Mukadimah
Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin (inet) |
Syaikh Hasan al-Banna Rahimahullah telah mendapatkan serangan dari sisi ini. Mereka telah menyebutnya sebagai seorang sufi, bathini,
pengikut tarekat, dan seterusnya. Sebenarnya, tidak menjadi masalah
jika ‘sekedar’ disebut sufi. Sebab tidak semua sufi bermasalah. Berapa
banyak sufi-sufi yang mendapat sanjungan ulama seperti Abu Sulaiman
ad-Darani, Abdullah Sahl at-Tastari, Junaid bin Muhammad, bahkan Abdul
Qadir Jaelani pendiri tarekat Qadiriyah telah mendapat
sanjungan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagai sufi yang salafi.
Mereka pun disebut oleh Syaikhul Islam dengan doa, Radhiyallahu ‘Anhum.
Sedangkan
Syaikh Hasan al-Banna, ada seorang ulama Mesir yang menyebutnya sufi
yang salafi. Pandangan beliau terhadap tasawwuf adalah pandangan
seimbang. Beliau mengkritik yang perlu dikritik, namun mengakui kebaikan
yang ada pada tasawwuf. Pandangan seimbang inilah yang nampaknya sulit
diterima oleh sebagian manusia yang memang menaruh kebencian luar biasa
terhadap tasawwuf.
Memang, sangat aneh jika dikatakan Syaikh Hasan
al-Banna adalah seorang sufi. Padahal di negerinya sendiri, beliau dan
Ikhwanul Muslimin disebut sebagai wahabi oleh kaum sufi sendiri
lantaran mengingkari cara dzikir-dzikir mereka (sufi). Keanehan semakin
menjadi-jadi ketika faktanya, Syaikh Hasan al-Banna terjun ke dalam
dunia politik dan kiprahnya menjadi ancaman paling serius bagi pemandu status quo saat itu. Nah, adakah sufi yang berpolitik? Padahal biasanya sufi mengharamkan politik?
Lucunya
lagi, Ikhwanul Muslimin juga mereka tuduh terlalu berlebihan dalam
dunia politik dan tidak memberikan perhatian terhadap masalah aqidah.
Ini adalah tuduhan yang kontradiksi. Di satu sisi menuduh Ikhwan adalah
perkumpulan sufi, sedangkan di sisi lain mereka menuduh Ikhwan
berlebihan dalam dunia politik. Sekali lagi, apakah ada sufi yang
berpolitik? Sebab dunia yang satu memutihkan hati dan satunya lagi
justru mengkotorinya?
Namun, yang benar adalah Ikhwan memperhatikan tarbiyah ar ruhiyah was suluk (pembinaan
spiritual dan perilaku) dan juga perhatian dengan nasib bangsa dan
negaranya. Jika yang satu dikatakan sufi, dan yang satu lagi dikatakan
berlebihan dalam dunia politik, maka namakanlah semau Anda!
Mengenal Tasawwuf
Harus
diakui, sikap manusia terhadap tasawwuf tidak sama. Hal itu lerjadi
karena perbedaan kadar pengetahuan, interaksi, dan penampilan para sufi
yang membuat pandangan manusia berbeda-beda. Kaum muslimin ada yang
menghina tasawwuf dan ahlinya (sufi) secara keseluruhan, tanpa kecuali. Tabdi’(tuduhan
sebagai ahli bid’ah) selalu diarahkan kepada pengikut tasawwuf. Tidak
ada kebaikan sedikit pun pada mereka. Sekali pun ada, kebaikan ahli
bid’ah masih lebih buruk dibanding keburukan ahli maksiat. Mereka
menganggap agama kaum sufi bukanlah dinullah (agama Allah) melainkan dinussufi (agama kaum sufi). Artinya, kaum sufi memiliki cara beragama sendiri menurut hawa nafsu pendiri thariqah-nya.
Pemuka-pemuka tasawwuf dipandang hina. Bahkan lebih hina dibanding
pengikutnya karena merekalah yang menyebabkan tersebarnya bid’ah tasawwuf.
Kelompok
ini menaruh kebencian luar biasa kepada tasawwuf dan sufi. Mereka
membuka mata lebar-lebar terhadap segala kekurangan tasawwuf. Tetapi
menutup mata rapat-rapat terhadap segala kebaikan yang ada padanya.
Sementara
itu, di sisi lain. Ada kaum muslimin yang memuji tasawwuf setinggi
langit, bahkan lebih. Kaum sufi —kata mereka— adalah manusia paling
mulia setelah para Nabi. Merekalah Ahlus Sunnah sebenarnya. Bahkan, merekalah para shiddiqin, muqarrabin, dan ahludz dzikri. Sering kita mendengar mereka menganggap ulama syariat (fuqaha)
menimba ilmu dari yang pasti mati (manusia). Sedangkan sufi menimba
ilmu langsung dari Yang Tidak Pernah Mati (Allah). Memang, banyak kaum
sufi yang sebenarnya malas mencari ilmu. Bahkan menghina mata airnya
sehingga banyak di antara mereka melecehkan ahli ilmu dan
murid-muridnya. Oleh karena itu, ibadah mereka pun takalluf (berIebihan/memberatkan)
dan aneh. Karena tidak ada dasar ilmu di dalamnya. Kelompok ini menilai
kesalahan kaum sufi adalah kesengajaan agar orang-orang awam tidak
menyucikannya. Sungguh, ini adalah apologi yang kerdil dan perangkap setan bagi mereka.
Kedua
sikap itu sama-sama keliru dan tidak mencerminkan kealiman seorang
ulama dan kearifan seorang dai. Seharusnya, manusia menahan lisannya
dari memaki dan memuji secara berlebihan. Sikap tawazun (seimbang) dan tawasuth (pertengahan)
terhadap kekeliruan dan kebaikan manusia adalah sikap yang terbaik
tanpa menyalahkan yang benar dan tidak membenarkan yang salah serta
tidak membuka yang seharusnya tertutup dan tidak menutup yang seharusnya
terbuka. Itulah sikap kita: adil, seimbang, dan tepat.
Meletakkan
tasawwuf pada tempatnya akan menentukan arah sikap kita terhadapnya.
Ada baiknya, kita mencermati dahulu perjalanan tasawwuf.
Syaikh Hasan
al-Banna bercerita:
حين اتسع عمران الدولة الإسلامية في صدر القرن
الأول، وكثرت فتوحاتها وأقبلت الدنيا على المسلمين من كل مكان، وحببت إليهم
ثمرات كل شيء، وكان خلفيتهم بعد ذك يقول للسحابة في كبد السماء: شرقي أو
غربي فحيثما وقع قطرك جاءني خراجه. وكان طبيعيا أن يقبلوا على هذه الدنيا
يتمتعون بنعيمها ويتذوقون حلاوتها وخيراتها في اقتصاد أحيانا وفي إسراف
أحيانا أخرى، وكان طبيعيا أمام هذا التحول الاجتماعي، من تقشف عصر النبوة
الزاهر إلى لين الحياة ونضارتها فيما بعد ذلك، أن يقوم من الصالحين
الأتقياء العلماء الفضلاء دعاة مؤثرون يزهدون الناس في متاع هذه الحياة
الزائل، ويذكرونهم بما قد يسره من متاع الآخرة الباقي: “وإن الدار الآخرة
لهي الحيوان لو كانوا يعلمون” ومن أول هؤلاء الذين عرفت عنهم هذه الدعوة –
الإمام الواعظ الجليل – الحسن البصري، وتبعه على ذلك كثير من أضرابه الدعاة
الصالحين، فكانت طائفة في الناس معروفة بهذه الدعوة إلى ذكر الله واليوم
الآخر. والزهادة في الدنيا، وتربية النفوس على طاعة الله وتقواه. وطرأ على
هذه الحقائق ما طرأ على غيرها من حقائق المعارف الإسلامية فأخذت صورة العلم
الذي ينظم سلوك الإنسان ويرسم له طريقا من الحياة خاصا: مراحله الذكر
والعبادة ومعرفة الله، ونهايته الوصول إلى الجنة ومرضاة الله
“Ketika
kemakmuran pemerintahan Islam telah melebar luas pada permulaan abad
pertama, penaklukan berbagai negara pun banyak berlangsung. Masyarakat
dari berbagai penjuru dunia memberikan perhatiannya kepada kaum
muslimin. Segala jenis buah telah tergenggam dan bertumpuk di tangan
mereka. Khalifah ketika itu berkata kepada awan dan langit, ‘Barat
maupun Timur entah bagian bumi mana pun yang mendapat tetesan air
hujan-Mu, pasti akan datang kepadaku membawa upeti’.
Suatu hal
yang lumrah jika ada umat manusia ketika menerima nikmat dunia, mereka
menikmati kelezatan dan anugerah yang ada. Memang ada yang menikmatinya
dengan kesahajaan. Ada pula yang menikmatinya dengan berlebihan. Sudah
menjadi hal yang lumrah pula perubahan sosial itu terjadi. Dari
kesahajaan hidup masa kenabian, kini telah sampai pada masa kemewahan.
Melihat
kenyataan itu, bangkitlah dari kalangan ulama yang shalih dan bertakwa
serta para dai yang menghimbau umat manusia untuk kembali kepada
kehidupan zuhud terhadap kesenangan duniawi yang fana sekaligus
mengingatkan mereka pada berbagai hal yang dapat melupakan dirinya dari
nikmat akhirat yang kekal abadi. Sungguh, kampung akhirat itulah
kehidupan yang kekal lagi sempurna jika mereka mengetahui.
Satu
yang saya ketahui adalah seorang Imam pemberi petuah yang mulia, Hasan
alBashri. Meski akhirnya diikuti pula sekian banyak orang shalih lainnya
semisal beliau. Terbentuklah sebuah kelompok di tengah-tengah umat yang
dikenal dengan dakwahnya untuk selalu mengingat Allah Swt dan mengingat
akhirat, zuhud di dunia, serta men-tarbiyah diri untuk selalu menaati
Allah Swt dan bertakwa kepada-Nya.
Dari fenomena itu, lahirlah
format keilmuan seperti disiplin ilmu keislaman lainnya. Dibangunlah
suatu disiplin ilmu yang mengatur tingkah laku manusia dan melukiskan
jalan kehidupannya yang spesifik. Tahapan jalan itu adalah zikir,
ibadah, dan ma’rifatullah. Sedangkan hasil akhirnya adalah surga Allah
dan ridha-Nya.” (Imam Hasan al-Banna, Mudzakkirat ad-Da’wah wad-Da’iyyah, Hal. 24)
Demikianlah tasawwuf. Pada mulanya, ia adalah suatu yang mulia. la mengisi kekosongan yang dilupakan fuqaha (ahli fiqh), muhaddits (ahli hadis), dan mutakallimin (ahli kalam).
Yaitu kekosongan ruhiyah (jiwa) dan akhlak. Secara jujur harus diakui,
inti ajaran Islam adalah akhlak yang menjadi tujuan diutusnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk
menyempurnakannya. Penerapan syariat Islam dari lingkup terkecil,
individu, sampai terbesar, pergaulan antar bangsa, dan semuanya memiliki
dimensi akhlak. “Pada hakikatnya, tasawwuf adalah akhlak. Siapa
yang bertambah baik akhlaknya, bertambah baik pula tasawwuf-nya.”
Demikian kata Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Jika
demikian adanya, bukan tasawwuf-nya yang layak dikecam. Melainkan
oknum-oknum yang merusak tasawwuf dan menyebarkan kerusakan yang ada
padanya. Jadi, kritiklah sesuai haknya tasawwuf yang lepas
dari jalan Islam yang benar. Kekeliruan mereka memiliki bobot yang
berbeda, ada yang cukup di-bid’ah-kan, ada pula yang layak untuk
dikafirkan.
Penyimpangan pada tasawwuf pernah dipertontonkan al-Hallaj yang terpedaya setan. la berkata, “Ana Allah” (Aku Allah). la berpendapat, Allah Subhanahu wa Ta’ala bereinkarnasi dengan makhluk. Begitu pun Ibnu ‘Arabi dengan filsafat wihdatul wujud.
la beranggapan tidak ada Khalik (Pencipta) dan makhluk (ciptaan). Tidak
ada Rabb (Tuhan) dan hamba. Merekalah contoh musibah dalam dunia
tasawwuf.
Sebaliknya, pujilah sesuai haknya: tasawwuf yang lurus dan jalannya sesuai syariat dengan pemahaman salafush shalih
yang tumbuh dan berkembang bersih dari bid’ah, khurafat, takhayul,
qubury, zindiq, dan syirk. Itulah tasawwuf yang selamat dan pernah
dilalui para imam seperti al-Junaid bin Muhammad, Abu Hafs, Abu Sulaiman
ad-Darani, dan Sahl bin Abdullah at-Tastary seperti yang dikatakan Imam
Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin.
Sufi Generasi Pertama Menyeru Kepada al-Quran dan as-Sunnah
Imam
Ibnul Qayyim telah mengutip berbagai perkataan kaum sufi generasi awal
yang menunjukkan bahwa mereka merupakan kaum yang sangat perhatian
dengan sunnah. Bahkan, mereka mengatakan bahwa jalan yang mereka tempuh (tasawwuf) harus berpijak pada al-Quran dan as-Sunnah.
Imam Ibnul Qayyim, mengutip ucapan mereka sebagai berikut:
قال
سيد الطائفة وشيخهم الجنيد بن محمد رحمه الله: الطرق كلها مسدودة على
الخلق إلا على من اقتفى آثار الرسول وقال: من لم يحفظ القرآن ويكتب الحديث
لا يقتدى به في هذا الأمر لأن علمنا مقيد بالكتاب والسنة وقال: مذهبنا هذا
مقيد بأصول الكتاب والسنة وقال أبو حفص رحمه الله: من لم يزن أفعاله
وأحواله في كل وقت بالكتاب والسنة ولم يتهم خواطره فلا يعد في ديوان الرجال
وقال أبو سليمان الداراني رحمه الله: ربما يقع في قلبي النكتة من نكت
القوم أياما فلا أقبل منه إلا بشاهدين عدلين: الكتاب والسنة
Berkata pemimpin dan syaikhnya mereka, al-Junaid bin Muhammad Rahimahullah, “Semua jalan tertutup bagi makhluk kecuali yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Dia juga berkata,
“Siapa yang tidak menghafal al-Quran dan Hadis, ia
tidak boleh diteladani dalam urusan tasawwuf. Karena ilmu kami terikat
dengan keduanya.” Dia juga berkata, “Madzhab kami ini terikat oleh
dasar-dasar al-Quran dan as-Sunnah.”
Berkata Abu Hafsh Rahimahullah,
“Barangsiapa yang tidak menimbang keadaan dan perbuatannya setiap waktu
dengan al-Kitab dan as-Sunnah serta tidak memperhatikan suara hatinya,
ia tidak termasuk dalam golongan kami.”
Abu Sulaiman ad-Darani Rahimahullah berkata,
“Kadang-kadang, timbul suatu titik dalam hatiku seperti titik-titik
yang terdapat pada suatu kaum selama beberapa hari. Saya tidak dapat
memutuskannya kecuali dengan dua saksi yang adil, yaitu al-Quran dan
as-Sunnah.” (Imam Ibnul Qayyim, Madarijus Salikin, Bab Manzilatul ‘Ilmi, 2/434. Cet. 3, 1996M-1416H. Darul Kitab Al ‘Arabi, Beirut.
Abu Hafsh juga berkata:
أحسن ما يتوسل به العبد إلى الله: دوام الافتقار إليه على جميع الأحوال وملازمة السنة في جميع الأفعال
“Sarana
terbaik bagi seorang hamba kepada Allah Ta’ala adalah membiasakan sikap
butuh kepada-Nya dalam segala keadaan, dan membiasakan diri dengan
sunnah dalam semua perbuatan.” (Ibid, 2/412)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga mencatat:
قَالَ
سَهْلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ التستري : كُلُّ وَجْدٍ لَا يَشْهَدُ لَهُ
الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ فَهُوَ بَاطِلٌ . وَقَالَ الجنيد بْنُ مُحَمَّدٍ :
عِلْمُنَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ ؛ فَمَنْ لَمْ يَقْرَأْ
الْقُرْآنَ وَيَكْتُبْ الْحَدِيثَ لَا يَصِحُّ أَنْ يَتَكَلَّمَ فِي
عِلْمِنَا
“Berkata Sahl bin Abdillah At Tastari, “Semua intuisi
(cinta, suka cita) yang tidak disaksikan (dikuatkan) oleh al-Quran dan
as-Sunnah, maka itu adalah batil.” Berkata al-Junaid bin Muhammad, “Ilmu
kami terikat dengan al-Quran dan as-Sunnah, maka barangsiapa yang tidak
membaca al-Quran dan tidak menulis Hadits, maka tidak sah berbicara
tentang ilmu kami (yakni tasawwuf, pen).” (Imam Ibnu Taimiyah, Al Fatawa Al Kubra, 2/418, Lihat juga Majmu’ Al Fatawa, 10/719)
Demikianlah
sikap para penempuh tasawwuf generasi pertama. Mereka sangat terikat
-dalam meniti jalan tasawwuf- dengan al-Quran dan as-Sunnah. Sehingga,
Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim memberikan apresiasi terhadap
mereka semua.
Sementara itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, telah
menyandingkan nama-nama sufi generasi awal, dengan para imam ahli fiqih
dan hadits dengan sebutan: para imam pembawa petunjuk. Beliau berkata (yang saya tebalkan adalah sufi, pen):
أَنَّهُمْ
مَشَايِخُ الْإِسْلَامِ وَأَئِمَّةُ الْهُدَى الَّذِينَ جَعَلَ اللَّهُ
تَعَالَى لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْأُمَّةِ مِثْلُ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيِّبِ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ
وَمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ والأوزاعي وَإِبْرَاهِيمَ بْنِ أَدْهَمَ وَسُفْيَانَ
الثَّوْرِيِّ والفضيل بْنِ عِيَاضٍ وَمَعْرُوفٍ الكرخي وَالشَّافِعِيِّ
وَأَبِي سُلَيْمَانَ وَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَبِشْرٍ الْحَافِي وَعَبْدِ
اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ وَشَقِيقٍ البلخي وَمَنْ لَا يُحْصَى كَثْرَةٌ .
إلَى مِثْلِ الْمُتَأَخِّرِينَ : مِثْلُ الجنيد بْنِ مُحَمَّدٍ القواريري
وَسَهْلِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ التستري وَعُمَرَ بْنِ عُثْمَانَ الْمَكِّيِّ
وَمَنْ بَعْدَهُمْ – إلَى أَبِي طَالِبٍ الْمَكِّيِّ إلَى مِثْلِ
الشَّيْخِ عَبْدِ الْقَادِرِ الكيلاني وَالشَّيْخِ عَدِيٍّ وَالشَّيْخِ
أَبِي الْبَيَانِ وَالشَّيْخِ أَبِي مَدِينٍ وَالشَّيْخِ عَقِيلٍ
وَالشَّيْخِ أَبِي الْوَفَاءِ وَالشَّيْخِ رَسْلَانَ وَالشَّيْخِ عَبْدِ
الرَّحِيمِ وَالشَّيْخِ عَبْدِ اللَّهِ اليونيني وَالشَّيْخِ الْقُرَشِيِّ
وَأَمْثَالِ هَؤُلَاءِ الْمَشَايِخِ الَّذِينَ كَانُوا بِالْحِجَازِ
وَالشَّامِ وَالْعِرَاقِ وَمِصْرَ وَالْمَغْرِبِ وَخُرَاسَانَ مِنْ
الْأَوَّلِينَ والآخرين .
“Sesungguhnya mereka adalah para Syaikhul
Islam, para Imam pembawa petunjuk, yang Allah Ta’ala telah menjadikan
untuk mereka lisan yang benar bagi umat. Seperti Said bin al-Musayyib,
al-Hasan al-Bashri, Umar bin Abdil ‘Aziz, al-Auza’i, Malik bin Anas,
Ibrahim bin Ad-ham, Sufyan ats-Tsauri, Fudhail bin ‘Iyadh, Ma’ruf
al-Karkhi, asy-Syafi’i, Abu Sulaiman ad-Darani, Ahmad bin Hambal, Bisyr
al-Hafi, Abdullah bin al-Mubarak, Syaqiq al-Balkhi, dan banyak lagi
yang tidak terhitung. Juga yang generasi selanjutnya: al-Junaid bin
Muhammad, Sahl bin Abdillah at-Tastari, Umar bin Utsman al-Makki, dan
orang-orang setelah mereka, hingga Abu Thalib al-Makki, hingga semisal
Abdul Qadir al-Jailani. Syaikh ‘Adi, Syaikh Abul Bayan, Syaikh Abu
Madin, Syaikh ‘Aqil, Syaikh Abul Wafa’, Syaikh Ruslan, Syaikh
Abdurrahim, Syaikh Abdullah al-Yunaini, Syaikh al-Qurasyi, dan masyayikh
lain yang semisalnya baik di Hijaz, Syam, Irak, Mesir, Khurasan, baik
generasi awal atau belakangan.” (Imam Ibnu Tamiyah, Majmu’ Fatawa, 2/474. Tahqiq: Abdurrahman bin Muhammad Qaasim. 1995M-1416H)
Sikap Pertengahan Imamain Dalam Menilai Tasawwuf
Sikap
objektif adalah sikap terbaik walau itu sulit bagi sebagian orang. Baik
karena ketidakmampuan atau ketidakmauan. Para Imam Ahlus Sunnah telah
menampakkan sikap objektif terhadap kaum sufi. Di antaranya adalah
sikap imamain (dua imam), yakni Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata tentang kaum sufi:
وَلِأَجْلِ
مَا وَقَعَ فِي كَثِيرٍ مِنْهُمْ مِنْ الِاجْتِهَادِ وَالتَّنَازُعِ فِيهِ
تَنَازَعَ النَّاسُ فِي طَرِيقِهِمْ ؛ فَطَائِفَةٌ ذَمَّتْ ”
الصُّوفِيَّةَ وَالتَّصَوُّفَ ” . وَقَالُوا : إنَّهُمْ مُبْتَدِعُونَ
خَارِجُونَ عَنْ السُّنَّةِ وَنُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الْأَئِمَّةِ فِي
ذَلِكَ مِنْ الْكَلَامِ مَا هُوَ مَعْرُوفٌ وَتَبِعَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
طَوَائِفُ مِنْ أَهْلِ الْفِقْهِ وَالْكَلَامِ . وَطَائِفَةٌ غَلَتْ
فِيهِمْ وَادَّعَوْا أَنَّهُمْ أَفْضَلُ الْخَلْقِ وَأَكْمَلُهُمْ بَعْدَ
الْأَنْبِيَاءِ وَكِلَا طَرَفَيْ هَذِهِ الْأُمُورِ ذَمِيمٌ . وَ ”
الصَّوَابُ ” أَنَّهُمْ مُجْتَهِدُونَ فِي طَاعَةِ اللَّهِ كَمَا اجْتَهَدَ
غَيْرُهُمْ مِنْ أَهْلِ طَاعَةِ اللَّهِ فَفِيهِمْ السَّابِقُ
الْمُقَرَّبُ بِحَسَبِ اجْتِهَادِهِ وَفِيهِمْ الْمُقْتَصِدُ الَّذِي هُوَ
مِنْ أَهْلِ الْيَمِينِ وَفِي كُلٍّ مِنْ الصِّنْفَيْنِ مَنْ قَدْ
يَجْتَهِدُ فَيُخْطِئُ وَفِيهِمْ مَنْ يُذْنِبُ فَيَتُوبُ أَوْ لَا يَتُوبُ
. وَمِنْ الْمُنْتَسِبِينَ إلَيْهِمْ مَنْ هُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ عَاصٍ
لِرَبِّهِ . وَقَدْ انْتَسَبَ إلَيْهِمْ طَوَائِفُ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ
وَالزَّنْدَقَةِ ؛ وَلَكِنْ عِنْدَ الْمُحَقِّقِينَ مِنْ أَهْلِ
التَّصَوُّفِ لَيْسُوا مِنْهُمْ : كَالْحَلَّاجِ مَثَلًا ؛ فَإِنَّ
أَكْثَرَ مَشَايِخِ الطَّرِيقِ أَنْكَرُوهُ وَأَخْرَجُوهُ عَنْ الطَّرِيقِ .
مِثْلُ : الجنيد بْنِ مُحَمَّدٍ سَيِّدِ الطَّائِفَةِ وَغَيْرِهِ .
“Oleh
karena itu, banyak pembicaraan dan pertentangan tentang jalan para ahli
tasawwuf. Sebagian manusia mencela tasawwuf dan sufi, seraya berkata, ‘Sesungguhnya mereka adalah ahli-ahli bid’ah yang keluar dari sunnah.’ Ucapan
seperti ini juga didapatkan dari sebagian imam sebagaimana yang sudah
diketahui dan diikuti oleh berbagai kelompok ahli fiqih dan kalam.
Sedangkan
golongan lain bersikap berlebihan terhadap ahli tasawwuf dan
mendakwakan bahwa mereka adalah makhluk paling utama dan paling sempurna
setelah para nabi.
Kedua golongan itu keliru, dan yang benar
adalah bahwa ahli tasawwuf berusaha keras dalam mentaati Allah
sebagaimana halnya orang lain juga berupaya keras mentaati Allah. Maka,
di antara mereka ada yang berada di garis depan dan selalu dekat dengan
Allah sesuai ijtihad dan usahanya. Ada pula yang sedang-sedang saja yang
tergolong ahlul yamin (golongan kanan). Sementara itu, pada
masing-masing dua golongan ada pula yang kadang melakukan ijtihad dan
ijtihadnya keliru, ada yang berbat dosa kemudian bertobat, dan ada pula
yang tidak bertobat.
Di antara orang yang menisbatkan
(menyandarkan) dirinya pada ahli tasawwuf, ada yang zalim terhadap
dirinya sendiri dan bermaksiat kepada Tuhannya. Dan ada pula
kelompok-kelompok ahli bid’ah dan zindik yang menyandarkan diri mereka
kepada ahli tasawwuf. Oleh para muhaqqiq (peneliti) mereka tidaklah dianggap sebagai ahli tasawwuf. Seperti al-Hallaj. Sebab kebanyakan para masyayikh telah mengingkarinya dan mengeluarkannya dari jalan tasawwuf sebagaimana sikap al-Junaid sang pemuka ath-Thaifah dan lainnya.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 1/18)
Inilah komentar sangat adil tentang sufi dan tasawwuf dari Imam Ibnu Taimiyah. Beliau pun menyikap secara adil kitab tasawwuf, Ihya ‘ulumuddin, karya Imam al-Ghazali Rahimahullah.
Sebagian manusia mencela kitab ini. Bahkan sampai dibakar karena berisi
khurafat, bid’ah, filsafat yang merusak, dan dibubuhi hadits-hadits dhaif, baik munkar maupun palsu. Ada juga yang menyanjung setinggi langit. Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa kitab al-Ihya ini merupakan pedoman menuju surga.
Namun, lagi-lagi Imam Ibnu Taimiyah menampakkan objektifitas dalam menilai kitab tersebut. Katanya,
وَالْإِحْيَاءُ
فِيهِ فَوَائِدُ كَثِيرَةٌ ، لَكِنَّ فِيهِ مَوَادَّ مَذْمُومَةً ،
فَإِنَّ فِيهِ مَوَادَّ فَاسِدَةً مِنْ كَلَامِ الْفَلَاسِفَةِ تَتَعَلَّقُ
بِالتَّوْحِيدِ وَالنُّبُوَّةِ وَالْمَعَادِ
“Kitab al-Ihya di
dalamnya terdapat banyak faedah (manfaat). Tetapi di dalamnya juga
terdapat materi-materi yang tercela. Materi merusak yang berasal dari
ucapan filsuf yang terkait masalah tauhid, kenabian, dan akhirat.” (Imam
Ibnu Tamiyah, al-Fatawa al-Kubra, 5/86)
Sikap Imam Ibnu Taimiyah ini juga diwariskan oleh murid terdekatnya, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ketika Beliau membuat syarah kitab tasawuf, Manazil Sairin, karya
Syaikhul Islam Ismail al-Harawi al-Hambali, beliau mengomentari
kesalahan Syaikhul Islam dalam kitab tersebut dengan ucapannya,
ولا
توجب هذه الزلة من شيخ الإسلام إهدار محاسنه وإساءة الظن به فمحله من
العلم والإمامة والمعرفة والتقدم في طريق السلوك المحل الذي لا يجهل وكل
أحد فمأخوذ من قوله ومتروك إلا المعصوم صلوات الله وسلامه عليه والكامل من
عد خطؤه ولا سيما في مثل هذا المجال الضنك والمعترك الصعب الذي زلت فيه
أقدام وضلت فيه أفهام وافترقت بالسالكين فيه الطرقات وأشرفوا إلا أقلهم على
أودية الهلكات.
“Kesalahan Syaikhul Islam dalam masalah ini tidak
dapat menghancurkan kebaikan-kebaikannya dan tidak boleh mengakibatkan
prasangka tidak baik kepadanya. Beliau adalah seorang ulama besar, imam,
ahli ma’rifah, dan tokoh ilmu suluk. Setiap manusia boleh diambil pendapatnya dan ditinggal perkataannya, kecuali al-Ma’shum (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam).
Orang sempurna adalah orang yang menyadari kesalahannya. Terutama dalam
masalah yang pelik dan seringkali menggelincirkan kaki serta
membingungkan pemahaman dan mengakibatkan para salik (pengikut/penempuh jalan tasawwuf) terjerumus dalam kehancuran.” (Imam Ibnul Qayyim, Madarijus Salikin, Bab Manzilah at-Tadzkiran wa Huwa Qarin al-Inabah, 1/216)
Sikap
kedua imam ini adalah sikap elegan dan menunjukkan kualitas ilmu dan
pemahaman mereka serta mampu memosisikan manusia sesuai tempatnya.
Kritik yang mereka lakukan tidaklah membutakan mereka dari kebaikan yang
telah dihasilkan oleh pihak yang dikritiknya. Namun, ini adalah hal
yang sulit diikuti bagi manusia yang fanatik dengan hawa nafsu, kagum
dengan diri sendiri, dan selalu memandang manusia dengan pandangan
rendah.
Bagaimana dengan Sikap Syaikh Hasan al-Banna?
Sikap
Imam Hasan al-Banna dalam menilai tasawwuf adalah sama dengan kedua
imam di atas. Beliau juga memiliki pandangan orisinil yang menunjukkan
objektifitasnya. Setelah beliau menceritakan sejarah tasawwuf, beliau
memaparkan bagaimana tasawwuf yang benar dan lurus serta tasawwuf yang
menyimpang. Sebagaimana yang diceritakan pula oleh dua imam sebelumnya.
Syaikh Hasan al- Banna Rahimahullah berkata:
وهذا
القسم من علوم التصوف، واسمه” علوم التربية والسلوك”، لا شك أنه من لب
الإسلام وصميمه، ولا شك أن الصوفية قد بلغوا به مرتبة من علاج النفوس
ودوائها، والطب لها والرقي بها، لم يبلغ إليها غيرهم من المربين، ولا شك
أنهم حملوا الناس بهذا الأسلوب على خطة عملية من حيث أداء فرائض الله
واجتناب نواهيه، وصدق التوجه إليه، وإن كان ذلك لم يخل من المبالغة في كثير
من الأحيان تأثراً بروح العصور التي عاشت فيها هذه الدعوات: كالمبالغة في
الصمت والجوع والسهر والعزلة.. ولذلك كله أصل في الدين يرد إليه، فالصمت
أصله الإعراض عن اللغو، والجوع أصله التطوع بالصوم، والسهر أصله قيام
الليل، والعزلة أصلها كف الأذى عن النفس ووجوب العناية بها.. ولو وقف
التطبيق العملي عند هذه الحدود التي رسمها الشارع لكان في ذلك كل
الخير.ولكن فكرة الدعوة الصوفية لم تقف عند حد السلوك والتربية، ولو وقفت
عند هذا الحد لكان خيرا لها وللناس، ولكنها جاوزت ذلك بعد العصور الأولى
إلى تحليل الأذواق والمواجد، ومزج ذلك بعلوم الفلسفة والمنطق ومواريث الأمم
الماضية وأفكارها، فخلطت بذلك الدين بما ليس منه، وفتحت الثغرات الواسعة
لكل زنديق أو ملحد أو فاسد الرأي والعقيدة ليدخل من هذا الباب باسم التصوف
والدعوة إلى الزهد والتقشف
“Inilah bagian dari ilmu tasawwuf yang saya namakan ‘ulum at tarbiyah was suluk (ilmu-ilmu
pembinaan spiritual dan perilaku), tidak ragu lagi bahwa dia adalah
bagian dari intisari Islam. Dan tidak sangsi pula bahwa kaum sufi dengan
ilmunya itu telah mencapai jenjang yang tidak dicapai oleh selain
mereka. Walau para pendidik sekali pun, yakni jenjang terapi dan
pengobatan jiwa.
Tidak ragu pula, bahwa mereka telah membawa umat
manusia untuk melakukan amal nyata. Yaitu melaksanakan kewajiban yang
dibenarkan Allah Ta’ala dan menjauhi larangannya serta benar-benar
menghadapkan diri kepada-Nya sekalipun sering terjebak dalam tindakan
berlebihan. Itu karena pengaruh semangat perlawanan terhadap kondisi
zaman.
Misalnya, berlebihan berdiam diri, menahan lapar, tidak tidur malam, ‘uzlah (mengasingkan diri). Sebenarnya semua tindakan itu ada dasarnya dalam agama. Diam misalnya, berarti menghindarkan diri dari laghwun (perilaku tidak berguna). Menahan lapar berarti ia puasa. Tidak tidur malam, berarti ia qiyamul lail, dan ‘uzlah hakikatnya
adalah memelihara diri. Jika saja pengamalannya proporsional, tepat
pada yang ditetapkan syara’, tentu hal itu merupakan gudang kebajikan.
Ternyata,
fikrah dakwah tasawwuf tidak hanya terhenti pada batas ilmu suluk dan
tarbiyah. Jika hanya berhenti pada batas itu, tentu manfaatnya akan
banyak bagi mansia. Sayangnya, setelah abad-abad pertama berlalu,
tasawwuf berkembang melampaui batas wilayahnya (kajiannya, pen). Ia pada
batas memberi kebebasan liar pada dzauq (cita rasa) dan wajd
(intuisi) di samping mencampur adukkan dengan filsafat, manthiq
(logika), serta warisan berpikir umat terdahulu yang bukan berasal
darinya. Terbukalah lubang-lubang yang cukup lebar bagi masuknya
perilaku ateis, zindik, atau orang yang rusak pikiran dan aqidahnya atas
nama tasawwuf dan zuhud.” (Imam Hasan Al Banna, Mudzakkirat Ad Da’wah wa Da’iyyah, Hal. 24-25)
Demikianlah pandangan Syaikh Hasan al-Banna Rahimahullah,
ia memberikan pandangan apa adanya tentang tasawwuf berupa hal-hal yang
baik atau yang buruk. Apa yang kita lihat dari tulisannya, secara
esensi, -qaddarullah- mirip dengan yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.
Pandangan yang adil, objektif, pertengahan, dan tidak berat sebelah.
Amat berbeda dengan sebagian manusia yang mengaku mengagumi Imam Ibnu
Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim tetapi mereka sama sekali tidak
mewariskan akhlak mereka berdua. Oleh karena itu, mencela Syaikh Hasan
al- Banna dalam sisi ini, sama juga telah mencela Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, semoga Allah meridhai mereka
semua.
Benarkah Syaikh Hasan al-Banna adalah seorang sufi?
Setelah kami uraikan apa dan bagaimana tasawwuf, serta pandangan adil dari para ulama. Kita beranjak pada pembahasan, Benarkah Hasan al-Banna seorang sufi?
Pada
mukadimah sudah sedikit saya sampaikan bahwa tidak sepantasnya Syaikh
Hasan al-Banna disebut sufi dan memang hal itu jauh dari kenyataan.
Seorang sufi, dia hidup dan matinya tetap dalam kesufiannya. Namun tidak
demikian dengan Syaikh Hasan al-Banna. Tidak ada satu pun pemerhati dan
pengamat gerakannya, menyebutnya wafat dalam keadaan sufi. Bahkan,
mereka lebh sering membahas bahwa beliau adalah seorang pemikir,
mujahid, dan mujaddid (pembaharu). Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Muhamamd al-Ghazali Rahimahullah.
Untuk menilai sufi atau bukan terhadap Syaikh Hasan al-Banna, maka harus merujuk ke referensi primer, bukan qiila wa qaala (dikatakan
dan katanya). Banyak manusia yang terjebak dalam pemikiran sempit,
menilai tanpa mau mengkaji, memvonis tanpa mau bersabar meneliti. Namun
anehnya, begitu mudah menerima berita yang disimpangkan. Baik dalam
buku, majalah, internet, atau ceramah, yang menjelek-jelekkan Syaikh
Hasan al-Banna Rahimahullah. [1]
Perlu diketahui,
sebenarnya tasawwuf hanyalah salah satu fase hidup dari Syaikh Hasan
al-Banna, yakni pada masa-masa remaja yang akhirnya ditinggalkan di usia
sebelum genap 17 tahun. Sungguh, tidak dibenarkan menilai manusia dari
masa lalunya, tanpa mau melihat fase-fase selanjutnya yang berbeda.
Menilai Syaikh Hasan al-Banna hanya dari fase remaja saja, tanpa mau
melihat perubahan hidupnya, adalah sikap zalim dan menunjukkan
ketidakmampuan dalam menilai sejarah hidup manusia.
Apa yang
dialami oleh Syaikh Hasan al-Banna juga pernah dialami para tokoh Islam
sebelumnya. Seperti Imam Abul Hasan al-Asy’ari, beliau mengalami tiga
fase; mu’tazilah selama puluhan tahun, lalu menjadi ahlus sunnah (tetapi
masih mentakwil sifat-sifat Allah), lalu menjadi ahlus sunnah tulen,
tanpa mentakwil sifat-sifat Allah Ta’ala. Maka tidak pantas menilainya
hanya dari ketika masih mu’tazilah.
Begitu pula yang dialami
Sayyid Quthb, beliau mengalami tiga fase; fase Islam ketika remaja, fase
sekuler ketika muda, lalu kembali lagi ke Islam di sepertiga umurnya
yang terakhir. Tentunya tidak benar hanya menilainya ketika masih muda
yang sekuler itu.
Kita lihat langsung, apa kata Syaikh Hasan al-Banna tentang hubungan dan fase hidupnya dengan tasawwuf,
كانت
أيام دمنهور ومدرسة المعلمين أيام الاستشراق في عاطفة التصوف والعبادة،
ويقولون إن حياة الإنسان تنقسم إلى فترات، منها هذه الفترة التي صادفت
السنوات التي أعقبت الثورة المصرية مباشرة من سنة 1920 إلى سنة 1923 م.
وكانت سني إذ ذاك من الرابعة عشرة إلا أشهرا إلى السابعة عشرة إلا أشهرا
كذلك، فكانت فترة استغراق في التعبد والتصوف، ولم تخل من مشاركة فعلية في
الواجبات الوطنية التي ألقيت على كواهل الطلاب.
“Hari-hari di kota Damanhur dan Madrasah al-Mu’allimin adalah
hari-hari yang tenggelam dalam nuansa tasawwuf dan ibadah. Mereka
mengatakan bahwa kehidupan manusia itu terbagi beberapa tahapan. Di
antaranya adalah tahapan-tahapan yang pernah saya alami pada tahun-tahun
di mana saya mengalami revolusi Mesir, dari tahun 1920 sampai 1923 M.
Saat itu, usiaku 14 tahun kurang beberapa bulan hingga 17 tahun kurang
beberapa bulan. Ini merupakan fase dimana saya tenggelam dalam ibadah
dan tasawwuf. Meskipun tetap ambil bagian dalam berbagai kewajiban
sebagai warga negara, khususnya sebagai pelajar.” (Imam Hasan al-Banna, Mudzakkirat ad-Da’wah wad-Da’iyyah, Hal. 26)
Apa
yang dikisahkan oleh Syaikh Hasan al-Banna tentang fase hidupnya ini
merupakan sanggahan telak atas tudingan sebagian manusia terhadapnya.
Justru anehnya, mereka yang suka menuding itu pun merujuk pada kitabnya
ini, Mudzakkirat ad-Da’wah wad-Da’iyyah. Apakah mereka tidak
membacanya? Ataukah sengaja menutup-nutupinya kepada pembaca? Mereka
berulang-ulang menyebut Hasan al-Banna itu sufi! Nah, tulisan beliau
ini merupakan penyingkap kekeliruan –saya tidak sampai hati menyebutnya
kebohongan- para penuduh, yang entah apa penyebabnya tidak mau jujur
dalam menukil.
Selain itu, kelirunya tuduhan mereka semakin lengkap ketika Syaikh Hasan al-Banna mengatakan bahwa jalan tasawwuf bukanlah jalan yang dipilihnya. Itulah
yang menyebabkannya meninggalkan tasawwuf ketika masih remaja. Lantaran
menurutnya, tasawwuf adalah jalan yang ekslusif dan tidak memberikan
solusi. Berikut apa yang dikatakannya ketika masih remaja, dalam
pelajaran Insya’ (karang mengarang di sekolahnya):
والذي يقصد إلى هذه الغاية يعترضه مفرق طريقين، لكل خواصه ومميزاته، يسلك أيهما شاء:
أولهما: طريق التصوف الصادق، الذي يتلخص في الإخلاص والعمل، وصرف القلب عن الإشتغال بالخلق خيرهم وشرهم. وهو أقرب وأسلم.
والثاني:
طريق التعليم والإرشاد، الذي يجامع الأول في الإخلاص والعمل، ويفارقه في
الإختلاط بالناس، ودرس أحوالهم، وغشيان مجامعهم ووصف العلاج الناجع لعللهم.
وهذه أشرف عند الله وأعظم، ندب إليه القرآن العظيم، ونادى بفضله الرسول
الكريم. وقد رجح الثاني – بعد أن نهجت الأول – لتعدد نفعه، وعظيم فضله،
ولأنه أوجب الطريقين على المتعلم، وأجملهما بمن فقه شيئاً”لينذروا قومهم
إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون”.
“Orang yang ingin meraih tujun ini,
di hadapannya terdapat dua jalan yang masing-masing memiliki karakter
dan keistimewaan. Ia bisa memilih jalan mana yang dikehandakinya.
Pertama,
jalan tasawwuf yang benar, yang tercermin dalam sikap ikhlas dan amal,
serta memalingkan hati dan kesibukkan sesama makhluk, yang baik maupun
yang buruk. Jalan ini lebih dekat dan lebih selamat.
Kedua, jalan ta’lim (pendidikan) dan irsyad (bimbingan)
–sama seperti di atas- dalam hal sikap ikhlas dan amal. Namun berbeda
dalam hal mempergauli manusia, mempelajari keadaan mereka, menyelami
perkumpulan-perkumpulan mereka, serta mencari tahu terapi macam apa yang
tepat untuk mengobati berbagai enyakit yang dialami oleh umat. Ini
lebih mulia dan lebih agung karena al-Quran menyarankannya dan Rasul pun
menyatakan keutamaannya. Yang kedua ini lebih tepat karena manfaatnya
yang berlipat ganda dan keutamaannya yang agung setelah saya mengalami
jalan yang pertama.
Di antara dua jalan di atas, jalan kedua inilah yang lebih wajib bagi muta’allim (penuntut ilmu) dan yang terbaik pula bagi yang sudah faqih (berilmu).
“Agar mereka memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah [9]: 122). (Selengkapnya, Imam Hasan al-Banna, Ibid, Hal. 56-59)
Apa
yang saya garis bawahi di atas membuktikan, dengan bukti yang sangat
jelas, bahwa beliau bukanlah seorang sufi. Sebab, mana ada sufi yang
memilih jalan selain tasawwuf seperti yang dilakukannya? Mana ada sufi
yang mengakui adanya jalan lain yang lebih utama dari jalan tasawwuf?
Dia memlilih jalan pendidikan dan bimbingan, dan itulah yang lebih
utama, agung, dan layak diikuti.
Semoga uraian ini semua bermanfaat bagi yang ingin mendapatkan kebenaran.
Tambahan: Para Perawi Hadits Terpercaya Pun Ada yang Sufi
Berikut
akan saya tampilkan para sufi yang juga menjadi perawi hadits, yang
dipercaya oleh para imam kaum muslimin. Ini menunjukkan bahwa para imam
tidak menyamaratakan semua sufi adalah terdakwa dan layak dituntut
kesalahannya dengan vonis sesat. Sikap muwazanah (keseimbangan) para imam ini layak ditiru. Selain memang, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bersikap adil dan seimbang.
Tentu
tidak akan semua saya tampilkan, hanya beberapa saja sesuai kebutuhan
yang semoga bisa mewakili persepsi kita agar bisa lebih adil dan bijak
dalam menilai mereka. Berikut ini nama-nama sufi yang juga perawi hadits
terpercaya.
1. Ahmad bin al-Hasan bin Abdil Jabbar ash-Shufi
Dia seorang terkenal, dan ditsiqahkan
oleh ad-Dariquthni. Al-Khathib mengatakan, beliau mendengarkan hadits
dari Ali binal-Ja’di, Abu Nashr at-Tamar, Yahya bin Ma’in, Abu ar-Rabi’
az-Zahrani, Suwaid bin Sa’id, dan dari orang segenerasi dengan mereka.
Dan yang mendengar darinya adalah Abu Suhail bin Ziyad, al-Ja’abi, Ibnu
al-Ziyat, dan Ibnu al-Muzhafar. (al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, Lisanul Mizan, 1/151, Lihat juga Mizanul I’tidal No. 335)
2. Ahmad bin Al Hasan ash-Shufi ash-Shaghir
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Dia tsiqah,
Insya Allah. Sebagian ada yang melemahkannya. Dia meriwayatkan hadits
dari Ibrahim at-Tarjamani. Sedangkan Abu Hafsh bin Ziyat dan jamaah
mengambil hadits darinya.” (Ibid, 1/155)
3. Sa’id bin Abi Sa’id al-‘Iyar ash- Shufi
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata, “Dia jujur, Insya Allah, dan terkenal. Abu Shalih
al-Mu’adzdzin membicarakan sebagian apa yang didengarkannya, dan mencela
apa-apa yang didengarnya khususnya yang didengar dari Bisyr bin Ahmad
al-Isfiraini.” (Ibid, 3/30)
4. Al-Hafzih al-‘Alim az-Zahid Abu Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdillah bin Hafsh al-Anshari al-Harawi ash-Shufi
Demikianlah Imam as-Suyuthi menulis namanya. Dia seorang tsiqah dan mutqin dan termasuk Kibarus Shufiyah (shufi besar/senior). Ibnu Adi, Ibnu Najid, dan Abu asy-Syaikh mendengar darinya. (Imam as-Suyuthi, Thabaqat al-Huffazh, Hal. 84)
5. ‘Athiyah bin Sa’id Abu Muhammad al-Andalusi ash-Shufi
Dia dijuliki al-Hafizh al-‘Allamah Syaikhul Islam, oleh Imam as-Suyuthi. Dia mempelajari al-Quran dari jamaah (Ahlul Qurra, pen),
dan melakukan perjalanan untuk mencatat hadits. Dia adalah seorang yang
zuhud dan wara’ dalam keadaannya itu. Jika dia berbicara tentang rijal hadits, maka pendengarnya akan takjub kepadanya. Wafat di Mekkah tahun 408 H. (Ibid, Hal. 85)
6. Abu Ya’qub Yusuf bin Ahmad bin Ibrahim ash-Shufi
Imam as-Suyuthi juga menyebutnya dengan al- Imam al-Hafizh, lahir 529H, seorang Syaikh Sufi pengarang al-Arba’in al-Buldaniyah. Dia seorang terjaga hafalannya dan melakuakn perjalan panjang untuk mencari hadits. (Ibid, Hal. 99)
7. Zainuddin Abu al-Fath Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakr ash-Shufi asy-Syafi’i
Imam as-Suyuthi menyebutnya dengan al-Imam al-Muhaddits al-Hafzih al-Mufid. Lahir 601 H. Dia mencari hadits ketika kahlan (berusia
lebih dari 30-50 tahun). Dia mendengarkan hadits dari as-Sakhawi dan
adh-Dhiya’ al- Hafizh. Dia seorang ahli agama dan kebaikan. (Ibid, Hal. 107)
8. Muhammad bin Shalih bin Abdirrahman al-Baghdadi Abu Bakr al-Anmathi ash-Shufi
Dia seorang al-Hafizh, dikenal dengan nama Kilajah. Abu Daud mengatakan, “Dia Shaduq (jujur).” An-Nasa’i mengatakan: tsiqah. Ad-Daruquthni juga mengatakan demikian. (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 9, Hal. 201)
Kami kira ini sudah cukup. Sekian. Wallahu A’lam.
—
Catatan Kaki:
[1]
Saya pernah mendengar ada seorang ‘Ustadz’ berceramah tentang
kesesatan Ikhwanul Muslimin yang saya peroleh dari internet. Si ‘ustadz’
itu mempelesetkan nasyid: Inna Lil Ikhwani Sharhan Kullu maa fiihi Hasan Laa tas’alni man banaahu innahu banna Al Hasan … (Sesungguhnya
bagi Ikhwan adalah istana. Segala apa yang ada di dalamnya adalah baik.
Jangan kau tanya aku siapa yang membangunnya? Sesungguhnya yang
membangun adalah Hasan …) menjadi: Inna Lil Ikhwani Bid’an Kullu Maa fiihi Dukhan Laa tas’alni man banaahu innahu shufiyun Hasan … (Sesungguhnya
bagi Ikhwan adalah Bid’ah. Semua apa-apa yang ada di dalamnya adalah
asap. Jangan tanya aku siapa yang membangunnya, yang membangunnya adalah
sufi bernama Hasan …).
Wallahul Musta’an!
sumber disini
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..