Pilpres sebentar lagi, itu artinya akan ada perhelatan
akbar di negeri ini untuk menentukan siapa yang kelak menahkodai
Indonesia, khususnya umat islam yang merupakan umat mayoritas di negeri
ini. Tahun ini, hanya ada dua kandidat pasangan capres dan cawapres.
Masing-masing dari pasangan tersebut memiliki basis massa yang
berbeda-beda. Prabowo-Hatta dengan koalisi merah putihnya, didominasi
oleh partai yang berlatar belakang “partai islam”. Sedangkan Jokowi-JK,
didukung oleh partai nasionalis berbasis sekuler, walaupun ada juga satu
partai yang katanya berbasis islam yang memberikan dukungannya kepada
pasangan Jokowi-JK.
Pada kedua pasangan capres dan cawapres tersebutlah,
rakyat Indonesia menaruh harapan. Rakyat berharap, siapapun pemimpinnya,
yang penting mampu memberikan rasa aman, kesejahteraan, serta keadilan
kepada mereka.
Pertanyaannya, mungkinkah hal itu dapat terwujud ? Kita lihat saja nanti.
Ah, mungkin masih terasa dalam ingatan kita tentang satu
nama seorang pemimpin umat, yang pada masa pemerintahannya tak ditemukan
kemiskinan. Bahkan, penjara pun sepi dari para pelaku tindak kejahatan.
Dialah Umar bin Abdul Aziz.
Seorang pemimpin dari kalangan Bani Umayyah. Beliau adalah
pemimpin yang menebarkan keadilan, memberikan rasa aman, serta mampu
mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya.
***
Kala itu, ketika dirinya baru saja dilantik menjadi
khalifah, datanglah sejumlah pengawal dengan membawakan kendaraan khusus
untuk khalifah. Ketika kendaraan itu sudah tiba dihadapan, sang halifah
justru berpaling darinya, dan lebih memilih untuk menaiki kendaraannya
yang lama. Al Hakam bin Umar berkata “ Saya menyaksikan orang-orang yang
datang dengan kendaraan khusus kepada Umar bin Abdul Aziz saat dia
diangkat menjadi khalifah. namun dia justru berkata “kirim
kendaraan-kendaraan itu ke pasar, dan juallah, kemudian hasil dri
penjualannya simpanlah di baitul mal. Aku, cukup naik kendaraanku ini
saja”.
Umar bin Abdul Aziz merupakan pemimpin yang takut kepada
Tuhannya. Saking takutnya terhadap Sang Maha Khaliq, dia senantiasa
menitikan air mata disepanjang harinya. Beliau mengkhawatirkan tentang
kepemimpinannya. Beliau khawatir, jika ada sebagian dari rakyatnya yang
merasakan ketidakadilan karena kepemimpinannya.
Fathimah, istri Umar bin Abdul Aziz pernah menemui
suaminya dalam keadaan menangis, hingga airmatanya berlinang membasahi
janggutnya. Umar bin Abdul Aziz berkata kepada istrinya, “Wahai
Fathimah, sesungguhnya saya memikul beban umat Muhammad dari yang hitam
sampai yang merah. Dan saya memikirkan persoalan orang-orang fakir dan
kelaparan, orang yang sakit dan telantar, orang yang tidak punya pakaian
dan orang yang tersisihkan, yang teraniaya dan yang terintimidasi, yang
terasing dan yang ditawan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki
banyak kerabat, namun hartanya sedikit, dan orang-orang yang serupa
dengan itu di seluruh pelosok negeri. Saya sadar dan tahu, bahwa Tuhanku
akan menanyakan kelak di Hari kiamat. Saya khawatir, saat itu saya
tidak memiliki alasan buat Tuhanku. Maka, menangislah saya”
Begitulah, ketika pemimpin suatu negeri mendahulukan rasa
takut kepada Tuhannya, maka disaat yang bersamaan, dia pun akan selalu
berusaha memenuhi amanahnya kepada rakyat yang dipimpinnya, terlebih
lagi janji kepada Tuhannya.
Pada masa kepemimpinan beliau, rakyatnya tidak merasakan
kelaparan, negerinya makmur, semua berkat ketaatan pemimpin, dan
ketundukan rakyatnya terhadap aturan Allah swt.
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi…(Al A’raaf : 96)
Kita butuh pemimpin yang menirukan apa yang Umar bin Abdul
Aziz lakukan. Benar-benar merakyat tanpa dibuat-buat, benar-benar dapat
mensejahterakan tanpa pencitraan.
Umar bin Abdul Aziz sangat menyadari kedudukan beliau
sebagai sorang pemimpin. Seperti yang pernah disampaikan oleh kakek
buyutnya yang juga seorang pemimpin, Umar bin Khatab ra. bahwasannya
beliau pernah berkata “pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi kaumnya”.
Itulah konsep seorang pemimpin dalam islam. pemimpin yang melayani,
bukan pemimpin yang selalu minta untuk dimengerti oleh rakyatnya.
Kenaikan BBM, rakyat yang disuruh mengerti, aset negara
dijual ke asing rakyat pun disuruh untuk mengerti. Hingga kemiskinan
yang merajarela pun rakyat yang disuruh untuk mengerti dengan kondisi
pemimpinnya saat ini. Ingat, Umar bin Abdul Aziz dapat membangun
negerinya dengan penuh keadilan dan kemakmuran, hanya membutuhkan waktu
kurang dari 3 tahun. Di Indonesia, 32 tahun kepemimpinan otoriter rezim
Soeharto, dan 10 tahun kepemimpinan era demokrasi pasca reformasi yang
dipegang oleh SBY, tetap tak dapat menjadikan negeri ini makmur, adil,
sejahtera. Karena memang, para pemimpin yang pernah menahkodai negeri
ini, mengesampingkan rasa takutnya kepada Allah swt. dan justru takut
kepada penguasa asing pengusung kapitalisme.
Kekayaan alam negeri ini, bukan dikelola secara mandiri,
agar hasilnya kelak dikembalikan kepada rakyat, tapi yang ada malah
diberikan kepada pihak asing.
Riba dimana-mana seakan menjadi hal yang halal, padahal
itu jelas diharamkan. Praktek prostitusi menjadi barang yang mudah untuk
ditemukan di negeri ini, bahkan dipelihara sebagai aset penghasilan
lewat pajak bangunan yang digunakan sebagai tempat mesum tersebut.
Kepemimpinan ala demokrasi, pada akhirnya hanya akan menghasilkan
pemimpin yang menjadi jongos para kapitalis.
Bangsa ini butuh seorang pemimpin seperti Umar bin Abdul
Aziz, dengan sistem pemerintahan yang juga mendukung untuk menghasilkan
pemimpin semacam beliau. Hanya dengan khilafah islam lah yang
memungkinkan lahirnya sosok pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz. Bukan
dari sistem demokrasi, yang memasung hak-hak Tuhan sebagai pengatur dan
pencipta alam semesta beserta hukum-hukum yang terdapat didalamnya.
Berikut adalah khutbah yang disampaikan oleh Umar bin Abdul Aziz tatkala dirinya dibai’at sebagai khalifah :
“Wahai hadirin sekalian, sesungguhnya tidak ada satu kitab
suci apapun setelah Al-Qur’an, dan tidak akan ada Nabi setelah
Muhammad. Ketahuilah bahwa saya bukan pembuat undang-undang. Saya
hanyalah orang yang melaksanakan dan bukan pula orang yang membuat
ajaran-ajaran baru (bid’ah), saya hanyala sebagai pengikut.
Saya bukan sebagai orang yang terbaik diantara kalian,
justru saya adalah orang yang memikul beban demikian berat. Sesungguhnya
seorang yang melarikan diri dari pemimpin yang zhalim, dia bukanlah
orang yang zhalim. Ketahuilah, bahwa tidak ada ketaatan kepada makhluk
apabila dia berada dalam maksiat.
Semoga kita dapat mengerti, bahwa perkara kepemimpinan
bukanlah perkara yang sepele. Ini adalah perkara yang kelak akan
menentukan baik atau buruknya suatu bangsa.
Ingatlah, bahwa sumber kebaikan, hanya datang dari Allah
swt, Tuhan semesta alam. Peraturan yang baik, adalah peraturan yang
berjalan sesuai dengan aturan-Nya. Dan pemimpin yang baik, adalah
pemimpin yang ingin menerapkan syariat-Nya.
Kita semua merindukan sosok seperti Umar bin Abdul Aziz,
guna mengatur urusan umat ini menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya.
Bukan pemimpin yang hadir lewat pencitraan, atau pemimpin yang hanya
datang bila ada kepentingan.
Bijaklah dalam memilih pemimpin, pilihlah pemimpin yang
mau menerapkan syariat islam secara kaffah. Bila tak ada pemimpin yang
seperti itu, maka berdiam dari memilih pemimpin yang sama-sama tidak
takut kepada Tuhannya, adalah lebih baik, sekalipun memilih pemimpin
yang kecil mudharatnya. Ketahuilah, dalam demokrasi tak ada yang kecil
mudharatnya, karena sesungguhnya, demokrasi itu sendiri merupakan
kemudharatan yang besar.
Sumber cerita : Tarikh Khulafa – Imam As Suyuthi
Mustaqim Aziz
sumber dari sini
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..