ilustrasi mayat © rimanews.com |
Hajjaj adalah panglima perang paling
kejam dari Bani Umayyah. Ia telah membunuh 120 ribu nyawa. Tetapi kali
ini, ia ingin mengeksekusi seorang ulama besar tabi’in yang terkenal
zuhud dan tak takut mati. Sa’id bin Jabir.
Hajjaj tidak mau langsung membunuh
Sa’id. Ia ingin merekayasa sebuah persidangan yang bisa membuktikan
bahwa Sa’id bersalah dan karenanya harus dieksekusi. Sebelumnya, Sa’id
bersama sejumlah ulama terlibat pemberontakan atas kezaliman Hajjaj.
Pemberontakan itu kemudian dipatahkan Hajjaj dengan cara-caranya yang
licik, lalu tokoh-tokohnya ditangkap.
“Siapa namamu?” pertanyaan pertama terlontar dari mulut Hajjaj di depan persidangan hari itu.
“Sa’id bin Jubair”
“Tidak. Namamu adalah Syaqiy bin
Kusair,” timpal Hajjaj bermaksud merendahkannya. Syaqiy bin Kusair
artinya adalah orang celaka anak orang yang rusak. Maknanya adalah
kebalikan dari Sa’id bin Jubair yang berarti orang bahagia putra orang
yang membetulkan hal-hal rusak.
“Ayahku tentu lebih tahu namaku daripada
dirimu,” jawaban tenang Sa’id bin Jubair ini membuat kondisi Hajjaj
terbalik. Bukannya merasa berhasil merendahkan, ia malah terasa disindir
bodoh.
“Kamu celaka, ayahmu juga celaka,” Hajjaj mulai gusar.
“Hal yang belum terjadi tak mungkin
engkau mengetahui. Sebab hanya Allah yang Maha Mengetahui,” jawab Sa’id
bin Jubair. Lagi-lagi, Hajjaj semakin tersulut emosinya.
“Kalau begitu, aku akan mengganti siksaan untukmu dengan api yang berkobar-kobar” ancamnya.
“Seandainya aku percaya bahwa api itu
milikmu, tentu aku tidak akan menyembah tuhan selainmu” serangan
emosional kalimat demi kalimat terus dipatahkan Sa’id bin Jubair.
Sebaliknya, Hajjaj semakin marah dan gusar. Ia mencari cara bagaimana
agar Sa’id bisa dijebak dengan pertanyaan yang kontroversial.
“Apa yang kau ketahui tentang Muhammad?”
pertanyaan ini sebenarnya tidak pantas ditujukan kepada ulama tabi’in
sekaliber Sa’id. Tetapi Sa’id tetap menjawabnya dengan tenang, sementara
Hajjaj merencanakan pertanyaan berikutnya setelah pertanyaan ini
terjawab.
“Muhammad adalah Rasulullah, Nabi pembawa rahmat bagi seluruh alam”
“Bagaimana pendapatmu tentang Ali,
apakah ia masuk surga atau masuk neraka?” Hajjaj adalah panglima perang
yang tunduk pada para khalifah Bani Marwan, bagian dari kekhilafahan
Bani Umayyah. Di zaman itu, sosok Ali adalah fenomena tersendiri yang
menjadi diskusi kontroversial bagi penguasa dan rakyatnya. Hajjaj
berharap Sa’id terjebak dengan pertanyaan ini dan kemudian ia segera
bisa dieksekusi. Namun, ia sangat marah dengan jawaban yang membuatnya
kalah telak.
“Jika engkau masuk surga, pasti engkau
akan tahu siapa saja orang-orang yang masuk surga” jawab Sa’id, membuat
darah Hajjaj makin mendidih.
“Bagaimana pendapatmu tentang para khalifah?” Kini Hajjaj berharap Sa’id tidak bisa lari dari pertanyaan ini.
“Aku tidak berwenang menilai mereka,”
lagi-lagi jawaban Sa’id adalah jawaban yang diplomatis. Dan ini makin
membuat Hajjaj geram sekaligus mati langkah. Tanya jawab di pengadilan
itu terus berlangsung hingga beberapa lama. Hingga akhirnya, meskipun
tidak ada kesimpulan tegas bahwa Sa’id bersalah, Hajjaj tetap
mengeksekusinya.
“Pilih cara pembunuhan apa yang kamu inginkan dariku?” pertanyaan pamungkas itu akhirnya keluar dari mulut Hajjaj.
“Justru engkaulah yang harus memilih
untuk dirimu sendiri wahai musuh Allah. Demi Allah, jika engkau hari ini
membunuhku dengan suatu cara, aku akan membunuhmu dengan cara yang sama
di akhirat nanti”
Ulama yang mulia ini kemudian digiring
ke tempat eksekusi. Di sana ia disembelih. Namun sebelum ia menghadap
Allah, ia sempat berdoa: “Ya Allah, Jangan berikan kesempatan kepada
Hajjaj untuk menghukum seorangpun setelah kematianku.”
Doa itu menggetarkan langit. Langsung
diijabah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak lama kemudian, Hajjaj
dihantui ketakutan. Ia sering mengigau. Tidurnya tak bisa lelap. Seperti
ada Sa’id yang mencengkeram tenggorokannya. Dan ketika ia terjaga, ia
terngiang-ngiang nama Sa’id. Hajjaj sudah seperti orang gila. Hajjaj
jadi sering berteriak-teriak: “Wahai orang-orang, ada apa dengan Sa’id
bin Jubair? Mengapa setiap kali aku akan tidur, Sa’id mencengkeram
tenggorokanku?”
Akhirnya, lima belas hari setelah
wafatnya Sa’id, Hajjaj pun meninggal. Meninggal dalam kondisi terhina.
Meninggal seperti meninggalnya orang gila.
[Tim Redaksi Kisahikmah.com]
*Disarikan dari buku Al Ulama’ fii Wajhit Tughyan (Bukan Ulama Biasa) karya Prof. Dr. Muhammad Rajab Al Bayyumi
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..