dengan negeri ini, sebagaimana kita tidak berputus asa dengan perkumpulan atau
organisasi apa pun yang kita bentuk untuk membangun negeri. Jika ada
kekurangan, maka itulah kenyataan, sebagaimana kenyataan yang biasa kita hadapi
di tengah-tengah generasi Muslim akhir zaman ini. Kita telah berdamai dengan
kenyataan bahwa keadaan negeri ini masih jauh dari ideal, dan kita berusaha
menyelamatkannya dengan berbagai cara. Oleh karena itu, kita berdamai pula
dengan kenyataan bahwa orang-orang yang memiliki komitmen sama dengan kita pun
masih jauh dari ideal, namun kita menghargai tekadnya untuk terus memperbaiki
diri dan mensyukuri kenyataan bahwa masih ada sekelompok orang yang mau
menerima kita dengan segala kekurangan kita.
Berhentilah menunggu. Kemenangan yang sesungguhnya
takkan hadir di depan mata dan tak bisa kau beli begitu saja. Kemenangan itu
ada di depan sana, menunggu orang-orang yang siap untuk jatuh-bangun dalam
memperjuangkannya.
Sumber: Facebook Akmal Sjafril
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..