Oleh: Hepi Andi Bastoni
Usai Perang Jamal, Ali
bin Abi Thalib kembali ke Kufah untuk mempersiapkan pasukan guna menghadapi
tantangan Muawiyah bin Abu Sufyan dari Syam. Kemenangan Ali pada Perang Jamal, menyebabkan
penduduk Irak, Iran dan Khurasan menyatakan berdiri sepenuhnya di belakang sang
Khalifah.
Apalagi sejak awal,
masyarakat umum di tanah Irak dan Iran, mempunyai pandangan simpatik terhadap
Ali bin Abi Thalib atas sikapnya pada masa pemerintahan Khalifah Umar terhadap
tiga putri Kaisar Yezdegrid III, yang tertawan waktu penaklukan Madain. Mereka
menaruh hormat pada keturunan Ali, terutama pada Husain, perpaduan dari turunan
Kaisar Imperium Persia dengan darah turunan Nabi Muhammad saw.
Balabantuan datang dari
Azarbaijin, Iran dan Khurasan. Pada bagian Barat, Muhammad bin Abu Bakar yang
telah kembali ke Mesir sehabis mengantarkan saudaranya Aisyah ke Madinah,
mempersiapkan pula pasukan untuk menghadapi tantangan dari Syam. Dengan
demikian, kedudukan Muawiyah di Syam, terkepung dari segala penjuru.
Namun mempersiapkan
pasukan demikian besar memakan waktu tidak sedikit. Ali harus menunggu mereka
dari jarak-jarak jauh. Pasukan itu juga harus mempersiapkan perlengkapan dan
perbekalan dalam kurun waktu yang panjang.
Pada Syawal 36 H/657 M,
Khalifah Ali mengirimkan utusan ke Damaskus di bawah pimpinan panglima Jurair
bin Abdillah al-Bajili. Ia membawa suatu tuntutan kepada Muawiyah berisikan
salah satu di antara dua pilihan: mengangkat
baiat terhadap Khalifah Ali atau meletakkan jabatan sebagai Gubernur Syam.
Muawiyah bin Abu Sufyan
sengaja mengulur-ngulur waktu untuk memberikan jawaban yang terakhir. Sementara
itu, ia sengaja ingin memberikan kesempatan kepada utusan itu menyaksikan
suasana di Syam.
Muawiyah bin Abu Sufyan
menyadari sepenuhnya bahwa Amr bin Ash tidak senang terhadap Khalifah Utsman.
Karena itu ia tidak memilih salah satu pihak dalam sengketa yang tengah
memuncak kala itu. Namun Muawiyah mempunyai jalan untuk memancing cendikiawan
Arab besar itu untuk berdiri di pihaknya. Di sinilah kekalahan strategi politik
Ali bin Abi Thalib. Sebab, dia memang seorang militer, bukan seorang negarawan
atau politikus. Tersisa kita melihat ‘pertarungan’ politik antara dua jawara
Arab: Muawiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash. Kita tahu, jauh sebelum masuk
Islam, dua tokoh ini benar-benar diandalkan oleh Quraisy.
Muawiyah mengirim utusan
ke Palestina menjemput Amr bin Ash, membawa sepucuk surat. Ahmad al-Yaakubi
(wafat 248 H/897 M) dalam Tarikh al
Yaakubi jilid I halaman 315 mengabadikan surat Muawiyah bin Abu Sufyan yang
berbunyi, “...Adapun kemudian, mengenai peristiwa Ali, Thalhah dan Zubair,
niscaya Anda telah mengetahuinya. Ali mengirim Jurair bin Abdillah menjumpaiku
supaya mengangkat baiat. Saya menahan diri menunggu kedatangan Anda. Sudilah
datang atas lindungan Allah Maha Tinggi.”
Amr bin Ash, dari kediamannya
di Palestina, secara diam-diam terus mengikuti perkembangan politik aktual saat
itu. Sekalipun dia sudah menyatakan bersikap non-aktif tapi dia bukan seorang
yang bisa tenteram dengan sikap berdiamkan diri. Dalam dirinya mengalir darah
militer, politikus, diplomat dan negarawan yang sangat tercatat dalam sejarah.
Surat Muawiyah datang
mengundangnya ke Damaskus. Dia bukan seorang yang bisa buru-buru menentukan
sikap. Sejak lama ia melakukan penilaian. Menurutnya, Muawiyah telah
menancapkan kukunya di wilayah Syam. Kebijakan pemerintahannya selama ini,
membangkitkan simpati penduduk Syam. Bahkan, mereka rela berkorban untuknya.
Di satu sisi, Khalifah
Ali didukung berbagai kekuatan heterogen, dengan simpang-siur pendapat di
dalamnya. Berjumlah besar memang, tapi tidak memperlihatkan keutuhan.
Menurutnya, sekalipun tampaknya pihak Muawiyah berada dalam keadaan terkepung,
tapi pada hakikatnya berada pada pihak yang unggul. Dalam kondisi demikian, Amr
bin Ash meminta pendapat kedua putranya: Abdullah
bin Amr dan Muhammad bin Amr.
Sejarah mencatat jawaban
putranya yang tertua, Abdullah bin Amr yang berbunyi, “Wahai ayahku, Rasulullah
saw wafat, ia merasa puas denganmu. Abu Bakar dan Umar wafat, keduanya merasa
puas. Jangan agama dirusakkan oleh duniawi yang sekejap yang akan ditawarkan Muawiyah...”
Abdullah
bin Amr (wafat 65
H\685 M) itu, demikian Dr Muhammad Khudri Beik dalam Tarikhut Tasyri’il-Islami[1]
menyebutkan, ia tokoh besar pada masa belakangan di kalangan Fuqaha Amshar. Ia
seorang tokoh yang lebih mengutamakan agamawi daripada duniawi.[2]
Pendapat
putranya yang termuda, Muhammad bin Amr, jauh berbeda dengan pendapat Abdullah
bin Amr. Ia memandang undangan Muawiyah itu sebagai kesempatan terbaik bagi
ayahnya untuk tawar menawar. Hal itu disebabkan Muhammad bin Amr seperti juga
ayahnya, adalah seorang militer dan politikus.
Amr menuruti saran putra
termudanya. Ia berangkat menuju Damaskus. Berlangsung perundingan antara
Muawiyah dengan Amr. Muawiyah memaparkan duduk situasi selengkapnya dan meminta
Amr bin Ash berdiri di pihaknya. Tarikh al-Yaakubi
mencatat jawaban Amr saat itu, “Tidak, demi Allah. Aku tidak akan menyerahkan
agamaku kepadamu sampai aku beroleh ketentuan tentang duniamu!”
Muawiyah menyatakan,
target akhir baginya ialah jabatan khilafah. Muawiyah ingin menjadi khalifah!
Itulah target Muawiyah yang ia kemukakan kepada Amr. Ia pun mengikrarkan janji,
jika menang dalam sengketa ini, kedudukan Amr bin Ash akan dipulihkan kembali
untuk menjabat gubernur Mesir dan Tripoli.
Janji yang diikrarkan itu
diterima baik oleh Amr. Jawaban terakhir lantas diberikan kepada Panglima
Jurair bin Abdillah al-Bajili, utusan pihak Khalifah Ali, bahwa Muawiyah bin
Sufyan menolak semua pilihan itu dan akan menyelesaikan sengketa melalui
pedang!
Atas saran Amr bin Ash,
sejak itu Muawiyah mengumumkan dirinya sebagai khalifah, dengan panggilan
Khalifah Muawiyah. Alasannya, Ali bin Abi Thalib dianggap tidak memenuhi dan
tidak menjalankan tugasnya sebagai khalifah dalam menegakkan hukum sepanjang
syariat Islam. Sejarah mencatat bahwa baiat berlangsung di seluruh wilayah Syam
dan Palestina.
Dengan mengumumkan diri
sebagai khalifah, menurut tilikan Amr bin Ash, perjuangan sebenarnya baru mempunyai
landasan kuat. Ia belajar banyak dari Zubair, Thalhah dan Aisyah saat menentang
Ali bin Abi Thalib. Jika dalam melakukan perlawanan, Muawiyah masih dalam
posisi sebagai gubernur Syam, maka dia akan dicap perusuh terhadap pemerintahan
yang sah. Ia akan dianggap pemberontak yang harus dibasmi.
Demikianlah, dua tokoh
politik berpadu, menyatukan strategi, berkoalisi dengan perjanjian yang telah
disepakati, untuk mewujudkan ijtihad mereka secara bersama. Bagaimana tanggapan
pihak Khalifah Ali bin Abi Thalib mendapatkan surat keputusan Muawiyah bin Abi
Sufyan? Nantikan tulisan berikutnya, insya Allah.
[2] Untuk lebih jelas tentang sosok Abdullah
bin Amr bin Ash ini, silakan rujuk buku 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi
Bastoni, Pustaka al-Kautsar, Cetakan Pertama September 2002 halaman 19-26.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..