Salah satu fenomena yang cukup menghebohkan dunia Islam saat ini
adalah adanya sekelompok umat yang aktif mengkafirkan kelompok lainnya.
Mereka memandang bahwa orang-orang yang ada di luar kelompoknya, atau
yang tidak berbaiat kepada imam mereka sebagai kafir, murtad dan keluar
dari Islam.
Ilustrasi. (kamilpublishing.wordpress.com) |
Bahkan terkadang dosa-dosa yang dilakukan oleh umat
Islam ini sudah cukup dijadikan dasar oleh mereka untuk memosisikan umat
Islam di dalam kekafiran.
Lebih jauh lagi, para pemimpin negeri
Islam dan termasuk juga ulama pun dikafirkan karena dianggap mendiamkan
kemungkaran. Jadi dalam pandangan mereka, tidak harus menjalankan
kemungkaran, tapi sekedar mendiamkan kemungkaran pun sudah bisa membuat
seseorang atau sebuah pemerintahan menjadi kafir.
Maka setiap kali
berbeda pendapat dengan orang lain, mereka dengan mudah menyerang lawan
bicaranya itu dengan julukan kafir. Seolah-olah di dunia ini hanya
dirinya saja yang berhak menganut agama Islam, sedangkan orang lain
sangat rentan untuk menjadi kafir.
A. Latar Belakang Munculnya Takfir
Untuk
bisa menanggapi fenomena tersebut, tidak ada salahnya bila kita coba
untuk menelusuri latar belakang dan motivasi yang menyebabkan sebagian
saudara kita melakukannya. Sebab dengan mengenal latar belakang dan
motivasinya, kita bisa memahami alur berpikir mereka. Dan dengan itu,
kita pun bisa melakukan koreksi dan memberikan masukan yang positif atas
pendapat itu.
- Fenomena tersebarnya kekufuran, kemaksiatan serta kemurtadan di tengah masyarakat Islam memang sudah sedemikian parah. Para penyeru kebatilan menarikan tarian syetan tanpa malu dan tanpa harga diri di depan hidung kita. Mereka dengan leluasa memanfaatkan media informasi untuk menyiarkan dan menyebarkan kebatilan tanpa ada upaya pencegahan yang berarti. Seks bebas, pelacuran, pemerkosaan, pencurian, khamar, narkotika, kolusi di antara penguasa serta pelecehan hukum dan agama telah membuat darah pendukung takfir ini bergejolak untuk bertindak.
- Tingkat toleransi dari sebagian ulama yang terlalu berlebihan mengakibatkan tidak sabarnya kelompok pentakfir untuk segera mengeluarkan vonis kafir kepada siapa saja yang dipandang keluar dari ajaran Islam.
- Umumnya mereka yang suka mengkafirkan orang lain itu adalah generasi muda, punya niat ikhlas, semangat membara, fitalitas yang tinggi, taat beribadah, punya semangat amar ma’ruf nahi mungkar dan punya rasa memiliki atas umat ini yang tinggi. Dan paling utama adalah rasa keprihatinan mereka atas apa yang kita saksikan termasuk kerusakan moral, akhlaq, adab Islam, kemurtadan dan tekanan kekuatan kafir. Semua problem itu demikian menyiksa batin mereka sehingga keluarlah mereka dari kearifannya dan masuk ke wilayah yang out of control.
- Namun energi yang tinggi itu tidak diimbangi dengan kemampuan syar’iyah yang mendasar. Kurangnya latar belakang kafaah syar’iyah dan pendalaman bidang hukum Islam telah membuat mereka cenderung untuk mengambil ayat-ayat yang mutasyabihat dan meninggalkan yang muhkamat. Selain itu karena kurang luasnya wawasan mereka, sehingga sering kali mereka hanya menemukan sepotong dalil dan terluput dari dalil lainnya. Akibatnya pemahaman mereka menjadi sepotong-sepotong, tidak lengkap dan tidak komprehensif.
B. Bahaya Menuduh Kafir Kepada Seorang Muslim
Sesungguhnya perkataan tafsiq (menuduh fasiq), tabdi’ (menuduh bid’ah) dan takfir (menuduh
kafir) adalah kalimat kotor yang tidak akan hilang begitu saja. Bila
kata-kata itu dilontarkan kepada manusia, maka akan mempunyai dampak.
“Bila seseorang berkata kepada saudaranya, hai si kafir! maka sungguh akan kembali ucapan itu kepada salah satu dari keduanya” (HR Bukhari VII/97 dari Abi Hurairah)
“Barangsiapa
yang melaknat seorang mukmin, maka dia seperti membunuhnya dan barang
siapa yang menyatakan seorang mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti
membunuhnya.” (HR Bukhari VII/84 dari Tsabit bin Dhihah).
Maka
jika seseorang berkata kepada saudaranya: Hai si Fasiq, hai si Kafir,
hai musuh Allah, sedangkan orang itu tidak demikian, maka akan kembali
ucapan itu kepada yang berkata. Seperti perkataan seseorang: Demi Allah,
Allah tidak akan mengampuni fulan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda bahwa Allah berfirman:
“Barang siapa menyangka kepada-Ku tidak akan mengampuni fulan, sungguh aku telah ampuni dia dan aku hapuskan amalmu.” (HR Muslim IV/2023 dari Jundab)
“Bisa
jadi seorang hamba berkata dengan satu perkataan yang bisa
menjerumuskan dia di neraka lebih jauh antara arah timur dan barat.” (HR Bukhari VII/184 dari Abi Hurairah)
Dr.
Yusuf Al-Qaradhawi ketika menjelaskan tentang bahaya dari menuduh atau
mengkafirkan seorang muslim, menjelaskan beberapa konsekuensi yang
berat. Padahal setiap orang yang berikrar dan mengucapkan syahadat telah
dianggap muslim, di mana nyawa dan hartanya terlindung. Dalam hal ini
tidak perlu diteliti batinnya. Menuduh seorang muslim sebagai kafir,
hukumnya amat berbahaya dan akibat yang akan ditimbulkannya lebih
berbahaya lagi.
Di antaranya ialah: bagi istrinya, dilarang
berdiam bersama suaminya yang kafir, dan mereka harus dipisahkan.
Seorang wanita Muslimat tidak sah menjadi istri orang kafir.
Bagi anak-anaknya, dilarang
berdiam di bawah kekuasaannya, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi
mereka. Anak-anak tersebut adalah amanat dan tanggung jawab orangtua.
Jika orang tuanya kafir, maka menjadi tanggung jawab umat Islam.
Dia kehilangan haknya dari
kewajiban-kewajiban masyarakat atau orang lain yang harus diterimanya,
misalnya ditolong, dilindungi, diberi salam, bahkan dia harus dijauhi
sebagai pelajaran.
Dia harus dihadapkan ke muka hakim, agar dijatuhkan hukuman baginya, karena telah murtad.
Jika dia meninggal, tidak perlu diurusi, dimandikan, disalati, dikubur di pemakaman Islam, diwarisi dan tidak pula dapat mewarisi.
Jika dia meninggal dalam keadaan kufur, maka dia mendapat laknat dan akan jauh dari rahmat Allah. Dengan demikian dia akan kekal dalam neraka.
Demikianlah
hukuman yang harus dijatuhkan bagi orang yang menamakan atau menganggap
golongan tertentu atau seseorang sebagai orang kafir; itulah akibat
yang harus ditanggungnya. Maka, sekali lagi amat berat dan berbahaya
mengafirkan orang yang bukan (belum jelas) kekafirannya.
C. Yang Berhak Dikafirkan
Golongan Komunis atau Atheis,
yang percaya pada suatu falsafah dan undang-undang, yang bertentangan
dengan syariat dan hukum-hukum Islam. Mereka itu musuh agama, terutama
agama Islam. Mereka beranggapan bahwa agama adalah candu bagi
masyarakat.
Orang-orang atau golongan dari paham yang menamakan dirinya sekuler,
yang menolak secara terang-terangan pada agama Allah dan memerangi
siapa saja yang berdakwah dan mengajak masyarakat untuk kembali pada
syariat dan hukum Allah.
Orang-orang dari aliran kebatinan, misalnya golongan Duruz, Nasyiriah, Ismailiah dan lain-lainnya. Kebanyakan dari mereka itu berada di Suriah dan sekitarnya.
Al-Imam
Ghazali pernah berkata, “Pada lahirnya mereka itu bersifat menolak dan
batinnya kufur.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, “Mereka
lebih kafir daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sebagian
besar mereka ingkar pada landasan Islam.” Seperti halnya mereka yang
baru muncul di masa itu, yaitu yang bernama Bahaiah, agama baru yang
berdiri sendiri. Begitu juga golongan yang mendekatinya, yaitu
Al-Qadiyaniah, yang beranggapan bahwa pemimpinnya adalah Nabi setelah
Nabi Muhammad saw.
D. Syarat Keislaman: Ikrar Dua Kalimat Syahadat
Syarat
utama bagi orang yang baru masuk Islam ialah mengucapkan dua kalimat
Syahadat. Yaitu, “Asyhadu allaa ilaaha ilallaah, wa asyhadu anna
Muhammadar Rasulullah.” Barangsiapa yang mengucapkan dan mengikrarkan
dengan lisannya, maka dia menjadi orang Islam. Dan berlaku baginya
hukum-hukum Islam, walaupun dalam hatinya dia mengingkari. Karena kita
diperintahkan untuk memberlakukan secara lahirnya. Adapun batinnya, kita
serahkan kepada Allah. Dalil dari hal itu adalah ketika Nabi saw.
menerima orang-orang yang hendak masuk Islam, beliau hanya mewajibkan
mereka mengucapkan dua kalimat Syahadat. Nabi saw tidak menunggu hingga
datangnya waktu salat atau bulan Puasa (Ramadhan).
Di saat Usamah,
sahabat Rasulullah saw, membunuh orang yang sedang mengucapkan, “Laa
ilaaha illallaah, ” Nabi menyalahkannya dengan sabdanya, “Engkau bunuh
dia, setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah.” Usamah lalu berkata,
“Dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah karena takut mati.” Kemudian
Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kamu mengetahui isi hatinya?”
Dalam
Musnad Al-Imam Ahmad diterangkan, ketika kaum Tsaqif masuk Islam,
mereka mengajukan satu syarat kepada Rasulullah saw, yaitu supaya
dibebaskan dari kewajiban bersedekah dan jihad. Lalu Nabi saw. bersabda,
“Mereka akan melakukan (mengerjakan) sedekah dan jihad.”
E. Dosa Besar tidak Merusak ke-Islaman
Dalam
paham aqidah ahlu sunnah wal jamaah, dosa-dosa yang dilakukan oleh
seseorang meski dilakukan berulang-ulang tidak membatalkan syahadat
alias tidak membuatnya berubah statusnya menjadi kafir. Kecuali bila
menafikan kewajiban-kewajiban yang mutlak seperti kewajiban shalat,
zakat dan lainnya. Yang membuat kafir itu bukan tidak melakukan ibadah
shalat atau tidak bayar zakat, tetapi mengingkari adanya kewajiban
tersebut.
Jadi bila ada seorang muslim shalatnya jarang-jarang
tapi dalam keyakinannya dia sadar bahwa shalat itu wajib, Cuma
masalahnya dia malas, maka dia tidak bisa dikatakan kafir atau keluar
dari Islam.
Pemikiran bila seorang berbuat dosa besar lalu menjadi
kafir seperti itu justru datang dari paham aqidah Mu`tazilah. Menurut
paham ini tuhan berjanji untuk memberi pahala kepada yang berbuat baik
dan mengancam yang berbuat dosa. Sekali orang melakukan dosa, maka tidak
ada ampun lagi selamanya. Karena itu bila seorang berdosa dan mati
sebelum bertaubat, maka dia akan kekal selamanya di neraka.
Dalam
aqidah ahlisunnah, bila seorang berbuat dosa maka dicatat amal buruknya
itu dan bila dia bertobat maka tergantung Allah, apakah akan diterima
tobatnya atau tidak. Tapi yang jelas dia tidak menjadi kafir lantaran
melakukan dosa meski sering diulangi.
F. Kafir yang Bukan Kafir
Jika
seseorang tidak mengerti bahwa itu adalah suatu bentuk kekafiran, maka
ia tidak berhak divonis kafir. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala:
وَمَن
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴿١١٥﴾
“Barangsiapa
menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain
jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam
kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَ
“Dan
Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah
memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa
yang harus mereka jauhi.” (At-Taubah: 115)
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا ﴿١٥﴾
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra: 15)
Namun jika seseorang sangat berlebihan di dalam meninggalkan thalabul ilmi dan
mencari kejelasan (tentang permasalahannya), maka ia tidak diberi
udzur. Contohnya, ketika disampaikan kepada seseorang bahwa ia telah
mengerjakan sebuah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli dan
tidak mau mencari kejelasan tentang permasalahannya, maka sungguh ketika
itu ia tidak mendapat udzur. Namun jika seseorang tidak bermaksud untuk
mengerjakan perbuatan kekafiran, maka ia tidak divonis kafir. Misalnya
seseorang yang dipaksa untuk mengerjakan kekafiran, namun hatinya tetap
kokoh di atas keimanan.
Juga seseorang yang tidak sadar atas apa
yang diucapkan baik disebabkan sesuatu yang sangat menggembirakannya
ataupun yang lainnya, sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan
untanya, kemudian ia berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian,
ternyata untanya telah berada di dekat pohon tersebut. Lalu ia pun
memeluknya seraya berkata: “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku
Rabb-mu.” Orang ini salah mengucap karena sangat gembira. Namun bila
seseorang mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia
dikafirkan, karena adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya,
sebagaimana yang dinyatakan oleh ahlul ilmi (para ulama). (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/125-126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hal. 70-71)
Umumnya kelompok takfir yang kerjanya menuduh kafir menggunakan ayat Al-Quran secara zahir. Misalnya ayat berikut ini:
”Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)
Kafirkah
Berhukum dengan Selain Hukum Allah? Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
rahimahullah berkata: “Yang benar adalah bahwa berhukum dengan selain
hukum Allah mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan
keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum
Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum
Allah dengan suatu keyakinan bahwa karenanya ia berhak mendapatkan
hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak
mengeluarkannya dari Islam).
Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum
dengan hukum Allah itu tidak wajib – dalam keadaan ia mengetahui bahwa
itu adalah hukum Allah – dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa
saja), maka kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari
Islam). Dan jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah lalu
ia salah dalam memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang
bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran).”
(Madarijus Salikin, 1/336-337).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 44:
“Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur,
terkadang ia sebagai bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya
dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan
selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk
kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam), namun ia
berhak mendapatkan adzab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal.
195).
Beliau juga berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 45: “Ibnu ‘Abbas berkata: Kufrun duna kufrin (kufur kecil), zhulmun duna zhulmin (kezhaliman kecil) dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil). Disebut dengan zhulmun akbar (yang
dapat mengeluarkan dari keislaman) di saat ada unsur pembolehan
berhukum dengan selain hukum Allah, dan termasuk dari dosa besar (yang
tidak mengeluarkan dari keislaman) ketika tidak ada keyakinan halal dan
bolehnya perbuatan tersebut.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 196)
Maka dalam pandangan mereka (jamaah takfir),
muslim mana pun sudah dianggap kafir lantaran tidak menjalankan hukum
Allah dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya penguasa, tapi semua
orang Islam yang tidak menjalankan hukum Islam.
Sedangkan dalam
pemahaman aqidah Ahli Sunnah Wal Jamaah, mereka tidak kafir yang
menyebabkan gugurnya status ke-Islaman dan murtad dari agama Islam.
Tentang ayat di atas, Ibnu Abbas RA berkata, “Kafir yang dimaksud
bukanlah kafir yang membuat seseorang keluar dari millah (agama). Tidak
seperti kafir kepada Allah dan hari akhir.” Hal yang sama juga dikatakan
oleh Thaus.
Sedangkan Atha` mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kafir bukanlah kafir yang sesungguhnya.
Sedangkan
Ibnul-Qayyim menerangkan tentang kandungan ayat itu sebagai berikut,
“Kufur itu ada dua macam. Kufur akbar (besar) dan kufur ashghar (kecil).
Kufur akbar adalah kufur yang mewajibkan pelakunya masuk neraka dengan
kekal. Sedangkan kufur ashfghar akan menjadikan pelakunya diadzab di neraka tapi tidak abadi selamanya.
Refleksi Terhadap Fenomena Takfir
Sejarah
Munculnya Fitnah Takfir bila dilihat sejarahnya, ternyata fitnah
bermudah-mudahan (dalam) mengkafirkan seorang muslim ini telah lama ada,
seiring dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam.
Asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Ia merupakan
fitnah yang telah lama ada, yang diprakarsai oleh kelompok (sesat) dari
kelompok-kelompok Islam pertama, yang dikenal dengan Khawarij.”
(Fitnatut Takfir, hal. 12) Mereka telah berani mengkafirkan Khalifah
‘Utsman bin ‘Affan dan orang-orang yang bersamanya, mengkafirkan
orang-orang yang memerangi ‘Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan
Shiffin, kemudian mengkafirkan semua yang terlibat dalam peristiwa
Tahkim (termasuk di dalamnya ‘Ali bin Abi Thalib), dan akhirnya
mengkafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. (Diringkas
dari Fathul Bari, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani, 12/296-297)
Sebab
Munculnya Fitnah Takfir Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah berkata: “Sejauh apa yang aku pahami, sebabnya kembali
kepada dua perkara: - Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman tentang agama. – (Ini yang terpenting), memahami agama tidak dengan kaidah syar’iyyah.
Kemudian
beliau berkata: “Dari sinilah banyak sekali kelompok-kelompok yang
tersesat sejak dahulu hingga kini, karena mereka tidak mengikuti jalan
orang-orang mukmin dan semata-mata mengandalkan akal, bahkan mengikuti
hawa nafsu di dalam menafsirkan Al-Quran dan As-Sunnah, yang kemudian
membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, dan akhirnya
menyimpang dari jalan As-Salafush Shalih.” (Fitnatut Takfir, hal. 13)
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menambahkan sebab ketiga, yaitu
jeleknya pemahaman yang dibangun di atas jeleknya niat. (Fitnatut
Takfir, hal. 19)
Demikian pula Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
Al-Fauzan menambahkan sebab yang lain, yaitu adanya kecemburuan
(ghairah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada
tempatnya. (Zhahiratut-Tabdi’ Wat-Tafsiq Wat-Takfir Wa-Dhawabithuha,
hal. 14)
Kehati-hatian Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam Masalah
Takfir Adapun Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah orang-orang yang sangat
berhati-hati dalam masalah takfir.
Fenomena takfir pun ternyata
masih berlanjut hingga kini. Ia tak hanya menimpa para “aktivis,” bahkan
orang-orang awam sekalipun tak luput darinya. Sampai-sampai tertanam
suatu paradigma yang salah, bahwa siapa saja yang tidak berani
mengkafirkan pemerintah-pemerintah kaum muslimin yang ada atau tokoh
fulan dan fulan, maka masih diragukan kualitas militansinya. Bahkan
fitnah ini pun dijadikan – oleh Jamaah Takfir dari berbagai kelompok –
sebagai media untuk memberontak terhadap pemerintah kaum muslimin dan
sebagai landasan bolehnya mengadakan peledakan-peledakan di
negeri-negeri kaum muslimin. Wallahul Musta’an.
Betapa mengerikan fitnah ini, padahal Rasulullah jauh-jauh hari telah memperingatkan dengan sabdanya:
فَإِنَّهَاتَجِبُعَلَىأَحَدِهِمَافَإِنْكَانَالَّذِي ,يَاكَافِرُ: الرَّجُلُلِصَاحِبِهِإِذَاقَالَ
قِيْلَلَهُكَافِرًافَهُوَكَافِرٌوَإِلاَّرَجَعَإِلَيْهِمَاقَالَ
“Jika
seorang lelaki berkata kepada kawannya: Wahai Kafir, maka sungguh
perkataan itu mengenai salah satu dari keduanya. Bila yang disebut kafir
itu memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya, namun bila
tidak, hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Ahmad
dari sahabat Abdullah bin ‘Umar, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad
Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad no. 2035, 5077,
5259, 5824)
—
Bahan Bacaan:
- Nahnu Du’at La Qudhat oleh DR. Hassan Al Hudaibi
- Al-Aqa’id karya Imam Hasan Al-Banna
- Islam Ekstrim oleh DR. Yusuf Qaradhawi
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan Anda serta kehormatan buat kami jika selesai baca Anda beri komentar atas isi artikel ini, namun kawan komentarnya yang sopan ya...!!! he..he..