Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in adalah
ayat ke lima dari surat Al-Fatihah. Setiap muslim yang taat pasti
membacanya setiap hari, minimalnya 17 kali dalam shalat lima waktu. Ayat
ke lima tersebut yang berbunyi,
إياك نعبد وإياك نستعين
artinya adalah, “Hanya kepada-Mu (ya Allah) kami beribadah dan hanya kepada-Mu (ya Allah) kami memohon pertolongan.”
Di dalam ayat di atas seorang muslim
mengikrarkan diri sebagai hamba yang hanya beribadah serta memohon
pertolongan kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah,
menjadi hamba yang benar-benar beribadah kepada Allah -seperti tersebut
dalam ayat di atas- hanya akan terealisasi dengan empat perkara. Bila
berhasil memenuhi keempatnya berarti dia masuk dalam golongan ayat
tersebut. Tapi Jika ternyata tidak, berarti ikrar dia di dalam setiap
raka’at shalatnya adalah fatamorgana.
Ke empat perkara yang kami maksudkan adalah apa yang disebutkan oleh Ibnul Qoyyim di dalam kitabnya Madarijus Salikin.
Di Jilid ke 1 halaman 120 beliau meletakkan sebuah Fasal yang sangat
berharga. Dengan Fasal ini kita akan benar-benar paham maksud yang
terkandung dalam ayat tersebut. Beliau berkata,
“Fasal: Membangun Iyyaka Na’budu di atas Empat Kaedah”
Kata beliau, “Dan Iyyaka Na’budu “Hanya kepada-Mu (ya Allah) kami beribadah” dibangun di atas empat kaedah, yaitu mengamalkan Perkara-perkara yang dicintai dan diridhai Allah dan Rasul-Nya, berupa:
- Ucapan Lisan.
- Dan (ucapan) hati.
- Amalan hati,
- Dan (amalan) anggota tubuh.”
Inilah makna peribadahan yang
sesungguhnya. Seorang muslim yang benar-benar mengaku hanya beribadah
kepada Allah harus membuktikan dengan melaksanakan empat perkara di
atas. Ibnul Qoyyim melanjutkan,
“Al-‘Ubudiyyah adalah semua nama yang mencakup empat tingkatan ini. Maka orang-orang yang mengucapkan Iyyaka Na’budu (إياك تعبد ) yang sesungguhnya ialah yang merealisasikannya (yakni mangamalkan empat kaedah tersebut,pen).”
Kemudian Ibnul Qoyyim mulai merinci makna dari empat perkara tersebut:
“Maka (yang dimaksud) ucapan hati
ialah, meyakini (dengan sesungguhnya) berita-berita yang telah Allah
sampaikan melalui lisan Rasul-Nya terkait tentang diri-Nya, nama dan
sifat-sifat-Nya, malaikat-malaikat dan pertemuan dengan-Nya.”
“Sedangkan ucapan lisan
ialah, menyebarkan berita-berita tersebut, mendakwahkannya, membelanya,
dan menjelaskan batilnya kebid’ahan yang menyelisihinya, serta selalu
berdzikir kepada-Nya, dan menyampaikan perintah-perintah-Nya.”
Adapun amalan hati
ialah, seperti rasa cinta kepada-Nya, hanya bertawakkal kepada-Nya,
kembali (taubat) kepada-Nya, takut dan berharap hanya kepada-Nya, ikhlas
dalam beragama, bersabar di dalam melakukan perintah-perintah-Nya, dan
(bersabar) dari (menjauhi) larangan-larangan-Nya, dan (bersabar) di
dalam menjalani ketentuan (takdir)Nya, ridho terhadap takdir yang baik
dan yang jelek, menumbuhkan kecintaan karena-Nya dan bermusuhan
karena-Nya pula, merendahkan dan menundukkan diri hanya kepada-Nya, ikhbat kepada-Nya,
thuma’ninah kepada-Nya, dan amalan-amalan hati lainnya yang mana amalan
hati yang fardhu lebih fardhu dari amalan anggota tubuh, dan amalan
mustahabnya lebih dicintai Allah ketimbang amalan mustahab anggota
tubuh, karena amalan anggota tubuh tanpa disertai amalan hati bisa jadi
tidak bermanfaat atau ada manfaatnya tapi sedikit.
Dan amalan anggota tubuh
ialah, seperti shalat, jihad, mengayunkan langkah menuju shalat jum’at
dan (shalat) jama’ah, menolong orang yang lemah, berbuat baik kepada
sesama, dan selain itu.
Berarti, seorang yang mengikrarkan diri “hanya beribadah kepada Allah” tapi
tidak mau beriman kepada berita-berita yang terdapat di dalam Al-Qur’an
dan hadits nabi, baik menolaknya secara langsung atau dengan
alasan-alasan tertentu, seperti menolak Nama atau sifat Allah dengan
alasan Allah tidak sama dengan makhluknya, atau memusuhi orang-orang
yang mendakwahkan kebenaran, atau perkara-perkara lain yang telah
disebutkan Ibnul Qoyim di atas menunjukkan bahwa orang itu tidak jujur
dalam ikrarnya. Dan itu juga menunjukkan bahwa dia masih beribadah
kepada selain Allah, dalam hal ini beribadah (tunduk dan patuh) kepada
hawa nafsu, guru, atau kepada syaithan..
Kemudian Ibnul Qoyyim menutup penjelasannya, “Maka IYYAKA NA’BUDU merupakan keharusan (mengamalkan) empat hukum ini dan meyakininya.”
Lihat Madarijus Salikin (1/121)
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..