Oleh: Akmal Sjafril
Bulan Ramadhan adalah bulan teristimewa dalam kalender Hijriyyah.
Betapa tidak, hanya dalam bulan itulah diwajibkan suatu ibadah selama
sebulan penuh. Kemuliaan Ramadhan tidak terbatas hanya pada saat
pelaksanaan ibadah shaum (yaitu dari Subuh hingga Maghrib),
tapi juga pada keseluruhan malam harinya. Pendeknya, setiap detik dalam
bulan Ramadhan adalah waktu yang sangat istimewa.
Batasan-batasan ibadah shaum cukup sederhana untuk dipahami
oleh siapa saja. Waktunya dimulai sejak adzan Subuh hingga datangnya
waktu Maghrib. Di antara keduanya, seorang Muslim tidak boleh makan,
minum dan berhubungan suami-istri. Dosa-dosa seperti menggunjing,
mencuri, melukai orang lain dan sebagainya tidaklah membatalkan shaum, namun ada kemungkinan menjadikannya tak bernilai.
Perlu dicatat bahwa tiga hal yang membatalkan puasa di atas adalah
perbuatan yang seratus persen halal. Maka, jika tiga perbuatan yang
halal itu saja diharamkan selama shaum, tentu saja yang haram harus semakin dijauhi. Tidak heran jika umat Muslim yang melaksanakan shaum juga menyempurnakan ibadahnya dengan menjauhi hal-hal yang makruh, mengurangi hal-hal yang mubah demi menghindari efek sampingnya (yaitu membuat kita lalai), menambah ibadah-ibadah yang sunnah dan menyempurnakan ibadah yang fardhu.
Meski yang membatalkan puasa hanya sedikit saja, namun shaum
menuntut pengendalian total atas jiwa, akal dan fisik para pelakunya.
Oleh karena itu, mulut bukan hanya mencegah masuknya makanan dan
minuman, tapi juga menahan lontaran kata-kata yang tidak bermanfaat,
apalagi yang bathil. Begitu pentingnya pengendalian diri ini,
sampai-sampai Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk menolak
tantangan orang yang ingin memancing keributan di bulan Ramadhan dengan
kata-kata: “Sesungguhnya saya sedang shaum”.
Selama melaksanakan ibadah shaum Ramadhan, rutinitas hidup
tentu tak mungkin ditinggalkan selama sebulan penuh. Dengan perut yang
kosong, setiap Muslim dituntut untuk tetap produktif, baik dalam hal
mencari nafkah dan juga dalam ibadah-ibadah lainnya. Justru, dalam
momentum Ramadhan, orang biasa meningkatkan tempo ibadah mahdhah-nya.
Malam harinya, setelah berbuka, bukanlah waktu untuk bermalas-malasan. Sebaliknya, ada pula ibadah sunnah yang disebut Tarawih atau Qiyamur-Ramadhan (menghidupkan malam di bulan Ramadhan). Shalat Tarawih,
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw, tidak mesti dilaksanakan
di Masjid atau berjama’ah, melainkan boleh dilakukan sendiri-sendiri di
rumah. Ada yang melaksanakan Tarawih sebanyak 8 rakaat, 20
rakaat, 36 rakaat, bahkan yang lebih dari itu pun ada. Para ulama –
termasuk Imam Syafi’i dan Ibn Taymiyyah – berpendapat bahwa variasi
rakaat ini bukanlah masalah, dan perbedaan jumlah rakaat nampaknya
disesuaikan dengan panjang bacaan ketika berdiri; jika bacaannya
panjang-panjang, maka jumlah rakaat tidak lebih dari 8, dan jika
bacaannya pendek-pendek, jumlah rakaat boleh ditambah (lihat buku Fiqih Puasa karya Syaikh Yusuf al-Qaradhawi). Yang jelas, malam hari di bulan Ramadhan tidak kalah sibuk dengan siang harinya.
Efektivitas dalam Shaum
Shaum Ramadhan menuntut efektivitas hidup yang sangat tinggi. Bangun lebih pagi untuk sahur, beribadah wajib seperti biasa, mencari nafkah seperti biasa, beribadah sunnah
dengan dosis lebih tinggi, menghindari segala hal yang tidak bermanfaat
dan menggantinya dengan hal-hal yang bermanfaat, dan kemudian memenuhi
malam dengan ibadah yang panjang. Waktu harus diatur, gizi harus
diperhatikan, agenda harus dirapikan, bahkan napas pun harus dihemat. Di
Jakarta, misalnya, jalan-jalan di siang hari di bulan Ramadhan
cenderung lebih lengang, sebab orang yang melaksanakan shaum tak mau keluar di bawah terik matahari kalau tidak benar-benar ada keperluan. Semuanya berusaha untuk serba efektif.
Jika kita bercermin pada generasi sahabat Rasulullah saw, maka efektivitas itu akan semakin terlihat jelas. Sebelum perintah shaum Ramadhan diturunkan, umat Muslim baru saja melaksanakan hijrah ke Yatsrib (Madinah). Beratnya perintah hijrah
bukan hanya dikarenakan medan yang sulit, tapi juga karena banyak di
antara kaum Muhajirin yang terpaksa meninggalkan sebagian atau bahkan
seluruh hartanya di Mekkah demi hidup bersama Allah dan Rasul-Nya di
negeri yang lebih kondusif.
Singkat kata, banyak sahabat Nabi saw yang tadinya hidup berkecukupan
– bahkan saudagar kaya – namun tiba di Madinah dalam keadaan miskin.
Para sahabat yang kaya raya seperti ‘Utsman ibn al-‘Affan ra dan
‘Abdurrahman ibn al-‘Auf ra juga demikian. Meskipun kaum Anshar menerima
mereka dengan tangan terbuka dan siap berbagi dalam hal apa pun dengan
saudara-saudaranya yang baru datang, tetap saja kondisi mereka tidak
sama persis seperti keadaannya di Mekkah dahulu.
Bisa dibayangkan betapa fokusnya kehidupan para sahabat Nabi saw
ketika baru menetap di Madinah dahulu. Tidak ada waktu untuk
bersantai-santai, sebab mereka semua punya keluarga yang harus
dinafkahi. Sementara harta benda banyak yang terpaksa ditinggal di
Mekkah, mereka harus banting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya
masing-masing. Pada masa-masa itu, tentu saja, tidak ada yang hidup
dengan berongkang-ongkang kaki.
Di tengah-tengah keadaan seperti itulah mereka melaksanakan shaum. Sementara pikiran fokus dengan usaha-usaha memperbaiki kehidupan di negeri yang baru, datanglah perintah untuk melaksanakan shaum
selama sebulan penuh yang menuntut pemfokusan pikiran untuk ibadah.
Waktu yang hanya 24 jam sehari pun semakin sedikit yang bisa
disia-siakan.
Dalam kondisi menegakkan kehidupan di Madinah, dan ketika menjalankan ibadah shaum Ramadhan, turunlah kewajiban jihad. Perang Badar, yang dikenang sebagai peristiwa jihad yang paling monumental dalam sejarah Islam, justru ditakdirkan Allah SWT untuk terjadi pada bulan Ramadhan.
Fakta sejarah ini senantiasa mengundang decak kekaguman. Betapa luar
biasa hebatnya generasi sahabat Rasulullah saw. Mereka sudah diuji
keikhlasannya dengan perintah hijrah, hidup susah di Madinah dengan segala proses adaptasinya, kemudian saat tengah melaksanakan shaum,
mereka diuji lagi dengan Perang Badar yang begitu dahsyat. Dalam
peperangan melawan musuh yang jumlahnya tiga kali lipat itu, di
pertengahan bulan Ramadhan, kaum Muslimin mampu keluar sebagai pemenang.
Kesalahpahaman
Sementara kekaguman kepada Nabi saw dan para sahabatnya dalam Perang
Badar ini wajar belaka, dan tanpa melupakan besarnya pertolongan Allah
SWT (yaitu dengan menerjunkan pasukan malaikat untuk melawan musuh),
kita perlu mencermati secara teliti sebab-sebab kemenangan kaum Muslimin
yang begitu gemilang dalam perang ini. Bisa jadi, kekaguman kita lahir
bersama tendensi yang keliru; kita mengagumi kemenangan di Perang Badar
karena anggapan bahwa tubuh menjadi lemah dan kinerja berkurang lantaran
shaum. Jika demikian, maka kemenangan di Perang Badar
sepenuhnya keajaiban semata. Padahal, meski dengan adanya faktor
pertolongan Allah sekalipun, niscaya ada sebab-sebab yang
melatarbelakangi turunnya pertolongan tersebut. Bukankah Allah takkan
mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu berusaha mengubah nasibnya
sendiri?
Dari perspektif yang menolak sama sekali faktor ‘keajaiban’ dan ‘kebetulan’, kita perlu memikirkan hubungan antara shaum dengan kemenangan di Perang Badar tersebut. Bisa jadi, justru shaum itulah yang memberikan kemenangan yang gemilang, dan bukannya malah menambah kesulitan kaum Muslimin untuk menghadapi lawan.
Agaknya, pemikiran bahwa shaum akan melemahkan kaum Muslimin perlu dikoreksi total. Sebab, jika kita kembali menilik dari segi efektivitas, justru shaum itu meningkatkan kinerja, bukan menurunkannya. Dalam keadaan shaum, segalanya diperhitungkan, segalanya penuh efektivitas. Orang tidak mau buang-buang tenaga di waktu shaum.
Terlebih lagi orang-orang saleh, mereka takkan sudi melakukan hal-hal
yang tidak bermanfaat, membuang-buang waktu dan energi di saat
melaksanakan shaum. Hidup harus serbahemat di kala shaum;
hemat waktu, hemat energi. Memang perut kosong seharian, tapi pekerjaan
fisik dalam keadaan demikian justru lebih terasa ringan daripada dalam
keadaan perut kenyang, apalagi perang.
Pasukan mana yang lebih kuat daripada pasukan yang serbaefektif?
Tentara mana yang lebih berbahaya daripada tentara yang pikirannya
terfokus pada satu tujuan dan selama berhari-hari (bahkan sampai sebulan
penuh) menghindarkan dirinya dari pikiran-pikiran yang tak bermanfaat?
Mereka memang tidak makan dan minum, dan sebagian energinya dihabiskan
untuk beribadah, namun justru karena itulah batin mereka terfokuskan
sepenuhnya pada Allah dan kehidupan akhirat. Mereka terjun ke medan jihad dalam keadaan lupa dengan kenikmatan harta, lupa dengan dunia, dan terus memikirkan jannah
yang jauh lebih baik daripada dunia seisinya. Prajurit mana yang lebih
menakutkan daripada mereka yang berperang untuk menyongsong gelar syuhada?
Maka, bukannya menyulitkan, shaum justru memudahkan kaum Muslimin untuk meraih kemenangan. Bahkan tidaklah keliru jika kita mengatakan bahwa shaum adalah prasyarat dari kemenangan kaum Muslimin di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, lantaran shaum
itulah yang melatih akal, jiwa dan fisik manusia untuk tetap fokus.
Dengan demikian, kemenangan di Perang Badar, dan kemenangan-kemenangan
lainnya di bulan Ramadhan, bukanlah keajaiban yang terjadi
sekonyong-konyong tanpa sebab, melainkan justru berkaitan erat dengan
berkahdari shaum yang dilaksanakan oleh kaum Muslimin itu sendiri.
Penyimpangan
Sungguh ironis jika kaum Muslimin di masa kini mengidentikkan shaum
dengan tubuh lemas, berkurangnya kinerja dan bertambah-tambahnya
alasan. Hal yang demikian terjadi karena pemahaman yang tidak
komprehensif, minimal dalam dua hal. Pertama, pemahaman parsial tentang shaum, yaitu mereduksi keseluruhan ibadah shaum (atau lebih tepatnya ibadah di bulan Ramadhan) dengan semata-mata mengosongkan perut, sehingga shaum dijadikan ‘tertuduh’ atas melemahnya badan. Pemahaman ini mengabaikan sepenuhnya pengkondisian akal dan jiwa ketika shaum dan peningkatan efektivitas yang telah dibahas sebelumnya.
Pemahaman parsial yang kedua adalah karena kaum Muslimin
melupakan fakta bahwa kegiatan mencari nafkah dan ilmu adalah juga
ibadah di jalan Allah. Oleh karena itu, produktivitas kita dalam
rutinitas sehari-hari tidak semestinya berkurang di bulan Ramadhan. Yang
mesti dikurangi adalah hal-hal yang haram, makruh dan mubah. Adapun yang sunnah dan wajib justru harus ditambah, bahkan semestinya peningkatan kinerja sudah dimulai sejak bulan Rajab dan Sya’ban.
Jika pemikiran seputar shaum hanya terbatas pada masalah
perut, maka tidaklah mengherankan jika kaum Muslimin masa kini tidak
mampu mencetak prestasi seperti generasi sahabat Nabi saw di Perang
Badar. Di jaman sekarang ini, pemfokusan pikiran di bulan Ramadhan
memang luar biasa menantang. Ramadhan kita penuh dengan diskon dan
promosi dari produk-produk konsumtif, jadwal liburan yang hendak diisi
dengan bersenang-senang, mudik yang seolah menjadi keharusan, dan
pakaian serbabaru yang ketiadaannya seolah mencoreng kesempurnaan Idul
Fitri kita. Padahal, Rasulullah saw sudah bersiap menyambut Ramadhan
sejak bulan Rajab, menambah ibadah di bulan Sya’ban, ‘tancap gas’ di
bulan Ramadhan, dan bahkan melupakan urusan dunia di sepuluh hari
terakhir dengan i’tikaf. Sebaliknya, kaum Muslimin masa kini
melupakan Rajab, melalaikan Sya’ban, agak semangat beribadah di awal
Ramadhan, namun memikirkan liburan di pertengahannya, dan tenggelam
dalam kesibukan berbelanja di bagian akhirnya.
Sementara itu, ada juga pihak-pihak lain yang mengobarkan ghazwul fikri untuk merusak pemahaman kaum Muslimin terhadap ibadah shaum
Ramadhan. Salah satu modus operandi yang kini sering digunakan adalah
dengan menjelaskan bahwa umat Muslim berpuasa sebagaimana umat-umat
lainnya pun berpuasa. Padahal, shaum-nya umat Muslim jelas
sangat berbeda dengan puasanya umat beragama lainnya. Bahkan Ulil Abshar
Abdalla, salah satu pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL), menganjurkan
agar kita tidak lagi mengucapkan “shaum”, tapi menggantinya
dengan “puasa”, sebab (menurut anggapannya) puasa itu universal, alias
ada di setiap agama. Pemahaman semacam ini hanya sepelemparan batu saja
jaraknya dari paham pluralisme yang menganggap semua agama sama dan
semua agama benar.
Abd. Moqsith Ghazali, rekan Ulil yang juga senior di JIL, punya pemahaman yang tidak kalah nyeleneh. Dalam artikel “Khadijah Tak Berpuasa Ramadan”, Moqsith menjelaskan bahwa Khadijah ra wafat dalam keadaan tidak pernah melaksanakan shaum
Ramadhan. Dengan gampangnya, Moqsith menyimpulkan bahwa Allah SWT pasti
menerima Khadijah ra sebagai perempuan salehah, meski beliau tak pernah
shaum Ramadhan, karena Allah SWT itu inklusif; Allah mau menerima mereka yang shaum dan yang tidak. Tentu saja, pendapat ini konyol belaka. Sebab, Khadijah ra tidak pernah shaum
Ramadhan tidak lain karena semasa hidupnya ibadah ini belum
disyariatkan. Adapun sekarang, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk
tidak melaksanakannya. Siapa pun yang meninggalkannya dengan sengaja
tanpa udzur niscaya rusaklah Rukun Islam-nya.
sumber klik
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..